XIV - Mindfulness

16 2 6
                                    

Kata Zahir, semua yang ada di sini spesial.

Meski sebenarnya, itu adalah cara lain dari mengatakan, semua orang itu tidak ada yang normal. Apa itu normal? Itu hanya garis batas yang tidak akan pernah bisa disamai siapa-siapa.

"Kalian juga," ujarnya pada Lia dan Tahan. "Mungkin, alur kehidupan kalian enggak tumpang-tindih kayak sebagian besar orang di sini. Namun, kalian tetap istimewa, bukan? Karena itulah, kalian ada di sini."

"Apa yang enggak ada di sini itu berarti enggak istimewa?" tanya Lia blak-blakan.

Zahir tersedak menahan tawa. "Enggak juga. Ada sedikit masalah lalu lintas … pada Terra, maksudnya. Dia enggak bisa menjelajah jauh seperti biasa."

Tunggu, tunggu. Sebelum melangkah lebih jauh, biar kuberitahu dari mana aku bisa mengetahui percakapan ini.

Ingat, aku punya radar—RI maksudnya, juga BZ dan QY yang setia melapor dari mana pun mereka berada. Selain itu, Zahir bersama Lia dan Tahan juga menceritakan segalanya ketika bersama kami. Entah apa maksudnya Zahir mengajak keduanya mojok tadi.

Dimulai dari Lia.

"Yang membuatku spesial?" gumam Lia. "Aku sudah mendengar soal dunia paralel yang dilalui banyak orang di sini … soal Ven yang penjelajah waktu … Lilac dan Lily dan kena kutuk keabadian. Kayaknya, ceritaku bukan apa-apa."

"Tentu saja ceritamu punya makna, Lia," ucap Zahir. "Kalian semua mengalami takdir yang berbeda. Kehidupan yang berbeda. Kenapa masih dibanding-bandingkan? Lia, tahukah kamu? Kamu itu satu-satunya yang berkuliah di sini …."

Aku juga, batinku.

"Kamu punya pengalaman selama kuliah, bukan? Atau selama bersekolah normal, karena sebagian besar di sini enggak sekolah? Atau …."

"Tanah," potong Lia cepat. "Kalau ada yang spesial dariku, maka itu keluargaku, dan tanah yang kami jaga."

Zahir mengembangkan senyumnya. "Lalu?"

Lia tampak berpikir. "Masa sekolah normal, ya? Apa sekolahku bisa disebut normal?"

"Yah, lebih normal dari kebanyakan orang di sini."

"Aku enggak sekolah," celetuk Tahan.

Lia tersenyum kecil. "Baiklah. Kalau Ratu menginginkan aku untuk menceritakan sesuatu yang spesial dariku, maka aku akan menceritakan sesuatu yang spesial bagiku."

"Oh, apakah itu? Bukan tanah atau keluargamu?"

"Suamiku."

Zahir langsung tersedak.

Menyadari perubahan raut Zahir membuat Lia terkesiap. "Eh, maaf! Maaf, aku lupa kalau Anda fobia laki-laki …."

"Heh, kalau cuma mendengar cerita mah enggak ngefek. Aku cuma bereaksi kalau ketemu langsung, tahu." Zahir berdeham. "Ada apa dengan suamimu?"

Lia merenung sesaat. "Karena dulu kami cuma teman, tapi dia gigih sekali kalau menyangkut aku."

Zahir dan Tahan tampak menyimak serius.

"Ini semua dimulai, gara-gara waktu itu …."

****

Kalau mau dirunut sampai paling ujung, ini malah jadi sejarah keluarga.

Jadi, mari kita time skip … sampai Lia SMP.

Ketika pemilihan perangkat kelas, Rana menyerukan nama Lia keras-keras sebagai bendahara. Disambut celetukan seorang anak lelaki: “Kalau ada wakil bendahara, gimana?”

Radit. Orang itu yang muncul tiba-tiba dan seolah berusaha mengusik hidup Lia, termasuk ketika ia mengangkat tangan tinggi-tinggi saat wali kelas menanyakan siapa yang bersedia menjadi wakil bendahara.

It's Girls Time!Where stories live. Discover now