PROLOG : MEREKA SEBUT AKU MONSTER

61 6 0
                                    

Jika diberi kesempatan untuk memilih, mungkin dia tidak ingin dilahirkan dalam keluarga itu, ah atau jika memang bisa, dia tidak perlu lahir saja, lagi pula siapa yang mencintai dia? Siapa yang mensyukuri kehadirannya?

“Anak itu gila! Sekecil itu dia sudah melakukan hal yang hanya bisa dilakukan sama psikopat! Saya mau, kamu bawa anak itu ke panti asuhan!” laki-laki cukup berumur itu menggebu-gebu, ia kehilangan kendali, belum bisa menerima kenyataan perihal apa yang dilakukan anaknya.

“Yah, kalau kita didik, dia pasti bisa normal, seperti anak lainnya.” Sementara yang dia sebut Ibu sedang terkapar di lantai tak berdaya, lemas setelah didatangi oleh polisi sebab ulah sang anak.

Dia memberanikan diri untuk keluar dari kamar, di umur yang meski baru delapan tahun, ia juga paham bahwa ada yang salah tentangnya. “Bu, Ayah, bukan aku, tapi dia,” ucapnya, menunjuk pada pantulan dirinya di kaca.

Laki-laki yang ia sebut Ayah itu kemudian mendorongnya dengan keras. “ANAK SETAN! KAMU GILA, YA?”

Ia tidak bisa melakukan apa-apa, hanya meringis.

Sakit, tapi dia tidak bisa menangis.

“Kalau kamu pertahankan anak itu, lebih baik kita cerai!” Itu adalah kalimat terakhir yang dia dengar, kalimat yang membuat sang Ibu menjerit karena sakit hati yang mendalam.

Rumah tangga yang semula baik-baik saja menjadi hancur karena seseorang yang bagi dia bukanlah bagian dari keluarga ini.
“Ibu, aku minta maaf, ya, bu,” ujarnya penuh rasa takut.

Ibu tidak mengatakan apapun, tidak pula menghakimi. “Tidur, besok kamu sekolah, kan?”
“Ibu masih marah?” tanyanya.
“Tidak.”

Nyatanya ibu marah, ibu memendam amarah besarnya. Ibu masih berusaha untuk menerima anaknya yang tidak seperti anak lainnya.

Pagi-pagi sekali ia terbangun, walau sebenarnya tidurnya tidak nyenyak, dia bersiap kesekolah seperti kata ibu. Walaupun sekolah baginya sekarang adalah neraka, walaupun sekolah adalah tempat yang menyiksa, dia tetap datang untuk ibu, agar Ibu tidak lagi marah.

“Ibu, aku mau berangkat ke sekolah, tidak ibu antar?” Ia mengetuk-ngetuk pintu, memanggil Ibu di kamar. “Ibu?” Berkali-kali ia mengetuk, tidak ada jawaban. Lagi, tetap sama, sunyi.

Akhirnya, ia memutuskan untuk pergi ke sekolah sendirian, berjalan kaki dan menikmati sunyi yang mulai hari ini akan setia menemani.

Setibanya di sekolah, seperti yang ia duga, setelah apa yang terjadi, tidak akan ada satupun teman yang mau menemaninya, Kota Solo kini ibarat neraka untuknya. Tidak ada satupun tempat yang menerima segala kurangnya, na’as ia benar-benar sendirian.

“Pembunuh! Pembunuh! Dasar orang gila!”
“Anak aneh!”
“Orang jahat!”

Seruan kebencian itu dilontarkan kepadanya, sepanjang jalan menuju kelas, tak jarang puluhan kertas dilemparkan ke arahnya, bahkan ada beberapa anak yang dengan suka rela melemparkan isi bekal makan siang mereka hanya untuk memuaskan rasa benci yang menggebu-gebu itu.

Berkali-kali dia membela diri, katanya, “Bukan aku, itu bukan aku! Aku tidak tahu apapun!” Sayangnya, siapa yang akan percaya ketika kala itu dia yang ada di sana?

Sesekali ia berandai, jika saja hari itu “orang itu” tidak keluar, jika saja ia bisa menahannya untuk bertindak, mungkin hari ini tidak akan jadi mengerikan.

“Monster! Lari ada monster!!” Kata mereka, dia adalah monster, manusia mengerikan yang tidak pantas berpijak di bumi.

"Ibu guru, kenapa saya disebut monster?” tanyanya, pada guru yang punya senyum paling cantik di sekolah itu.

“Maaf, ya, ibu tidak bisa berbuat apa-apa, kamu sudah salah jadi terima saja perlakuan mereka.” Lihat? Bahkan Ibu guru yang baik hati itu tidak lagi bisa menyelamatkannya.

“Ibu juga mau saya pergi dari sini?” tanyanya, dengan hati gusar. Ibu guru hanya mengangguk.

Aku masih ingin di sini, tapi mereka takut padaku.

Mereka sebut aku monster dan aku tidak bisa apa-apa.


#


Kepindahan mereka ke Jakarta, adalah awal baru untuknya dan Ibu, lingkungan baru dan cerita baru. Harapan semoga tidak ada yang menyebutnya gila atau sejenisnya. Meski begitu, ibu tidak berubah, Ibu masih menjaga jarak dengannya.

“Kalau mau makan, kamu ke depan saja, di sana ada yang jualan nasi campur, ibu tidak memasak hari ini, mau istirahat dulu.” Kepergian ibu mengundang sunyi, ia kesepian lagi.

Akhirnya, ia memilih untuk berkeliling sore itu, menikmati angin sejuk Jakarta sembari mencoba mengenal lingkungan barunya. Ia juga berharap bisa bertemu teman baru.

“Tangan kamu kenapa?” Kesunyian di taman sore itu hilang semenjak sosok anak laki-laki datang padanya.

“Apanya? Oh tanganku?” Dia mengangkat kedua tangannya yang diikat kuat dengan tali. “Tidak apa-apa, ini Ibuku yang mau, katanya harus diikat supaya aku nggak bebas bergerak,” jelasnya. Ia melihat wajah anak laki-laki itu kebingungan.

Anak laki-laki itu kemudian bergabung duduk di sampingnya, ia bertanya, “kenapa begitu? Jahat sekali.”

Dia terkekeh, Ibu tidak jahat, hanya ingin melindunginya saja, sebab jika tidak, semua yang terjadi waktu itu akan terulang kembali.
“Tidak, ibuku tidak jahat, ini demi kelangsungan hidup yang aman katanya.”

Anak laki-laki itu masih tidak mengerti tapi Ia tidak lagi bertanya. "Kenalkan, namaku Ariat Swara Hidayat, panggil saja Iat. Aku lihat kamu baru pindah, makannya aku mau menyapa.” Ariat tersenyum, manis sekali. Hari itu, untuk pertama kalinya ada seseorang yang mengulurkan tangan untuknya.

Ia tersenyum, sedikit Bahagia. Kemudian, disambutnya tangan itu dengan Bahagia. “Aku pindahan dari Solo, salam kenal, ya.” Ia tersenyum lebar, sangat lebar sampai giginya yang rapih itu terlihat jelas.

“Salam kenal, jadi nama kamu siapa?” Tanya Ariat lagi.

“Oh iya, nam—” Tidaklah sempat namanya disebut, Hujan tiba-tiba turun dengan sangat deras, membutnya buru-buru kembali ke rumah.

“Eh tunggu! Kuas kamu ketinggalan!”

Lambat, dia sudah hilang dari pandangan.

Tuan Seniman : "Moon and Star"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang