#22. Siang Senggang Di Saturnian

9 0 0
                                    

Lintang gemar membaca gerak kerumunan mega apabila Saturnian sedang sepi tanpa adanya pelanggan. Hal itu tak ubahnya serupa Buana, tapi bedanya, pemuda itu memilih bersua akan bunga tidur sembari berhadapan dengan kipas angin yang disetel di angka tiga.

Nona Terra belum jua kembali dari Toko Kenang Lama. Satu jam lalu beliau berpamitan seraya berkata ingin melihat lukisan baru dari kota. Sebentar saja, katanya, tapi sampai jarum panjang menuju angka dua siang wanita itu tak kunjung menunjukkan batang hidungnya.

Pelanggan terakhir keluar sekitar tiga puluh menit lalu, itu berarti sudah dua puluh lima menit Lintang didera bosan yang seakan tak ada kata buntu. Ia kebosanan, sangat kebosanan. Tidak ada yang bisa ia ajak bicara sebab di tempat itu hanya ada Buana—dan taruna itu benar-benar terlelap dalam tidurnya—sementara karyawan lain seperti Mbak Sachi, Asmara, serta Pakde diminta Nona Terra pergi membeli persediaan untuk di dapur.

Lintang kembali mengembuskan napas dalam selaras netra tetap tertuju pada kepulan awan yang menggantung pada lanskap angkasa, ia menumpukan pipi ke tangan kanan sebelum kemudian atensinya teralih kepada petikan gitar seorang pria yang berjalan ke arah Saturnian.

"Hei, Lintang!"

Lintang segera berdiri dari kursi yang ia duduki sembari mengibas-ngibaskan tangannya ke arah pria yang kian mendekat. "Jangan ngamen di sini, Bang, nanti saya dimarahin Nona Terra."

Pria itu terhenti sejenak bilamana kakinya telah berpijak di dalam Saturnian, derit pintu tertahan sementara denting lonceng pintu menggema ke seisi ruangan. Pria itu mematri atensi kepada Lintang, sepasang netranya memicing bagai menyelisik ekspresi sang taruna.

"Nona Terra ada di sini?"

"Nggak, tadi dia pergi."

Pria itu kembali berjalan, menghadap Lintang dengan gitar yang ada di pegangannya. "Ya sudah, kalau gitu biarin saya ngamen buat—"

"Gak ya! Nanti ujung-ujungnya abang minta gratisan lagi ke saya, terus saya lagi yang dimarahin Nona Terra."

"Sekali aja, Lintang. Dengerin dulu, saya bikin lagu baru," ujar pria itu keras kepala. Lintang tetap kekeh meskipun sedikit penasaran dengan 'lagu baru' yang pria itu katakan padanya.

Ia tidak akan tergoda oleh rayuan pria-pengamen-tua yang biasa ke Saturnian hanya karena menginginkan makan siang gratis ini. Tidak lagi. Tekadnya telah lekat terpatri di sanubari.

Akan tetapi, kala rungunya dikecup oleh petikan nada dengan rona merahimkan banyak rasa, Lintang tak dapat menahan diri tatkala pria itu mulai bernyanyi.

Larik-larik lirik yang mengandung rasa yang telah terpendam sekian lama akan tetapi tak dapat bersemuka, serta, menjurai kenang-kenang lama milik Lintang yang ada di ruang kepala.

"Meski kita tak akan pernah serupa dulu

Di manapun cakrawala yang kau pandang dalam bisu
Di manapun takdir yang kini membawamu jauh dariku
Biarkan aku abadi dalam sanubarimu

Di manapun buana yang memelukmu
Di manapun kau dengar bisik angin yang bercerita pada rungu
Kenanglah aku sepanjang hidupmu."

Wherever You Are, Wherever You May Be

"Gimana, Lintang? Saya bisa dapat makan siang gratis habis nyanyiin lagu baru saya nggak?"

"Tetap nggak, ya, Bang, saya takut disemprot Nona Terra."

──

Tema hari ini menarik!

Jujur temanya bikin keinget sama Bintang, tapiii gak mungkin bikin dia jadi pengamen ╥﹏╥

Romantika [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang