BAB 8: Hanya Sebatas Mimpi

13 4 0
                                    

DERAI air mata tidak selamanya dikaitkan dengan rasa sedih yang merubah segalanya. Namun, terkadang derai air mata juga diartikan sebagai bentuk rasa terharu atas semua pencapaian. Semua orang memiliki pandangan yang berbeda. Tetapi, Nala mengaitkan segala rasa sedihnya pada derai air mata yang merubah jalan hidupnya. Itu pengamatan Pram selama ini. Terlalu banyak kesedihan di dalam dirinya, membuat Pram yakin jika Nala selama ini tidak baik-baik saja.

Tidak baik-baik saja, semuanya telah hancur dalam hitungan detik saja. "Huh." Laki-laki itu mengembuskan napas panjang. Sudah hampir satu jam ia mencari keberadaan gadis itu, tetapi tidak kunjung ketemu juga. Ia sangat khawatir, takut hal yang tidak diinginkan terjadi kepada Nala.

Setelah pertengkarannya dengan Hasby, Nala pergi begitu saja meninggalkan Pram di tepi jalan. Pram mengerti, dan ia paham betul isi hati gadis itu. "Lo ke mana sih, La?"

Pram bahkan meninggalkan motornya di sembarang tempat. Ia pergi mengejar Nala yang sekarang entah berada di mana. "Jauh banget lo mainnya." Pram bingung sekarang. "Maaf, gue terlalu ikut campur sama urusan lo. Tapi, gue bener-bener sayang sama lo, La."

Ketika rasa frustasinya datang, Pram menemukan gadis yang ia cari. "Ternyata, di sini." Ia melangkah perlahan, mengembuskan napasnya lega karena Nala akhirnya ketemu.

Nala menatap lalu lalang kendaraan dari atas jalan layang. Matanya tidak beralih sekalipun dan tetap fokus pada lamunannya. Bahkan, gadis itu tidak menyadari kehadiran Pram di sisinya.

"Dari tadi di sini?" Pertanyaan dari Pram menyadarkan lamunannya. "Gue nyariin lo, La. Eh, ternyata di sini." Pram tersenyum, ia bersyukur karena Nala tidak berbuat nekat.

Nala masih tidak bersuara. Ia menolehkan kepalanya menatap Pram, tetapi kembali ke posisi awalnya. Saat ini, Nala tidak tahu harus bagaimana.

"Gue minta cukup, La. Bisa, kan?"

"Gue nggak bisa lihat lo kayak gini terus! Apa lo tahu gimana khawatirnya gue setiap lo pergi kayak gini?"

Pram tersenyum tipis. "Tapi anehnya, gue menikmati ini."

"La, apa lo tahu? Gue nggak pernah sesayang ini sama cewek. Cuma lo yang gue sayang."

Mendengar ucapan laki-laki itu, Nala membulat matanya sempurna. Kemudian beralih menatap Pram yang ternyata juga menatapnya dengan serius.

"Lo tahu alasan gue selalu ikut campur urusan lo?" Nala menggeleng. "Karena lo terlalu bodoh dalam hal percintaan. Terlalu naif, nggak pernah mikir ke depannya bakal kayak gimana. Makanya, karena itu gue sering bilang sama lo, kan? Hati-hati kalau kenal sama cowok."

Cairan bening keluar dari pelupuknya. Nala menundukkan wajahnya, ia menangis dan merasa kalau ucapan Pram benar adanya. Dan gue nggak bakal biarin lo tersakiti lagi.

"Maaf, gue nggak bermaksud marahin lo, La. Lo paham pasti, lo juga tahu apa maksud gue. Please, ini terakhir kali. Jangan sering-sering kayak gini lagi. Bisa?"

"PRAM!"

Gadis itu memeluk Pram dengan erat. Ia menangis dalam dekapan hangat laki-laki itu. Nala tidak bisa menahan dirinya lagi, ia sudah lelah dan ingin mengakhiri semuanya. Apakah langkahnya ini sudah benar? Pram harap setelah ini, Nala akan menjadi pribadi yang jauh lebih baik lagi.

"Nggak apa-apa, nangis aja. Gue ada di sini kok sama lo," ucap Pram sembari mengelus rambut gadis itu.

"Maafin gue, Pram. Gue sadar kalau selama ini gue cuma dimanfaatin doang. Gue lega putus sama Hasby. Makasih banyak ya, Pram." Nala mempererat pelukannya. Pram yang melihatnya hanya bisa tersenyum.

"Gue nggak habis pikir kalau si berengsek itu juga main di belakang gue."

"Gue pergi sama lo. Ayo pergi." Nala tetap diam. "La? Ngapain lo diem aja? Udah tinggalin aja si berengsek ini!"

Nala menunduk, pada akhirnya ia menurut kepada Pram dan pergi meninggalkan Hasby yang tampak urakan. Sebenarnya, Pram tidak ingin melakukan ini. Namun, apa dayanya?

Tetapi, langkah mereka terhenti ketika Hasby mengucapkan sumpah serapahnya. "BANGSAT LO PRAM!"

Pram membalikkan tubuhnya dan bersiap untuk menghajar laki-laki itu. Namun, Nala menahannya. "Lepasin gue, La!"

"Udah, Pram. Jangan diladenin!"

Nala sudah lelah, dan akhirnya ia menghampiri Hasby dan berdiri di hadapannya. "MULAI HARI INI, DETIK INI. KITA PUTUS!" teriak Nala dalam satu tarikan saja.

"Gue udah muak sama cowok tolol kayak lo! Lo itu kagak modal! Bisanya lo cuma manfaatin gue doang!"

"DASAR MOKONDO LO!"

Hasby naik pitam, ia sudah tidak tahan lagi. "YA ITU YANG GUE MAU! KENAPA NGGAK DARI DULU AJA KITA PUTUS?" Hasby menatap Nala remeh.

"Terserah lo mau panggil gue apa pun. Yang penting gue udah dapetin apa yang gue mau. Lo itu bego Nala. Bisa-bisanya gue tipu haha! Sebenarnya gue nggak pernah cinta sama lo. Gue cuma mau duit lo!"

Nala mengepalkan tangannya. Ini sudah sangat kelewatan. Ia sudah dibohongi laki-laki tidak berguna itu. "LO MEMANG JAHAT! GUE HARAP TUHAN KASIH KARMA BUAT LO!"

Pada akhirnya, Nala kembali menjadi dirinya sendiri yang tidak memiliki rasa sama sekali. Semuanya hilang dan sudah tidak berarti lagi.

"Udah biarin aja, La. Nanti dia bakal dapet ganjarannya." Nala mengangguk. "Lo lapar nggak?" Nala mengangguk lagi.

"Kita cari tempat makan dulu, abis itu baru gue anter lo pulang."

"Motor lo di mana? Kok gue nggak lihat?"

Pram cengengesan. "Tadi gue tunda. Gue buru-buru kejar lo. Cepet juga ya lari lo."

"Ya ampun Pram! Harusnya lo jangan taro motor Lo sembarangan. Kalau ilang gimana?"

"Lo, kok malah cemasin motor gue? Ini gue capek juga nyari lo tahu!" Pram membuang muka.

Nala merotasikan bola matanya. "Heleh. Lo udah gede. Gue cuma khawatir aja, nanti kalau digondol sama orang gimana? Lo susah payah lho nyari duit buat beli tuh motor?!"

"Iya gue cari nanti! Sekarang kita makan dulu ya?" Pram tertawa kecil.

"CARI SEKARANG JUGA!"

"Iya, La. Cari sekarang juga."

***

Setelah berhasil menemukan motor milik Pram. Akhirnya mereka berdua memutuskan untuk singgah di sebuah warung makan. Tempat langganan mereka. Bahkan ibu pemilik warung sampai hafal dengan pesanan mereka.

"Sayur lodeh, ayam goreng, kan?" ucap Bu Marni-pemilik rumah makan yang cukup terkenal di daerah Yasmin, Bogor.

Ayo orang Bogor mana nih? Jangan lupa singgah makan di warung Bu Marni yak!

"Kalau Neng Nala pasti sayur sop sama perkedel jagung." Nala mengangguk, mengiyakan ucapan Bu Marni. Keduanya sama-sama tersenyum, hati Pram jadi sejuk ketika Nala berhasil melengkung bibirnya lagi.

"Oke, Ibu siapin dulu ya!"

"Makasih Ibu," jawab keduanya bersamaan.

Pram menatap Nala, ada yang ingin ia sampaikan. Namun, ia ragu, apakah ini waktu yang tepat baginya? Apakah mungkin ia bisa bertanya setelah Nala cukup siap dengan dirinya?

Sadar dengan lirikan Pram, Nala balas menatapnya dengan bingung. "Kenapa? Ada yang mau lo omongin sama gue?" Pram masih diam. "Pram, ngomong aja. Nggak apa-apa."

Haruskah ia mengucapkannya?

"Sori, La."

Aneh. Kenapa laki-laki itu meminta maaf?

"Kenapa minta maaf?"

Pram mengetuk jari-jarinya. "Lo bawa uang, nggak? Dompet gue ketinggalan, hhe."

Nala langsung cengo. Ia kira Pram ingin memberitahukan hal yang sangat penting.


***

Sulawesi Tengah, 24 Februari 2024

Author Buluk.

Rumah Untuk Nala ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang