#17. Kunang-Kunang Mengudara Di Kaki Cakrawala

8 3 0
                                    

Pada suatu waktu, aku tiba-tiba terbangun dan menghidu sesuatu yang asing untukku. Aroma kematian. Ia mengudara bebas di cakrawala, mengecup sang surya bilamana pagi tiba. Perlahan ragaku terduduk kaku, aroma mati enggan saru, justru kian kuat hingga tak kuat untuk aku hidu.

Aku muntah tatkala mataku terbuka 'tuk pertama kalinya. Seorang anak seumuran denganku memekik 'hiii!' seraya keluar dari tenda sementara yang lain memandang bagai menelanjangi.

Seorang pria tinggi masuk ke dalam tenda diiringi anak yang memekik tadi, segera matanya mematri kepadaku sebelum kaki jenjang itu menendang tubuhku.

"Bersihkan itu, dasar kotor!" Tanpa memedulikan bagaimana terguncangnya diriku sebab terbangun di tempat asing dengan aroma kematian yang teramat pekat, pria itu berlalu sembari menyuruh anak-anak lain untuk bersiap, tak terkecuali diriku.

Kami—anak-anak berusia kurang dari lima belas—digiring menuju barak yang di sana ada banyak tentara. Kami dipakaikan baju seperti mereka, bedanya hanya lebih kecil saja, serta kami dibekali dengan sekantong peluru berikut senapan yang aku tidak tahu bagaimana menggunakannya.

Selepas apel pagi singkat yang bermuara pada titah yang bersuara, "Serang menuju barat daya, di sana penjagaan tentara musuh lumayan ketat. Jadi kalian bisa menerobos sementara tentara dewasa menuju arah sebaliknya. Tugas kalian menarik perhatian tentara musuh untuk mengelabui mereka. Kalian paham?"

Anak-anak menjawab dengan suara penuh semangat sedangkan aku hanya diam tanpa bicara seraya memeluk senapan yang ukurannya lebih besar dari tubuhku sendiri. Aku tidak tahu harus melakukan apa. Apakah kami semua akan mati? Sebab aroma kematian semakin lama semakin begitu mencekik diri.

Kemudian pimpinan tentara itu melepas kami semua, anak-anak yang belum mengerti benar akan dunia, tetapi telah menjadi alat di medan perang. Kaki-kaki kami berlari di tubuh mayapada, menuju arah barat daya, tempat di mana mungkin saja raga kami akan kehilangan nyawa.

Semakin jauh kami meninggalkan barak, semakin pekat pula aroma kematian yang mendera di udara. Tidak lama, nun jauh di depan sana, kerumunan tentara dewasa menghujani kami guna peluru yang segera mendarat di tubuh-tubuh kecil kami.

Perlahan ada banyak anak yang jatuh rubuh ke tanah, tubuh semesta segera penuh akan pekatnya darah. Pekik kesakitan tersiar menjelma angin menuju Tuhan di atas sana, meminta-Nya 'tuk segera mencabut nyawa mereka sebab rasa sakit di dunia sudah tidak dapat dibendung terlalu lama.

Sementara banyak anak telah gugur tanpa nyawa, entah mengapa, aku masih hidup dan berlari menuju arah yang pimpinan tentara perintahkan kepada kami. Aku belum mati. Mengapa aku belum mati. Aku ingin segera mati.

Ruang imajiku meramu pinta agar Tuhan menjemputku, lalu, ia mengabulkan hal itu.

Suar cahaya dari arah barat daya menyapa kami semua, anak-anak yang tersisa. Cahaya itu bagai kunang-kunang yang kerap kulihat kala malam tiba, sejenak aku terlena, tubuhku kaku tak dapat bergerak.

Kemudian, kunang-kunang itu mendarat di tengah-tengah kami, membinasakan kami.

──

T

ema hari iniii sangat amat penuh tantangan.

Bayangin, tokoh utama cerita ke-13 anak kecil terus jadi prajurit perang ╥﹏╥. Btw work hari ini terinspirasi dari anime Violet Evergarden ・ᴗ・

Romantika [✔]Where stories live. Discover now