With---6: Harusnya

66 18 156
                                    

Istirahat pertama pun tiba. Angel seperti biasanya setelah semua buku pelajaran tadi dimasukkan ke dalam tas, dia ingin ke kantin, tetapi sebelum itu Angel menghela napas ketika melihat Nadinia masih uring-uringan akibat mascara-nya disita oleh Rayyan.

“Sudahlah, Ndin. ‘Kan kamu juga nggak tahu kalau nyelip di dalam tas. Lain kali diteliti dahulu sebelum berangkat sekolah,” ucap Angel menenangkan.

“Masalahnya itu mascara punya mamaku, Ngel. Mahal lagi. Kenapa ceroboh banget, sih, aku. Ya Allah,” gerutu Nadinia.

“Sabar, Ndin,” jawab Angel setelah selesai memberesi bukunya.

“Masmu itu bisa luluh nggak, sih, Ngel? Dia itu terlalu nggak dapat ditebak sepertimu kadang-kadang. Cuma Saras yang paham,” ucap Nadinia sedikit mendesah.

“Kalau masalah sitaan sepertinya sulit, deh, Ndin. Soalnya itu tugas dan perintah. Dia pun hanya menjalankan dengan baik. Yok! Ke kantin saja daripada ngomel mulu. Lapar, nih,” ajak Angel.

Nadinia hanya mengiakan lalu dia berjalan beriringan menuju kantin. Sesampai di sana mereka langsung duduk bersebelahan dan memesan makanan. Angel dan Nadinia pun setelah itu cukup lama berdiam diri. Namun, akhirnya Nadinia mengajak Angel mengobrol terlebih dahulu.

“Ngel, aku boleh nanya nggak?” ucap Nadinia.

Angel tertawa merespons hal itu. Tumben Nadinia meminta izin dahulu biasanya langsung ceplas-ceplos. Usai tawanya reda Angel beralih tersenyum menatap Nadinia.

“Mau tanya apa, Ndin? Soal Brama?” tebak Angel.

Mendengar nama “Brama” Nadinia mendengkus kesal. Pasalnya, cowok satu ini tidak berhenti-hentinya dibahas oleh adik kelas dan kakak kelas karena tadi sahabatnya bareng sama dia.

“Bosan dengarnya, Ngel. Nggak ada topik lain apa selain dia? Eh, memang benar tadi pagi kamu pelukan sama Brama?” tanya Nadinia.

“Nggak sengaja, Ndin. Aku mau jatuh. Bukan, meluk. Pelukan sama-sama mau,” sanggah Angel.

“Oh. Aku percaya sama kamu. Jadi tranding topic tahu nggak? Pada iri, noh, sama kamu,” kata Nadinia.

“Tahu, ah, Ndin. Aku saja bingung sama satu cowok itu. Maunya apa, gitu?” tanya Angel heran.

“Aku pun yang sudah jadi mantannya bingung juga,” balas Nadinia.

“Katanya tadi nggak kepo sama Brama? Kok, bahas dia?” ledek Angel.

Nadinia hanya cengar-cengir mendapat ledekan dari Angel, kemudian dia pun menatap Angel dalam.

“Aku nggak tanya itu, sih, tadi niatnya,” sanggah Nadinia.

“Terus?” tanya Angel penasaran.

“Pas kamu pingsan terus mimisan. Rayyan bilang, itu dari kecil. Namun, kamu nggak sekuat dahulu lagi, Ngel, ketika usaha terbesarmu dihancurkan. Usaha apa itu, Ngel? Maaf aku ingin tahu,” kata Nadinia.

Keingintahuan Nadinia membuat Angel menghela napas. Pasalnya, hal itu paling menyakitkan dalam sejarah peristiwa di hidupnya. Mengetahui balasan Angel seperti itu, Nadinia tersenyum.

“Namun, kalau kamu tidak mau jawab tidak apa, kok, aku hanya ingin tahu saja. Aku tidak memaksa. Toh, setiap orang punya rahasia masing-masing. Aku pun juga,” kata Nadinia.

“Aku mau jawab, Ndin,” sanggah Angel.

“Apa, Ngel?” tanya Nadinia.

“Aku mau bisa berjalan sendiri, waktu itu tinggal sedikit lagi. Aku senang banget, Ndin, berasa ini ujung berjuanganku setelah itu lanjut cita-citaku yang lain nanti. Namun, tiba-tiba masalah terbesar di keluargaku memuncak. Papa dan Mama berantem hebat. Aku selalu disalahin, dimarahin bahkan dicaci maki tanpa aku tahu salahku apa? Harusnya, Papa dan Mama bisa membantu mempertahankan usahaku untuk mereka juga, sih, sebenarnya. Malah mereka yang menghancurkan. Aku yang matian-matian menjaga itu sendiri akhirnya nggak bisa. Aku drop, sakit parah lalu aku kehilangan semuanya. Terus, saat aku sembuh, aku pula yang salah karena aku nggak seperti dahulu lagi. Aku juga nggak menyerah. Aku terus mencoba. Namun, lagi-lagi tenagaku sudah tidak sebanding seperti dahulu,” kata Angel menceritakan.

“Mereka seperti nggak punya salah sama kamu, ya? Iya, sih, kamu sudah diobatkan ke mana-mana. Ada hasil juga ‘kan di titik itu? Namun, mereka sendiri yang tidak melihatnya karena egonya besar,” jawab Nadinia.

“Mereka nggak salah, kok, Ndin. Hanya aku yang tak tahu terima kasih. Meski begitu, mereka tetap orang tuaku ‘kan?” jawab Angel.

“Ngel, jangan seperti itu! Yang sabar, bagaimana pun mereka tetap orang tuamu,” balas Nadinia.

“Aku terus belajar untuk ikhlas, menerima, dan mencoba, Ndin,” kata Angel.

Mendengar hal tersebut, Nadinia tersenyum sembari mengangguk. Setelah itu pesanan mereka datang. Angel dan Nadinia pun segera makan. Namun, saat mereka sedang asyik akan hal itu tiba-tiba Abit datang dan langsung menuangkan banyak saus ke makanan Angel. Sang empunya pun hanya sedikit menghela napas dan menghentikan pergerakan tangannya.  Sendoknya sudah penuh dengan saus.

Nadinia yang melihat hal itu langsung saja berdiri lalu merebut botol sausnya dan menyemprotkan ke dada Abit. Abit pun terkejut  akan hal tersebut, lantas dia menatap tajam Nadinia. Tatapannya Abit dibalas dengan senyuman sinis oleh Nadinia.

“Apa, sih, salah sahabatku sehingga kamu benci segitunya sama dia?” tanya Nadinia geram. Dia sudah berdiri di depan Abit, mereka tengah berhadapan sekarang.

“Itu bukan urusanmu! Ini urusanku sama Angel, paham?” kata Abit menantang.

“Kamu yang harus paham! Urusan Angel, urusanku juga!” sanggah Nadinia.

“Aku nggak peduli. Seberapa banyak orang yang melindungi Angel, aku semakin penasaran dengan cewek murahan itu,” ucap Abit tersenyum sarkas.

Plak!

Nadinia menampar pipi kanan Abit dengan keras. Bahunya naik-turun menahan emosi yang sudah memuncak, dia telah sakit hati dengan omongan Abit.

“Jaga, ya, mulut kamu! Aku mengakui dirimu pintar, Abit. Namun, pintarmu itu nggak ada gunanya jika tak mempunyai rasa mengormati. Kamu lebih rendah daripada sampah di luar sana, itu pun sampah yang nggak bisa didaur ulang!” bentak Nadinia karena dia sudah muak.

“Benar-benar, ya, kamu, Ndin!” bentak Abit balik lalu dia mendorong tubuh Nadinia hingga terjatuh. Kepalanya membentur tembok. Walau dia merasakan sakit di kepalanya, Nadinia berusaha bangkit. Namun, terlambat. Tangannya sudah dicengkram oleh tangan Abit terlebih dahulu. Suasana kantin pun semakin riuh, tetapi tak ada yang berani mencegah Abit.

Ketika Abit hendak melayangkan tangan kanannya untuk menampar pipi Nadinia, tiba-tiba ada cowok yang menghentikannya.

Bugh! 

Dia menonjok muka Abit sampai dia terjungkal dan tersungkur. Sebelum Abit bangkit, cowok tersebut menyengkram lebih dahulu kerah baju Abit. Mereka saling bertatapan karena hal tersebut dan cowok itu berlanjut menonjok muka Abit bertubi-tubi.

*****

Di sisi lain, Brama yang baru saja datang lantas melihat kejadian itu langsung saja menghampiri Angel. Dia ketakutan seraya menutupi kedua telinga dengan tangannya. Tidak ada pilihan lain, selain Brama mendekap tubuh Angel dalam pelukannya.

“Yang tenang, ya, Ly. Kamu aman sama aku,” kata Brama.

“Aku takut, Bram, Nadinia kenapa-kenapa. Ini salahku! Harusnya aku yang didorong Abit tadi. Lepas, Bram! Aku mau ke Abit biar aku yang mendapatkan itu,” sanggah Angel. Dia berontak hebat, tetapi berhasil Brama tahan.

“Nggak, Ly! Kamu tidak boleh menyalahkan dirimu sendiri,” jawab Brama masih mendekap tubuh Angel.

“Aku jahat, Bram. Orang yang aku sayang selalu terkena masalah karenaku,” jawab Angel dalam tangisannya.

“Nggak, Ly. Kamu nggak jahat. Sudah! Kamu harus tenang, ya,” pinta Brama sesekali mengelus rambut Angel. Sangat terasa tubuh Angel bergetar dalam pelukannya, Brama paham, Angel begitu takut dengan suasana ini.

****

Ketika Waktu BersamamuWhere stories live. Discover now