01. Kehidupan yang Baru dengan Keadaan yang Sama

35 5 6
                                    

Cerita tentangnya masih sama, bedanya, ibu berhenti mengikat tangannya ketika ia terlihat sudah ‘lebih baik’ bahkan Ayah dan Ibu tidak jadi bercerai karena katanya sudah mempertimbangkan segalanya, serta mengingat janji Ayah pada Kakek dahulu. Kehidupan baru ia jalani tanpa cacat, pertemanan yang ia jalani jauh berbeda dari saat itu, di Jakarta ini, tidak ada satupun yang memanggilnya ‘Monster’ seperti kala itu. Semuanya diluar ekspektasinya, dari mulai SMP ia bertemu dengan banyak jenisnya manusia, laki-laki dan perempuan, semua sudi berteman dengannya, ia sangat Bahagia.

Walau terkadang, di malam yang terasa sangat Panjang, ia menatan tajam ke pantulan dirinya hanya untuk melihat ‘orang itu’ tertawa puas karena pada kenyataanya, ia masih terus dihantui oleh bayang-bayang mengerikan itu. “Bulan dan bintang? Lo memberikan tanda itu buat apa? Pertolongan? Bantuan? Supaya mereka menemukan lo dan menyembuhkan lo? JANGAN MIMPI! GUE SAMA LO ADALAH SATU! KITA NGGAK----”

“DIAAAAAAAAM!” Dia tersiksa, jiwa itu tak kunjung hilang, selalu ada dan semakin menyiksa. “Aku adalah aku! Kamu cuma parasite dan suatu saat nanti akan hilang!” Dengan berani, ia lempar gelas kaca itu ke arah cermin, menghancurkan bayangan dirinya, “Suatu saat nanti, kamu akan sehancur itu!”

Dari sekian banyaknya manusia, dia tidak pernah menyangka bahwa dirinya akan menjadi seseorang yang terjebak dengan jiwa yang tak bersahabat. Jiwa yang membuatnya takut setiap malam, membuatnya tidak bisa tidur dengan nyaman.

“Aku capek…,” ucapnya pada bulan yang terang.
“Selamatkan aku.” Dan tidak ada satu orang pun yang bisa menyelamatkannya.


#


“Kami Mahasiswa Indonesia bersumpah,”
“Bertanah air satu tanah air satu, tanah air tanpa penindasan!”
“Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, berbangsa satu,”
“Bangsa yang gandrung akan keadilan,”
“Kami!”

Jelitha masih berdiri di sana, menghela napasnya, “Aduh anjir, ini demo atau hafal sumpah mahasiswa berjamaah sih?" Keluhnya.

Sudah dua jam berdiri di depan Gedung Rektorat, yang dilakukan hanya meneriakan sumpah mahasiswa. “Udah ikut aja sih! Katanya mau caper sama Kak Ren.”

“Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, berbahasa satu, bahasa tanpa kebohongan!”

Sampah. Pikir Jelitha.

Jika saja bukan karena Kak Ren Cintanya yang jadi korlap, mungkin ia lebih memilih duduk diam di kelas dari pada panas-panasin mendemo rektor yang diduga korup.

“Hidup Mahasiswa! Hidup Mahasiswa! Hidup Mahasiswa!” Di atas batu besar, Ren berdiri bersama ketua BEM FISIP, menyorakkan bangga pada para mahasiswa.  “Teman-teman mahasiswa sekalian, kita semua tahu bahwa pemimpin yang berilmu tidaklah cukup jika hilang etika! Pemimpin yang berilmu tidaklah cukup jika tanpa adab! Maka, Saya Ketua Himpunan Mahasiswa Pidana Fakultas Hukum UNERA sekaligus Presiden Mahasiswa berdiri di sini! Memanggil kalian semua untuk unjuk rasa, serukan keadilan!”

Mahasiswa dan Mahasiswi di baris bersorak, menyemangati berapi-api. Tanpa henti, sampai mereka mendapat kepastian yang setidak-tidaknya Bapak Rektor korup itu diberhentikan atau mungkin diturunkan jabatannya dan ditindaki sesuai aturan hukum.


“Gila! Lo semua lihat kan tadi? Kak Ren Cingtakuh keren bangettttttt!” Jelitha dan kegilaannya pada Ren adalah cinta tanpa akhir yang sudah sangat biasa disaksikan oleh kedua temannya sejak menjadi maba.

“Ya elah, Jel! Itu mah versi menarik massa, coba aja lo ada pas rapat HIMA, beuh, kayaknya lo kabur sih. Serem soalnya,” ucap Erinka, ia bahkan bergidik ngeri.

“Nggak! Semuanya akan gwenchana di mata gue selama itu adalah Kak Ren.” Ya, seperti biasa, Jelitha dan rasa Sukanya.

“Hadueh! Udah, ayo balik ke fakultas, gue laper.” Mereka akhirnya memisahkan diri dari kumpulan pendemo yang masih duduk di depan Rektorat, sudahlah panas, tidak ada kemajuan atas demo itu, jadi apa gunanya untuk tinggal?

“Eh tapi, ya Jel, gue mau nanya deh sama lo, kenapa Kak Ren nggak notis lu coba? I mean, dari jaman maba lo selalu nyapa kak Ren di koridor Gedung C, masa iya dia nggak inget lo, sih?” Tanya Deva, murni karena penasaran.

Jelitha sempat terlihat berpikir, lalu ia menjawab, “Beliau minus kali? Makannya nggak liat gue, hehe.” Cengiran khasnya yang menjengkelkan itu membuat kedua temannya bergidik ngeri, merinding.

“Eh! Tunggu w—” Barulah Jelitha ingin mengejar Deva dan Erinka, tangannya tiba-tiba dicegat oleh perempuan itu, lagi.

“hadeuh, ini mak lampir kenapa lagi deh,” keluhnya dalam hati.

“Hai Jelitha! Lo inget gue nggak? Gue Alin.” Senyum itu, senyum palsu yang sudah bisa Jelitha tebak, bahwa perempuan ini ada niat tertentu.

"Inget, kok, yang kalau nge-chat di grup selalu pake emot ‘pick me’ itu, kan?” Sejatinya, Jelitha adalah orang yang blak-blakan, ia tidak pernah segan mengungkapkan apa yang ada dalam isi kepalanya.

What? Anyway, gue mau bilang kalau kita sekelompok di matakuliah HAN,” ucap Alin, saingan Jelitha dalam mengejar Kak Ren cintanya.

Jelitha sempat kebingungan saat Alin mengeluarkan 3 lembar uang merah dari tasnya bersama dengan senyum menyebalkan itu, Namun setelahnya, Jelitha tahu tujuan wanita itu. “Lo mau nyuap gue supaya tetep masukin nama lo di kelompok padahal lo nggak berkontribusi sedikitpun?” Ia menahan emosi.

No Jelitha, ini tuh bukan suap!” Alin melompat kecil, senyum masih ia pertahankan. “Ini tuh bayaran karena lo udah bekerja keras dan karena lo udah ngerjain semuanta, nanti biar gue yang presentasi, gimana?”

Licik adalah kata yang tepat untuk mendefinisikan sosok Aleen Vivanza. Tatapan matanya yang sayu serta senyum cemerlang itu, semua kepalsuannya terlalu kentara.

Sorry to say, Lin, gue lebih menghormati orang yang ngucapin terimakasih dan mengakui kelalaiannya dari pada orang kayak lo yang berpikir semuanya bisa selesai pakai uang. Kenapa nggak dosennya aja yang lo kasih uang, siapa tau bisa nego nilai sama dia.”

Ini bukan pertama kalinya Jelitha berurusan dengan teman kelompok modelan seperti Alin, jadi, dia tidak akan tertipu dengan wajah sok cantik itu.

“Lo cuma mau ngomongin itu, kan, jadi gue permisi.” Jelitha tidak pernah tahu bahwa sudah sejak lama Alin menyimpan dendam terhadapnya. Lalu, perlakuan Jelitha barusan membuat situasi semakin memburuk.

“Lo dari mana sih, Jel?” tanya Deva seketika Jelitha duduk di sampingnya.

“Nggak, tadi mampir boker gue, hehe.” Seribu alasan yang tidak akan ada habisnya di kepala Jelitha. Bukan niat berbohong, hanya saja ia rasa kejadian tadi bukan sesuatu yang penting.

“Guys, tolong perhatiannya bentar dong, gue mau bagi kelompok, nih. Dengerin, ya.” Di depan kelas, Aca, si PJ kelas sudah berdiri, dengan gaya biasanya, rambut kuncir, kemeja flannel kotak-kotak, celana kain kebesaran.

Dia melanjutkan kalimatnya, “Jadi, karena dosen HAKI ada penelitian di luar kota, kita diminta buat kelompok dengan tema bebas terserah kalian intinya nggak jauh dari materi Hak Cipta, Hak Paten, Hak Desain Industri, hak Rahasia dagang dan Hak Merek, ya.”

“Oke Aca!” Sekelas berseru senang karena tidak ada dosen tandanya hari ini akan pulang lebih awal.

“List nama kelompoknya udah gue share di grup, ya. Baca baik-baik jangan nanya gue lagi, cau!” Kepergian Aca menjadi pertanda bahwa benar kelas mereka seharian akan kosong. Semuanya bersorak sorai kegirangan, sementara di sudut ruangan, Jelitha meracau.

“Eh ini Mahesa Pramesta siapa deh? Perasaan nggak ada anak kelas namanya Mahesa.”
Lagi-lagi kepolosan---atau entah kebodohan Jelitha---sukses membuat kedua temannya menghela napas. Untungnya, itu bukan napas terakhir.

“Lo tuh ya, makannya isi kepala jangan Kak Rennnn mulu! Nggak tahu kan lo kalau ada senior yang ngulang matkul.” Deva benar-benar gemas sekali dengan kawannya itu, ia bahkan tak segan mencubit pipi Jelitha sampai merah.

“Ih anjir sakit! Gue beneran nggak tahu!” Sebal, rasanya Jelitha ingin menggigit telinga Deva sampai putus.
Bercanda.

Karena Erinka harus buru-buru ke sekret HIMAPI, ia akhirnya memutuskan untuk menjelaskan semuanya kepada Jelitha, dengan baik-baik. “Kak Mahesa itu yang sering bareng Kak ren loh, Jel. Kan lo tiap hari nyapa mereka di koridor, itu loh yang agak tembem, berotot, rambut gondrong tuh.”

Kini Jelitha akhirnya mulai mengingat sosok Mahesa yang sedang ia tanyakan. “Oh! Oke, gue ngerti sekarang, aaaaaaaaaaaa,” ia berteriak sangat kuat, untungnya teman sekelas sudah sangat biasa dengan tingkahnya itu.

“Kenape sih lu anjir!”

“Bagi nomer kak Mahesa buru! Gue ada rencana brilliant!”

Setelah mendapatkan kontak Mahesa, kemudian berpamitan, gadis itu berlari kegirangan. Di dalam kepalanya sudah muncul ide luar biasa untuk mendekati Kak Ren Cintanya lewat Mahesa.

Untuk Ren Ardiatmaja, cepat lari, Jelitha ngejar loh!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 05 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tuan Seniman : "Moon and Star"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang