XI - The Curse

12 3 0
                                    

Air. Air di mana-mana, menghancurkan segalanya.

Namun, itu sudah berlalu. Kali ini, Jisha menjejakkan kakinya di sebuah tempat yang dipenuhi pembangunan.

Perjalanan tanpa ujung ini membuat Jisha sampai ke tepi laut, yang ia juga tidak tahu itu di mana. Pokoknya, ada sebuah desa ... atau justru kota, kota tepi laut yang teramat ramai. Katanya, itu kota industri pelabuhan, tetapi kapal-kapal belum kembali beroperasi pasca bencana lalu.

Air bah. Tsunami.

"Percayakah kamu, Dik, kalau mereka yang kamu lihat sekarang ini hanya separuh dari mereka yang ada sebelumnya?"

Pandangan ibu-ibu itu meredup ketika mengatakannya. Jisha jadi tidak berani bertanya lebih jauh.

"Hei, kamu, pelancong dari jauh. Tidak usah segan, mampir saja dulu ke rumahku. Mungkin aku bisa sedikit menjamu ... meski rumahku juga belum jadi."

Jisha, yang awalnya ingin langsung beranjak, kesulitan menolak. Apalagi, ibu-ibu itu tampak sangat butuh teman mengobrol. Ia pun menyanggupi.

Secangkir teh rosela menemani percakapan mereka—lebih tepatnya, Jisha kebanyakan diam menyimak, sementara ibu-ibu itu bicara terus.

"Kamu terlihat sepantaran anakku. Berapa umurmu?" Ibu-ibu itu tertegun sejenak, seolah menyadari sesuatu. "Maaf, aku lupa memperkenalkan diri. "Namaku Farqat. Siapa namamu?"

Jisha menarik napas sebelum menjawabnya. "Jisha, Bu. Umurku ... em ...." Jisha menghitung-hitung. "Tujuh belas."

Tujuh belas tahun.

Bisa dibilang, setahun sudah Jisha mati rasa. Ketika sampai sini dan mendapati sisa-sisa serta dokumentasi bencana, ia tidak bisa iba. Yang Jisha pikirkan hanya satu kata, oh.

"Benar, seumuran anakku. Suamiku ... mereka berdua termasuk korban." Farqat menunduk sejenak, lalu mengangkat muka. "Malam ini, maukah kamu menginap di sini?"

Malam hari ... menginap di permukiman?

Jisha mendadak diliputi perasaan gamang. Ia teringat kenangan lama, dan itu bukanlah hal baik. Ia menggeleng. "Maaf, Bu. Saya mau bermalam di luar saja."

Mau seperti apa pun Farqat mengiba, Jisha tidak akan luluh. Ia tidak mau terikat dengan orang lain barang sekejap saja. Ia ingin sendirian ... dan terus hidup dalam gelembungnya sendiri. Dengan pikirannya sendiri. Bersama khayalannya sendiri.

Sebagai gantinya, Jisha mengiakan ketika Farqat menawarinya untuk berkeliling kota itu. Tidak bisa dipungkiri, masih banyak reruntuhan sisa akibat air bah yang belum dibersihkan. Entah apa karena kekurangan alat berat atau sengaja untuk menjadi memoar.

"Sebaiknya, ini tidak dipajang begitu saja, Dik. Minimal, dibikin museumnya," ujar Farqat ketika Jisha bertanya. "Pemandangan ini menyisakan duka bagi banyak orang, atau bisa dibilang, semua orang di sini."

Menyisakan duka ... enggak, kalau yang melihatnya sudah tidak lagi punya hati, batin Jisha. Ia lanjut berkeliling, melihat sedikit rumah yang sudah cukup bisa dikatakan jadi, melihat beberapa gedung sederhana yang masih dalam proses pembangunan.

"Ini ... pemakaman massal."

Jisha menghentikan langkahnya, melihat sebuah lapangan berumput yang dipagari semak berbunga dan beberapa tanaman merambat. Belasan pohon kamboja tampak menaungi, juga pohon-pohon lain yang sepertinya dimaksudkan untuk merindangkan. Pemakaman itu lebih tampak seperti taman daripada kuburan.

"Berapa orang yang dikuburkan di sini?" tanya Jisha pelan.

"Kurang lebih, empat ratus orang." Suara Farqat bergetar saat mengatakannya. "Yang hilang pun, masih ada lebih dari seratus ...."

Jisha menggerakkan tangannya perlahan, mengelus pundak Farqat. "Maaf, aku enggak pandai berkata-kata. Tapi ... izinkan aku berbela sungkawa."

"Terima kasih, Dik." Senyum kecil Farqat terkembang. "Omong-omong ... apa kamu selalu melancong sendirian?"

Jisha menahan napas, tak mengira pertanyaan itu muncul tiba-tiba. Ia terdiam sejenak, entah memikirkan jawabannya atau hanya melamun, karena otaknya tiba-tiba buntu. "Bisa dibilang begitu," jawabnya setelah beberapa detik hening.

Farqat mengangguk penuh pengertian. "Kamu bisa kembali ke sini kapan pun itu."

Jisha tersenyum tipis. Tidak punya empati bukan berarti tidak bisa berekspresi. Masalahnya, ia benar-benar takut untuk tinggal di satu peradaban meski dalam waktu semalam saja. Kilasan ingatan buruk selalu menghantuinya. "Makasih atas tawarannya, Bu."

Pemakaman massal.

Jisha sudah cukup sering menghadiri pemakaman massal sebelumnya. Yang berbeda adalah, orang-orang yang dikubur di sana ... masih bernapas.

Terkubur hidup-hidup.

Entah sudah berapa desa yang Jisha singgahi atau sekadar lalui, semuanya tenggelam ke dalam pasir tanpa menyisakan apa-apa. Sementara, bencana itu makin nyata.

Soal akhir dunia, di mana seluruh permukaan bumi akan gersang berlapis pasir tandus.

Yah, ada alasan mengapa Jisha menarik diri dari peradaban mana pun. Ia meyakini dirinya, selain "manusia terpilih", juga adalah "kutukan."

Namun, ia tak akan membicarakannya sekarang.

Setelah berjalan lagi beberapa lama, akhirnya mereka berhenti di sebuah rumah makan yang sudah beroperasi penuh.

"Dik, izinkan aku traktir kamu untuk makan malammu, ya?" tanya Farqat lembut.

Kali itu, Jisha mengiakan. Meski sebenarnya ia tak berselera memakan apa pun, ia tetap menerima apa pun yang Farqat tawarkan, dan memilih jika harus.

Petang itu, Jisha berpamitan dengan Farqat. Ibu-ibu paruh baya itu memeluknya erat, mungkin didasari atas kerinduan pada anaknya.

"Maaf, aku enggak bisa berlama-lama di sini," bisik Jisha. "Tapi, kalau takdirnya begitu, aku akan ke sini lagi. Selamat tinggal."

Yang Jisha agak tidak menyangka, Farqat memberinya buah-buahan, termasuk jeruk. Entah dari mana itu berasal, tetapi Farqat kekeh menyuruh Jisha membawanya.

Kalau ada benda yang bisa memicu kenangan Jisha, maka itu adalah jeruk.

Jisha sempat melirik sekali kota kecil itu sebelum berpaling dan menjauh. Ia ingat, itu yang sosok lelaki yang kabur dalam ingatan itu lakukan, sebelum ... hilang selamanya. Kali ini, ia berlari dan terus berlari ... berusaha tidak mengetahui kabar kota itu lagi.

Sampai berhari-hari kemudian, ketika ia kembali berada di padang pasir tandus tanpa peradaban. Ia dikejutkan dengan kemunculan dua orang misterius yang berkata bisa membawanya ke masa depan.

Apa maksudnya?

Jisha menolak, tetapi dua orang itu malah menyeretnya. Memaksa sekali! Yang Jisha tahu selanjutnya, ia berada di sebuah ... penampakan koloni kumuh dengan tenda-tenda rombeng yang tampak sudah ditinggalkan.

Tidak hanya itu.

Hari sudah malam. Jisha yang masih berusaha mencerna situasi, tiba-tiba mendengar suara gemuruh yang sangat ia kenali. Sekujur tubuhnya seketika kaku, apalagi ketika melihat kubah raksasa di kejauhan tiba-tiba runtuh dan ambruk tak bersisa.

Kutukan yang melekat padanya ... apakah itu benar?

****

Hayo tebak bersambungnya di mana

****

Tema: Buatlah cerita dengan setting pasca tsunami

Kalau bahas bencana, kalau MC-nya bukan Ven, ya Jisha!

Jkt, 11/2/24
zzztare

It's Girls Time!Where stories live. Discover now