BAB 2: Rasa Yang Tak Sampai

38 5 11
                                    

KETIKA matahari sudah menampakkan diri dengan sinarnya. Di pagi ini juga, Pram sudah rapi dengan pakaian kasual segera bergegas ke kantor. Namun, sebelum berangkat ia menyempatkan diri bertemu dengan Nala untuk mengajaknya berangkat bersama. Ini rutin dilakukannya setiap pagi. Pram tidak tahu  sampai kapan ia akan melakukan ini. Terkadang, dalam lamunannya ia memikirkan hal ini. Pram sangat bingung.

Laki-laki itu sudah berada di depan pintu kamar milik Nala. Mengetuknya perlahan, menunggu jawaban dari si empu yang berada di dalam. Namun, ternyata tidak ada suara yang terdengar. Apakah gadis itu sudah pergi pagi ini? Tumben sekali. Biasanya, walaupun Nala sudah siap, ia akan menunggu Pram untuk berangkat bersama.

“La? Lo ada di dalem, nggak?” Tidak ada sahutan apa pun.

Pasca kejadian malam itu, Nala memang sedikit menutup diri. Entah kenapa, Pram merasa gadis itu menjauhinya. “Lo nggak biasanya kayak gini, La? Lo kenapa sih?”

Pada akhirnya, Pram membuka room chat-nya dan segera menghubungi gadis itu.  Semoga saja Nala membalas pesan darinya.

Arunala

Lo, di mana?

Udah berangkat?

 

Sudah hampir dua puluh menit ia berdiri di depan pintu kamar gadis itu. Pram melihat arloji yang melingkar di tangan kirinya menunjukkan pukul 06.45 WIB. Ia harus segera pergi ke kantor sekarang juga, karena pekerjaan yang menumpuk sudah menunggunya.

“Ah, kalau nanti ketemu, awas ya lo!”

Baru berjalan beberapa langkah, pintu kamar itu terbuka. Menampakkan seorang gadis yang terlihat segar dengan senyum yang manis. Pram menatapnya tajam. Sahabatnya itu memang selalu bertingkah seperti anak kecil.

“Pagi, Pram!” sapanya dengan semangat.

“Hm, pagi.” Laki-laki itu membalas dengan cuek.

Nala yang melihat itu jadi bingung. “Lo kenapa? Kok kayak badmood gitu?”

Dasar cewek nggak peka. Dasar ngeselin! Pram masih diam dan terus berjalan. Sedangkan Nala menatapnya dengan bingung, kemudian menyusul langkah laki-laki itu.

“Pram! Lo kenapa sih?”

“PRAM! PRAMOEDYA!”

Nala menghadang laki-laki itu, kemudian mengamatinya dari ujung kepala sampai ujung kaki. “Lo sakit? Jawab dong!”

Namun, Pram tidak peduli. Ia merotasikan kedua bola matanya malas. “Lo yang sakit!”

Hingga tidak terasa mereka sampai di basement. Pram memberikan helm kepada Nala, dan segera menyalakan motor miliknya. Setelah memastikan gadis itu sudah naik, Pram melajukan motornya keluar dari area apartemen.

“Lo kenapa sih? Beda banget hari ini? Gue buat salah ya?”

“Dasar nggak peka!” tegas Pram. Nala mengernyitkan keningnya, kemudian mengingat kesalahan yang telah ia perbuat sehingga Pram marah kepadanya.

Jalanan Kota Bogor pagi ini sedikit basah, mengingat semalam hujan turun dengan lebat. Seperti yang orang-orang bilang, “Bogor Kota Hujan” julukan yang melekat sampai detik ini. Bogor, memiliki banyak filosofi dan sejarah yang sangat berpengaruh.

Jarak kampus Nala dengan apartemen sebenarnya tidak terlalu jauh. Hanya saja, Pram selalu memilih jalan yang jauh karena ingin terus bersama Nala. Hanya Nala yang dapat melihat dunianya yang gelap. Hanya Nala yang bisa membuatnya selalu semangat. Nala, tujuan hidupnya.

Rumah Untuk Nala ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang