Tujuh Belas

32 2 0
                                    

Entah sudah berapa kali dia menyaksikan pemandangan ini. Terbangun di pertengahan malam karena seseorang di sampingnya menangis dengan mata terpejam. Entah sebenarnya Gita sudah benar-benar tidur atau belum, tapi perempuan ini hampir selalu menangis di tengah-tengah tidurnya. Dia selalu ingin tahu, apa yang terjadi di dalam mimpinya sampai hal itu berlangsung berhari-hari. Tapi Gita tetap diam.

Beberapa hari lalu dia sempat mencari tahu siapa teman Gita yang bernama Dinda itu. Dia hanya tahu mereka berteman sejak SMA. Tapi belakangan dia sering mendapat laporan kalau mereka lebih sering bertemu. Dan info yang dia dapatkan, Dinda adalah seorang konsultan psikolog yang kantornya masih satu wilayah dengan gedung kantor Gita. Dia juga sempat menemui perempuan itu untuk menanyakan soal Gita yang baru dia tahu bahwa selama ini istrinya rutin melakukan konsultasi.
Kecemasan, gangguan tidur, serangan panik bahkan Gita sempat merasa seseorang tengah mengawasinya. Separah itukah yang dialami perempuan ini?

Sore tadi Nila menelfon dan memberitahu kalau Gita pingsan. Kebetulan mereka memang sedang keluar bersama. Sekitar jam tiga sore diantarnya istrinya ke salah satu kafe di daerah Mampang. Lumayam dekat dari rumahnya dan tidak jauh dari tempat kerja Nila.

"Dia nggak pa-pa, langsung ke IGD-nya aja yah Rel" pesan Nila sebelum menutup telfonnya.

Setengah jam kemudian dirinya sampai dan langsung ke tempat yang ditunjuk Nila. Tempat tidur nomor tiga dari ujung. Gita dengan tangan kanan terpasang infus sedang duduk bersandar dibantu bantal di punggungnya.

"Are you okay? Kenapa tiba-tiba pingsan sih?" serbunya khawatir. Setelah memastikan tidak ada yang terluka, dipeluknya istrinya singkat.

"Tadi kafenya lumayan rame, jadi ngantri panjang. Dia bilang belum makan dari siang..." Nila yang menjawab sambil menyurukan tumbler yang ternyata isinya teh hangat.

Dibantunya Gita minum. Setelah infusnya habis dan dokter memastikan tidak ada yang perlu dikhawatirkan, mereka pamit dan meninggalkan Nila di rumah sakit. Sebentar lagi Riva sampai katanya. Dan sebelum dia benar-benar pergi, Nila sempat memanggilnya. Saat itu dia sedang menunggu Gita di depan toilet.

"She know you love her a lot. Jangan pernah tinggalin Gita ya Rel."

Jadi, siapa yang ingin pergi sebenarnya? Dirinya kah? Bukankah Gita yang ingin dilepaskan?

***

Dipeluknya perempuan yang masih menangis itu.

"I love you Sagita. I love you."

Ada yang lebih mengerikan daripada menyaksikan perempuan ini menangis dalam tidurnya. Yaitu yang terjadi sebelumnya. Gita mengigau entah apa dalam posisi meringkuk. Persis anak kucing yang kedinginan. Tapi bukan itu yang membuatnya iba, melainkan sepasang tangan yang memeluk itu seperti terlalu erat dan meninggalkan bekas kuku-kuku di lengannya. Kadang dia mengurai kedua tangan Gita dan memeluknya, mengusap punggungnya berkali-kali. Dia jadi ingat teman SMA Gita yang bernama Dinda itu. Separah itukah yang dialami perempuan ini?

Farrel mendekat lalu memeluk Gita yang masih menangis.
"Apa sesulit itu buat bertahan sama aku? Apa semenyakitkan itu?"

Pelukannya semakin erat.
Untuk kekalahan yang akan dia terima, Farrel hanya berharap Tuhan masih mengasihaninya. Bahwa Tuhan akan memberikan balasan yang setimpal atas apa yang baru saja dia lepaskan.

"Kalau itu bikin kamu lebih baik. Ayo berpisah."
Dan pelukannya dibalas. Gita memeluknya erat. Apa Gita benar-benar ingin dilepaskan?

"Tapi satu hal yang harus kamu ingat. Aku nggak akan kemana-mana, aku nggak akan ninggalin kamu sendirian. Kita tetep bisa lewatin ini sama-sama" tambahnya lagi begitu pelukan keduanya terurai. Ditangkupnya wajah Gita, kemudian di satukannya keningnya.

"You know i love you so bad, Sagita."

Diciumnya perempuan yang masih menangis itu. Entah kenapa mencintai bisa serumit ini. Dulu dia menertawakan orang-orang yang menggaungkan cinta mati pada seseorang tapi dengan bodohnya melepaskan dan saling menyakiti. Ternyata dia menyadari satu hal. Bahwa cinta yang berlebihan tidak selamanya bisa mempertahankan sebuah hubungan. Dirinya contohnya. Dia mendapatkan cinta yang begitu besar dari kedua orang tuanya, dan kepada perempuan ini cintanya bisa melakukan apapun.

Farrel melepaskan ciumannya, ditatapnya Gita yang tengah menatapnya.

"Jangan nangis Gita" diusapnya air mata yang terus turun, kemudian diberinya perempuan ini kecupan di kelopak mata kirinya.

***

"Maafin aku, Pa" serunya pelan setelah pulang dari sidang terakhir dan hakim memutuskan mereka resmi bercerai. Pernikahannya berakhir. Farrel menemui mertuanya dan langsung berhambur memeluknya. Pada pria tua yang duduk di kursi roda yang langsung menyambutnya dengan pelukan dia meminta maaf bukan hanya dengan segenap hati, tapi seluruh jiwanya. Jauh di lubuk hatinya dia tidak ingin ini terjadi. Dia ingin bertahan mati-matian, tapi bagaimana jika seseorang yang dia cintai justru merasa kesakitan. Lagi, berkali-kali dia cium kedua tangan Papa mertuanya yang digenggam.

"Maafin aku."

Dirinya benar-benar minta maaf karena tidak bisa bertahan lebih lama. Karena kegagalannya mempertahankan pernikahan. Dirinya meminta maaf karena tidak bisa memenuhi janjinya. Nyatanya dia kalah, justru oleh orang yang sangat dia cintai.

"Papa tahu kamu sangat menyayangi Gita. Seumur hidup kami juga menyayangi dan akan tetap mencintainya. Jadi Farrel, terima kasih kamu sudah memilih putri kami sebagai orang yang tepat buat kamu. Kami bahagia."

Kalimat Papa berputar di kepala. Nyatanya, dia gagal mempertahankan rumah tangganya sendiri.

***

"Nugo bilang kamu nggak pernah punya pacar sebelumnya. It's mean that i'm your first?"
Gita bicara dalam jarak yang sangat dekat, hingga hangat nafasnya menyentuh wajahnya.

"Hm."

"Bohong!"

Apa sih yang dilakukan perempuan ini? Kenapa Gita menatapnya begitu? Sebelumnya perempuan ini sudah menggodanya seolah-olah menginginkannya bahkan dia sudah membuka dua kancing teratas kemeja putihnya, tapi tidak melanjutkan. Kini Gita malah menatapnya lama-lama.

"Pasti kalian bersekutu biar aku merasa spesial."

"No" jawabnya tanpa suara, "Tanya Mamaku. Aku nggak pernah cerita cewek lain kecuali kamu."

Bibir bawah Gita dimajukan sambil mengangguk, "Jangan kebanyakan bohong. Nanti lidahmu putus. Lagian nggak ada Mamamu disini, jadi nggak bisa aku tanya-tanya."

Dijatuhkannya kepalanya hingga kening mereka bersentuhan. Farrel mendengus, kenapa cewek ini gemas sekali. Lalu diangkatnya lagi kepalanya.

"Kamu jangan lucu-lucu dong, jadi pengin ku gigit!"

"Idih, dasar ular!"

Farrel menyerah lalu merebahkan badannya di sebelah Gita. Ditatapnya langit-langit kamar. Kemudian di beralih ke perempuan yang tengah menatapnya.

"Aku ngantuk banget nih."

Lagi, Farrel mendengus. Kemudian dibenamkannya Gita dalam pelukannya. Hari ini rasanya dia ingin tertawa selamanya. Satu mimpinya jadi nyata mewujud Gita menjadi miliknya. Setelah penantian panjang dan berkali-kali penyataan untuk membuatnya benar-benar yakin. Entah sikapnya mana yang membuat perempuan ini luluh dan percaya, dia sudah tidak ingin tahu lagi. Baginya sekarang adalah Gita, perempuan yang menguasai hati dan pikirannya. Dia tidak mau yang lain. Terserah jika dia tidak percaya.

"I love you, Sagita."

"I love you too" jawab perempuan ini lalu membalas pelukannya.

Hari ini adalah hari yang bahagia. Jika bisa, dirinya tidak ingin kemana-mana. Tapi, bukankah manusia hanya pandai berencana?

-Munn

Epiphany (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang