Sepuluh

26 4 0
                                    

Dia sangat mengerti bahwa kehidupan pernikahan tidak seindah postingan-postingan liburan di media masa. Bagaimana gambar-gambar itu seperti menyampaikan bahwa pasangan itu sangat bahagia. Kita tidak ditunjukan apa yang ada dibalik layar. Apakah mereka sering bertengkar demi menentukan liburan selanjutnya akan kemana. Apa mereka sering berdebat saat memilih tempat makan mana yang paling disukai. Atau mereka sering bersilang pendapat karena keinginan masing-masing harus pupus demi kekompakan yang terekam di lensa kamera. Kemudian gambar itu menampilkan potret bahagia tiada tara. Membuat yang melihatnya iri dan mendoakan yang baik-baik.

Kita tidak pernah tahu apa yang tidak diperlihatkan orang lain dibalik senyum dan tawanya. Sekalipun yang tampil adalah bahagia, siapa yang mengira bahwa di hatinya adalah sebaliknya.

Seperti sore ini. Entah bagaimana awalnya, mereka kembali berdebat. Tentang tempat tinggal. Bagaimana Gita berpikir untuk punya tempat tinggal sendiri, bagaimana perempuan itu memintanya untuk tidak tinggal dengan orang tuanya.

"Mereka orang tuaku Gita, mereka ngga punya siapa-siapa selain aku. Kamu pikir kemana mereka bakal minta tolong kalau bukan ke aku, ke anaknya"

Sejak awal, Gita memang tidak sepenuhnya setuju tinggal disini. Alasannya satu, Mama, kedua orang tuanya. Dan itu menyakitinya!

"Trus aku? Kemana aku harus minta tolong kalau bukan ke kamu? Setiap hari aku coba bersikap baik ke Mama-Papamu, tapi apa yang aku dapet?" Gita menggeleng, "Ngga ada. Mama kamu tetep ngga suka sama aku!"

"Tapi ngga dengan pergi dari sini Gita. Orang tuaku tetep tanggung jawabku!"

Memang tidak ada yang berakhir baik jika emosi dilawan dengan amarah. Setiap kata yang keluar hanya menyakiti satu sama lain. Seharunya dia berhenti saat menyadari ini, tapi dirinya juga lelah. Gita tidak akan paham, dan Mamanya tidak akan mengerti.

"Aku ngga akan minta kamu milih, Rel. Aku tahu aku ngga ada apa-apanya dibandingkan orang tua kamu. Aku cuma minta kamu mikir, gimana caranya kita ngga berantem terus gara-gara ini!"

***

"Ma, Gita bilang mau ke situ..."

"Iya udah sampai, lagi di kamar dia" suara di seberang tidak berubah. Tetap tenang seperti sebelum-sebelumnya. Kemudian hatinya sangsi, apa wanita ini tahu? Apa Gita mengatakan semuanya?

"Aku..."

"Besok aja kesininya yah Rel, habis pulang kerja. Mama juga ada yang pengin disampaikan ke kamu. Sekarang istirahat dulu..."

Mama juga ada yang pengin disampaikan!
Bukankah jelas kalau perempuan ini tahu? Lalu apa menurut mertuanya dirinya salah? Tentu saja. Dimana-mana, orang tua akan membela anaknya mati-matian. Lagi pula siapa yang tidak marah saat mendapati anaknya pulang dalam kondisi menangis begitu.

"Mama aku nggak..."

"Besok aja yah, Mama tunggu. Selamat malam Rel."

Dan sambungan diseberang terputus. Bahkan sebelum dirinya merespon. Farrel memandang layar ponselnya yang padam. Dia mengingat-ingat, sudah berapa kali kejadian seperti ini terulang lagi?
Beberapa jam lalu dirinya merasa apa yang dia katakan benar. Seharusnya Gita mengerti dan tidak langsung tersulut emosi. Karena dia juga gampang terpancing kalau istrinya sudah marah-marah. Tapi bukankah marahnya wajar? Bagaimana Gita bisa menjadikan orang tuanya alasan untuk selalu nerdebat dengannya? Bagaimana istrinya bisa selalu menyalahkannya atas keputusan yang dia ambil untuk orang tuanya?

"Kamu tahu kewajiban kamu sebagai suami? Tugas kamu sebagai suami? Memilih tempat tinggal yang buat aku nyaman. Tapi aku sama sekali ngga ngerasain itu disini!"

***

Dipandangnya perempuan yang baru keluar dari kamar mandi. Rambutnya setengah kering, dan wangi sabun mandi menguar memenuhi ruangan kecil ini. Ada hal tak biasa yang baru dia tahu dari seseorang yang hampir satu tahun menjadi istrinya ini. Bahwa Gita tidak akan menghubunginya dulu saat keduanya sedang bertengkar. Jangankan menelfon, membalas chat-nya juga jarang sekali. Perempuan itu seperti meminta time out, sedangkan dirinya ingin masalahnya cepat selesai. Karena diam tidak akan menyelesaikan masalah. Dan karena itu pula selama ini dia mengalah dan selalu mengajaknya bicara lebih dulu.

Seperti hari ini. Chat-nya semalam hanya di read, telfonnya pagi ini Gita acuhkan, bahkan pesannya siang tadi belum dibaca. Terakhir dia lihat memang belum dibaca. Gita merapikan meja lipatnya. Ditumpuknya buku-buku yang berserakan, drawing tab-nya dimasukan ke ransel sementara ponselnya yang sejak tadi diatas kasur dia charge.

"Ayo kita pulang Gita" katanya tanpa basa basi.

"Pulang kemana yang kamu maksud?"

Tanpa komando perempuan ini menyerangnya. Gita berhenti melakukan pekerjaannya kemudian menatapnya.

"Ke rumah orang tua kamu? Biar apa? Biar bisa dijadikan alasan Mamamu marah-marah? Biar aku sadar kalau sampai kapanpun aku akan selalu kalah sama keinginan Mama kamu?"

Ditelannya ludah lagi. Jelaslah Gita sangat kesal kali ini. Bahkan dari sorot matanya, perempuan ini seperti kecewa. Padanya kah? Karena keinginannya tidak dipenuhi?

"Jangan marah-marah Gita. Kita cuma perlu ngobrol, diskusi, dicari jalan tengahnya. Aku juga harus mikirin orang tuaku."

Perempuan didepannya diam, tapi masih belum mau menatapnya.

"Coba kasih aku jalan tengah yang paling masuk akal. Kamu bilang nggak semua keinginanku harus kamu turuti, tapi semua keputusan kamu selalu buat orang tua kamu."

"Kamu maunya aku gimana?"

Gita menyugar rambut kemudian mengusap wajahnya frustasi. Kemudian menggeleng.

"Mama bilang apa aja ke kamu? Cerita ke aku biar aku ngerti masalahnya, kita ngga bisa diem-dieman kayak gini terus!"

"Kamu bilang aku salah paham, kamu selalu bilang Mama kamu sebenarnya baik. Niat Mama baik. Tapi sampai kemarin aku nggak ngerasa begitu. Kamu percaya kalau aku bilang Mamamu nggak pernah nganggep aku disana? Buat Mama kamu, aku itu orang asing Rel."

Gita mulai menangis.

"Waktu Mama kamu di rumah sakit. Bahkan aku harus minta tolong ke Arikh atau Rania buat ngomong sama Mama kamu. Kamu tahu gimana perasaan aku waktu Mama bahkan nggak mengenalkan aku sebagai istri kamu ke temennya. Kamu bilang Mama pasti ngerti soal keputusan kita buat ngga ada anak dulu, di depan kamu Mama begitu, tapi didepanku?"

Gita menggeleng, "Semua itu salahku. Mama kamu bilang kamu bisa melakukan apapun buatku, tapi kenyataannya apapun yang kamu lakukan buat Mamamu. Bukan aku yang ngga berusaha, tapi semua usaha yang aku lakukan ngga pernah dianggap."

"Kamu nggak akan percaya Rel" katanya terdengar putus asa.

Farrel maju selangkah, "I trust you."

Dipeluknya Gita begitu saja. Ditepuk-tepuknya punggung istrinya pelan. Diciumnya bahu perempuan ini. Dia selalu percaya perempuan ini, tapi masalahnya bagaimana dirinya bisa berpikir kalau kedua orang tuanya bisa begitu?

***

Pelukan ini terasa janggal. Terasa tidak pas. Bagaimana awalnya Farrel meminta dirinya mengerti, tapi dengan mudah pria ini mengatakan percaya. Ada yang terasa tidak benar dengan apa yang dilakukan pria yang tiba-tiba memeluknya ini.

***
Harapan baik dan doa yang baik semoga membawa kebahagiaan dalam hati.
-Munn

Epiphany (Tamat)Where stories live. Discover now