VI - Age Gap

13 3 0
                                    

Peringatan: cerita ini ga jelas.

****

"Hm? Dalam waktu seabad lebih itu, aku ngapain aja?"

Belum apa-apa, aku sudah merinding. Ucapan Lily biasa saja, tetapi aku tahu ia menyembunyikan sesuatu.

"Kalian ingat, aku hidup dalam kutukan." Lily memutar jari telunjuknya di udara. Kalau ini kondisi "normal", alias tanpa barrier Zahir, tentunya ia sudah melakukan atraksi dengan kekuatan yang ia miliki. "Ada satu cerita, yang belum pernah kuceritakan. Karena ini agak menyedihkan ... buatku. Tapi, kalau itu untuk kalian, apa sih yang enggak!"

Aku tidak akan menyalahkan, tetapi ini karena Lia mendadak semangat. Agak aneh melihatnya melonjak-lonjak girang di antara para wanita lain, mengobrol antusias, bahkan menghampiri satu-satu.

Termasuk menghampiri Clara dan dua adik kembarnya di ujung ruangan.

"Ayo kita adu sedih," ucap Clara.

"Ogah. Kamu mah bikin sedih orang lain," sahut Lily.

"Kenapa kalian hobi sedih-sedih, sih?" Lilac tampak jengkel. "Hidup itu ya dinikmati. Meski kamu enggak kunjung mati pas udah saatnya ...."

"Cukup! Jangan ngomong hal-hal nyeremin begitu di sini!" Kakak mengibas-ngibas tangannya. "Lanjutkan saja, Lily. Abaikan kakakmu."

Lily menarik napas panjang, sebelum memulai ceritanya.

****
***
**
*

Sejak kapan Lily tahu kalau ia hidup dalam kutukan?

Sejak ia tahu wajahnya tak kunjung menua, sementara usianya mencapai paruh baya. Di satu titik, ia berhenti dan menanyakan hal itu pada Lilac.

"Ini berkah atau kutukan?"

Lilac, dengan pembawaan santainya, berkata itu adalah berkah. "Kita enggak punya tanda pengenal. Bilang saja usia kita masih belasan, orang pasti akan percaya."

"Bukankah ini pertanda kita harus mencari Clara?"

"Kamu kira, selama ini kita ngapain?"

Lily mendengkus. "Maksudku, kita harus ... berpisah."

Lilac berhenti melangkah. Ia menatap Lily lurus-lurus. "Aku ke mana, kamu ke mana?"

"Yang jelas, berbeda arah. Karena aku capek." Lily mengepalkan tangan. "Aku capek hidup, tahu!"

"Kamu punya rencana, benar?"

"Tentu saja!"

"Rencana apakah, kalau boleh tahu?"

Lily membalas tatapan Lilac. "Kalau enggak boleh tahu?"

Lilac angkat bahu. "Yah, orang punya cara masing-masing buat menjalani kehidupan, 'kan? Kalau begitu, kita tentukan tempat reuni kita nanti."

"Di mana? Seolah kamu tahu satu dunia."

"Di sini." Lilac menjejakkan kakinya. "Enggak peduli apa yang terjadi, kita pasti akan bertemu lagi ... di sini."

Dua kembar itu berpisah. Lily melanjutkan langkah, sementara Lilac berbalik.

Lantas, apakah rencana Lily?

Ia ingin merasakan hidup. Kembali menjadi remaja normal dengan kisah klise. Menjadi perempuan yang bisa tersipu-sipu malu jika didekati lelaki.

Dan begitu saja, Lily menjalin hubungan dengan seorang lelaki, pekerja kantoran yang hobi minum-minum di bar. Benar, Lily menjadi pelayan di bar, berdandan cantik tiap malam, dan merasa bahagia—masih dengan otaknya yang terus berputar mengatur rencana. Mau bagaimanapun ia hidup sekarang, keberadaan Clara yang masih misteri tetap mengganggunya.

It's Girls Time!Where stories live. Discover now