3. Menangislah

1 0 0
                                    

14 tahun yang lalu.

Dibawah awan mendung yang kian mengumpul, ada banyak orang yang berkumpul di depan dua makam yang baru selesai ditimbun itu. Tampak pula seorang anak lima tahun yang memegangi dua potret dari mereka yang telah berpulang.

Gerimis mulai turun, orang-orang mulai beranjak meninggalkan si anak yang masih berdiri diam di depan dua pusara yang masih basah tanahnya. Ia tak menangis, tidak pula bersuara. Hanya terdiam memandangi dua nisan yang bertuliskan nama kedua orang dalam bingkai yang dipegangnya.

"Adit, ayo pulang," kata seorang perempuan yang di sebelahnya. Ia berjongkok supaya selaras dengan tinggi si bocah.

Adit kecil tak menjawab, matanya terlihat seolah ia berada di dunia yang berbeda. Kemudian si perempuan menggendong Adit yang tetap diam tak bersuara. Ia jelas tahu, anak itu sedang menahan sakit yang teramat sangat.

Si perempuan membuka payungnya sambil terus menggendong Adit. Hujan yang semakin deras menambah duka yang dirasakan keduanya. Dipandanginya wajah Adit yang demikian berubah dari aslinya. Sorot matanya menjadi bak kelabu tanpa binar cahaya, bibirnya yang tampak kusam rapat tertutup.

Keduanya larut diam dalam pikiran mereka masing-masing. Si perempuan dengan mata yang berkaca-kaca, sedang Adit membeku dalam hening.

"Adit, kamu anak kuat kan?" Bergetar suara si perempuan bertanya. Tak tega rasanya melihat Adit kecil yang teguh bak patung kecil.

Sampai di rumah, orang-orang yang melihat Adit kecil dan si perempuan sejenak berhenti bersuara, berganti dengan bisikan pelan.

"Kasihan, masih kecil sudah harus ditinggal orang tuanya." Lepas suara salah satu wanita di dalam rumah itu.

"Kak!" sergah si perempuan yang menggendong Adit.

Ia menurunkan Adit dari gendongannya. Ditatapnya wajah kecil urung memiliki dosa itu. Kembali matanya harus susah paya membendung air mata yang kian meluap.

"Adit, kamu ke kamar dulu ya, nanti ibu susul kamu!" pintanya.

Adit dia mengangguk lalu berlalu pergi. Ia menatap orang-orang yang masih sibuk berbisik di ruangan itu. Setelah Adit menghilang dari pandangan, seorang pria berucap.

"Sekarang, siapa yang mau mengurus anak itu?" tanya si pria lantang.

"Aku tidak bisa. Aku dan suamiku bekerja sampai malam. Mana mungkin kami mengurus anak kecil." jawab seorang wanita yang tengah duduk di sofa panjang.

"Aku juga tidak. Lihat saja dia! Membawa sial bagi orang tuanya sendiri!" sambung wanita di sebelahnya.

"Mbak, Jumi! Dia itu masih keponakan kita!" sergah Naya, perempuan yang menggendong Adit tadi.

"Kenapa? Itu benar, kan?" balas si wanita yang bernama Jumi itu. "Dan lagi, dia itu keponakan suamiku, bukan aku!" sambungnya.

Alot perdebatan terjadi diantara semua orang. Jelas mereka mengganggap Adit bukan bagian dari mereka. Rasa enggan memenuhi jiwa mereka, seolah Adit bukanlah seseorang yang layak mendapat perhatian mereka.

"Baik, biar aku yang merawatnya!" Naya semakin tinggi suaranya, matanya memerah menahan tangis. Bagaimana bisa mereka meninggalkan seorang anak kecil yang baru saja kehilangan segalanya?

"Cih, kamu cuma mau asuransi orang tua anak itu, kan? Lagi pula, memangnya kamu bisa? Kamu yang cuma mahasiswi, apa bisa menghidupi anak itu? Atau karena dia adalah satu-satunya keluargamu yang tersisa?" Begitu hinaan yang harus ditahan Naya dari keluarga Kakak iparnya, Agus, ayah Adit.

"Setidaknya aku tidak akan meninggalkan Adit sendirian! Tidak seperti kalian, para munafik!"

"HEI!" teriak salah seorang wanita. "Mulutmu itu beracun juga ternyata. Begitu orang tuamu mengajarimu?"

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 14 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Symphony; Sebuah HarmonyWhere stories live. Discover now