Bab 7. Destructive self-blame

9 1 0
                                    

"Kamu sedang apa di sini?" Kalimat pertanyaan itu membuat Ayla termenung.

Ia menyadari suatu hal,  bahwa saat ini ia hanya mempunyai sepi untuk menenangkan diri. Ayla menjatuhkan pandanganya pada sebuah bunga berwarna putih itu, ia membiarkan lelaki itu duduk di sampingnya tanpa risih.

"Kata mereka, Kamu tidak masuk ke kelas. Ada apa? Kenapa kamu menjadi seperti ini?"

"Kenapa kamu menjadi seperti ini?" kalimat yang itu terus terulang dalam pikiran gadis itu. Ia sendiri tidak tau apa yang sedang terjadi pada dirinya.

"Kenapa?" tanya lelaki itu lagi sambil menghela napasnya dengan berat.

"Perjalanan masih panjang Dek," ujarnya dengan menatap Ayla dari samping.

"Lihat,  bunga putih saja pernah layu karena tidak ada matahari. Namun, ia tidak pernah menyerah, ia tau akan ada masanya dirinya kembali segar karena ia tahu Allah akan selalu ada bersamanya."

Ayla menatap bunga itu. Lamat-lamat dalam diam Ayla memikirkan hal tersebut.

"Kenapa Kakak di sini?" tanya Ayla tanpa kalimat pembuka lainnya.

Lelaki itu mengangkat kedua alisnya dengan kikuk. "Yang jelas, Kakak datang ke sekolahmu untuk melihat keadaanmu. Dan Kakak juga dapat surat panggilan dari Kepala Sekolah."

"Surat panggilan apa?" tanya Ayla dengan bingung.

Lelaki itu tersenyum tipis dan ia kemudian mengelus puncak kepala Ayla dengan sendu.

"Sudahlah. Mari kita pulang, Kakak sudah dapat izin membawamu lebih awal."

Ayla mengarahkan tatapannya ke langit.

"Sepertinya begitu indah jika Aku menjadi matahari, ia selalu hadir untuk memberi cahaya. Bukannya hadir sebagai sumber kecewa seperti diriku," lirih Ayla. Gadis itu tersenyum tipis dan terlihat sangat menyakitkan.

Hasbi ikut menatap langit, namun ia hanya bisa menghela napasnya dengan berat. 

"Jangan lupa, bahwa matahari bukan hanya memberikan cahaya, ia juga bisa membuat tubuhmu kepanasan bahkan ada sebagian fenomena kebakaran terjadi karenanya. Itu artinya, segala sesuatu itu tidak selamanya indah, kita hanya perlu bersyukur saja. Matahari pun tidak abadi, ia akan tergantikan oleh bulan tatkala malam datang."

Ayla melirik Kakaknya. Sejenak ia juga memikirkan perkataan Kakaknya itu. Namun, gadis itu tidak terlalu lama berpikir, ia kembali menunduk dan membuang napasnya dengan penuh kekecewaan.

"Jangan menyukai sesuatu secara berlebihan, atau tidak nanti Kamu yang akan merasakan kekecewaan lagi," sambung Hasbi.

Ayla menyahut dengan cepat, "Kakak benar. Jangan menyukai laut dan keindahannya, karena keindahannya membuatku lalai menjaga Ibu."

"Dek!" tegur Hasbi. Lelaki itu menggenggam tangan Ayla dengan erat.

"Berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Ibu pergi bukan karena Kamu! Itu sudah menjadi takdir-Nya. Kita tidak bisa melakukan apapun lagi selain menerima dan bertawakal."

Mendengar perkataan Kakaknya, Ayla terdiam. Ia merenung dalam cemas, luka dalamnya semakin menganga terlebih setelah ia mendengar perkataan Kakaknya.

"Laut memang indah, namun tidak untuk kenangannya." Ayla berkata dalam hatinya.

"Kita harus pergi sekarang!" titah Hasbi. Tanpa berlama-lama ia menarik lengan Ayla dan memintanya untuk berjalan dengan cepat.

Ayla tidak merespon, ia lebih memilih diam dan menurut.

Hasbi, sebagai Kakak yang baik tentu ia menginginkan hal yang terbaik untuk adiknya. Terlebih ia merupakan saudara satu-satunya untuk adiknya. Beban yang berat ini ia ambil alih dari ibundanya, Hasbi berjanji apapun resikonya di masa yang akan datang, Ayla layak bahagia dan ceria seperti saat ibundanya masih ada.

Laut yang Merindukan Pelukan AnginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang