19. Tamu Tidak Terduga

4 1 0
                                    

Siang itu, aku memutuskan untuk ke Wartel Terakhir Zaman Kiwari. Sejak kami berurusan dengan wartel itu, aku jadi sering main dan nongkrong ke sana. Yah, walaupun hanya duduk-duduk sembari menonton televisi kabel yang dipasang oleh Rinan, sembari menikmati teh botolan.

Namun, siapa sangka kami berdua akan mendapati pengunjung tidak biasa.

"Selamat datang ... huh?" Rinan menyapa pengunjung, tetapi langsung terdiam ketika melihat orang di ambang pintu.

Aku langsung terkejut ketika ada pengunjung tidak biasa berada di ambang pintu masuk wartel. Seorang gadis yang tinggi sekali. Hampir kusangka dirinya adalah anomali astral, karena tinggi badan gadis itu ... yah, sangat tinggi. Kepalanya hampir membentur kusen pintu.

Tinggi yang hampir sepintu, kulit putih dan rambut pirang. Sepertinya ada bule kesasar masuk.

"M-maaf. Apakah saudara Danang Putrawijaya tinggal di sini?" ujarnya lirih seraya celingak-celinguk ke dalam wartel.

Aku terkagum dalam diam, mengetahui fakta bahwa Mas Danang punya teman bule.

"Ah, oh, maaf. Ia tidak tinggal di sini, tapi aku kenal dengannya. Apakah Anda ingin mencarinya?" sahutku.

"Ya." Gadis itu mengangguk.

"Saya bisa menyuruhnya untuk datang ke sini—"

"Ah, tidak ... saya tidak ingin merepotkan Danang lagi ...."

Mas Danang tidak pernah cerita tentang kisah romansanya, jadi aku kaget ketika ada gadis yang memanggil Mas Danang dengan namanya langsung. Aku bertanya-tanya apakah gadis bule yang tersasar di wartel ini ada sesuatu dengan Mas Danang.

Mendadak aku terpikir sekelebat kejahilan, tetapi nanti aku pasti bakal ditampol habis-habisan sama Mas Danang. Apalagi, niat jahil di wartel antik ini sudah membuatku kapok untuk tidak berlaku jahil. Kuurungkan sudah niatku.

"Tidak apa-apa, pria itu sudah sering bikin repot. Sekali-kali harus direpotkan."

Kami berdua bersalaman. Entah mengapa aku merasa ada sensasi aneh ketika aku meraih tangan gadis itu.

Apakah ini yang namanya cinta? Tentu saja tidak!

"Aku Araya, rekan kerja Mas Danang," ujarku memperkenalkan diri.

" ... Mas?" Gadis itu mengernyit.

"Hmm ... itu caraku memanggilnya karena Mas Danang ini umurnya lebih tua dariku."

"Oh ...."

"Anda bukan orang sini?"

"I-iya ...."

Aku menghela napas, seraya bergurau, "Sebagai temannya Mas Danang, aku mohon maaf kepadamu. Menyuruh orang asing untuk bertemu di kota yang dilanda peperangan."

Si gadis sedikit kebingungan. "Huh ... perang? Sepanjang perjalanan, aku melihat tidak terjadi banyak orang saling bertarung ...."

Hmm ... bagaimana menjelaskan Perang Dingin Astral kepada bule?

"Yah ... perang yang cukup konyol. Namun, apabila kau lengah, kau dapat menjadi korban. Kalau kau berniat untuk berwisata atau berkunjung di Tanah Singasari, lebih baik kau berkonsultasi dulu dengan Pengawas Perang di sini."

Sebisa mungkin aku ber-fafifu wasweswos mengatakan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh di lakukan di Tanah Singasari. Memberi gadis asing itu penjelasan singkat tentang situasi pelik yang tengah terjadi. Yah, ini menjadi kerjaan sampingan para Pengawas Perang untuk menjadi 'tour guide' bagi para pendatang. Terutama, setelah Insiden yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, kami harus mengetatkan penjagaan terhadap warga sipil.

Belum selesai aku berbicara, tiba-tiba saja gadis itu terhuyung.

"Oh ... tidak ... aku harus ... bertemu ...."

Kami berdua begitu panik, lantaran si gadis jatuh tergeletak di atas sofa dan tidak sadarkan diri. Siang yang cukup terik di luar, memang membuat sebagian orang yang tidak kuat, bisa kena dehidrasi.

"Waduh ... Rinan bagaimana ini?" Aku menatap Rinan, tetapi Rinan sepertinya kebingungan sendiri. Baru kali ini ia menemui pelanggan yang pingsan tiba-tiba di wartelnya.

"Apakah perlu kita panggilkan ambulans?"

"Kemungkinan besar dehidrasi. Di luar begitu panas pula."

"Tapi Mas Araya, kulihat dari tadi dirinya sudah tampak tidak seha—AAAH!"

Tiba-tiba Rinan menjerit sembari menuding-nuding gadis bule tadi.

"Kena .. pa!?"

Jantungku mencelus. Aku refleks mengucek mataku dua kali untuk memastikan, apakah gadis yang kami temui tadi benar-benar manusia. Aku kini melihat sosok gadis itu berpendar seluruh kulitnya. Seperti kulitnya bercahaya dan berkalap-kelip layaknya lampu natal. Bukan hanya itu, telinganya mendadak membesar-mengecil dan berubah-ubah bentuk.

Aku harap aku tidak terkena halusinasi karena kena dehidrasi.

"M-m-Mas Araya ... apakah itu Astral?" Rinan langsung berjingkat di belakang punggungku.

"Aku tidak merasakan adanya jejak astral. Dia hidup seperti manusia pada umumnya. Yah, terkonfirmasi dia bukanlah astral," ujarku, entah harus mengatakan apa. Namun, memang benar, dia sama sekali tidak terasa jejak astral. Apakah Banaspati Kata versi baru telah turun di muka bumi? Satu saja sudah mengerikan, apalagi dua.

"Lalu kenapa telinganya bisa berubah bentuk seperti itu? Kenapa tubuhnya bersinar-sinar seperti lampu disko?" tanya Rinan.

"Karena dia bukan manusia."

Kemudian sebuah suara muncul dari ambang pintu. Aku menoleh dan melihat Mas Danang sudah berdiri santai sembari bersandar pada pintu depan wartel.

Pertama dinosaurus lari-larian di TerminalArjosari. Lalu ke-isekai ke masa lalu, hingga terjadinya tragedi StadionKanjuruhan. Lalu sekarang ... alien? Tiap hari kami disuguhi oleh peristiwa yangdi luar nalar. Untung saja jam kewarasan kami masih berdetak.


NiskalayudhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang