17. Senyum Batavia

111 11 0
                                    

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Selamat siang!
Gimana puasanya? Masih lancarkan?
Alhamdulillah.

Semangat ya puasanya :D

Sini baca Senyum Batavia dulu, sambil denger lagi di atas!

Selamat membaca♡

Bab 17

Di depan ruang TV adik-kakak tersebut sedang menonton serial saudara kembar, di temani makanan ringan. Keduanya sama-sama fokus menonton sampai tidak sadar, ada Ayah Ravin yang baru saja pulang menatap kedua anaknya.

"Ehem, assalamualaikum."

"Eh," Aira langsung berdiri.

Zero juga ikut berdiri perlahan, lalu menyalami Ayah Ravin. "Wa'alaikumussalam, tumben malam Yah?"

"Iya, tadi ada kerjaan tambahan."
Aira juga menyalami Ayah Ravin setelah Zero, Aira langsung mendapat teguran karena tidak menggunakan kerudung padahal sedang di ruang tamu.

"Ai kenapa enggak pakai kerudung? Gimana kalo ada tamu dadakan?"
Baru saja Ayah Ravin berkata seperti itu, pintu rumah di ketuk dari luar. Aira langsung berlari masuk ke dalam kamar.

Saat mau ke kamar, dia berpapasan dengan Bunda Zahra. "Kenapa lari?" tanya Bunda Zahra.

"Ada tamu Bunda, Ai enggak pakai kerudung. Mending di dalam kamar."

"Pelan-pelan," ujar Bunda Zahra karena Aira naik tangga dengan terburu-buru.

Bunda Zahra yang penasaran menghampiri Zero dan Ayah Ravin yang saling tatap karena tingkah Aira yang masih seperti bocah umur lima tahun.

"Itu ada yang ketuk pintu. Kenapa enggak ada yang buka?" tanya Bunda Zahra pada suami dan anaknya.

Zero mengaruk kepalanya canggung, dia langsung berkata, "Kakak lihat dulu Bunda."

Bunda Zahra mengangguk, lalu mengambil alih tas kerja Ayah Ravin. "Mau langsung mandi?"

"Nanti dulu Bunda, Ayah mau istirahat sebentar."

𓅪𓅪𓅪

Zaidan berdiri dengan gugup di depan pintu rumah keluarga Baswara, dia mengatur napasnya untuk meredakan rasa gugupnya sambil menunggu pemilik rumah membuka pintu.

Lima belas menit berdiri di depan pintu akhirnya pintu dibuka dari dalam.

"Eh! Bang Zai. Ayo masuk dulu Bang!" Zero langsung mempersilahkan Zaidan untuk masuk dan duduk.

"Terima kasih," ucap Zaidan.

"Bang Zai pasti mau ketemu Ayah?" Zaidan mengangguk mengiyakan pertanyaan Zero.

"Tunggu bentar," pinta Zero.

Kemudian, Zero kembali bersama dengan Ayah Ravin. Ayah Ravin menyambut kedatangan Zaidan, "Apa kabar Nak Zai? Boleh kan panggil Nak?" tanya Ayah Ravin.

"Boleh, Pak."

Kemudian, Bunda Zahra datang mengantarkan minum untuk tamu. "Silahkan di minum, Nak."

"Terima kasih," ucap Zaidan merasa tidak enak karena merepotkan.

Setelah istrinya kembali ke dalam, Ayah Ravin langsung bertanya tujuan Zaidan datang bertamu. Karena jika alasan pekerjaan, tidak mungkin kan? Apalagi sampai harus datang malam-malam seperti ini.

"Jadi, kedatangan Nak Zaidan ada keperluan apa? Tidak mungkin masalah pekerjaantah?" tanya Ayah Ravin yang dijawab anggukan kepala oleh Zaidan.

"Langsung saja ya Pak," izin Zaidan pada Ayah Ravin yang mempersilahkan.

Sejujurnya dia gugup, tapi jika tidak sekarang dia akan kalah start nantinya. Karena itu, Zaidan memantapkan hati dan memberanikan diri berkata dengan lantang di depan ayah dari perempuan yang sudah membuatnya jatuh hati.

"Sebelumnya Pak Ravin sudah mengenal saya sebagai rekan kerja. Disini saya berniat melamar putri Pak Ravin, Aira."
Ayah Ravin dan Zero yang mendengar ucapan Zaidan terkejut.

"Ehem," Ayah Ravin berdehem untuk menghilangkan keterkejutannya. "Nak Zaidan serius?"

"Iya Pak," jawab Zaidan dengan tegas.

"Apa yang membuat Nak Zaidan ingin melamar putri Bapak? Bukannya kalian belum lama kenal?"

Zaidan tersenyum, dia sudah memperkirakan pertanyaan ini. "Sejujurnya, beberapa tahun lalu kami sempat bertemu Pak. Lebih tepatnya, saya pernah melihat Aira saat jalan-jalan di Kota Tua. Dari sana lah saya merasa tertarik, lalu tanpa di duga saat saya kembali bertemu dengan putri Bapak, saya merasa kalau perasaan saya lebih dari sekedar ketertarikan, saya sudah mempertimbangkan perasaan saya cukup lama." Zaidan menjeda ucapannya, dia kembali menarik nafas untuk menghilangkan kegugupannya. Rasanya lebih baik menghadapi klien atau berhadapan dengan partner bisnis daripada harus berhadapan dengan Pak Ravin sebagai seorang laki-laki.

Zaidan melanjutkan ucapannya, "Saya belum menemukan alasan kenapa saya jatuh hati pada putri Bapak. Hanya saja, ketika saya tidak sengaja melihatnya hati saya terasa damai dan bahagia."

Pak Ravin tersenyum mendengar jawaban jujur dari Zaidan. "Saya tidak bisa menjawab lamaran Nak Zaidan. Biarlah Aira yang menjawab."

Kemudian, Ayah Ravin meminta Bunda Zahra untuk memanggilkan Aira. Zaidan sendiri sudah pasrah, dia akan menerima semua jawaban yang mungkin akan menyakitinya.

𓅪𓅪𓅪

Sedangkan di dalam kamar, Aira merasa bosan. Dia ingin keluar tapi malas karena ada tamu. Dia sedang malas untuk bertemu orang lain.

"Masih lama nggak sih?" gumam Aira yang kesal sendiri.

Tok tok tok, Bunda Zahra masuk ke dalam kamar. Dia menyuruh Aira untuk segera menggunakan kerudungnya karena di panggil Ayah Ravin.

"Kenapa sih Bun?" tanya Aira yang berjalan mengikuti Bunda Zahra yang hanya mengedikkan bahu, karena Bunda Zahra juga tidak tahu apa-apa.

Saat sampai ruang tamu, dia sedikit terkejut karena tamunya adalah Zaidan. Tapi dengan cepat Aira mengubah raut terkejutnya. Ayah Ravin meminta Aira untuk duduk disampingnya. "Ayah panggil Ai?"

"Iya, ada yang mau Ayah bicarakan," ucap Ayah Ravin.

Aira diam menunggu Ayah Ravin kembali menjelaskan. "Nak Zaidan berniat melamarmu. Apa Ai bersedia?"

"HAH?" Aira tidak bisa menutupi keterkejutannya, Bunda Zahra yang mendengar hal itu merasa sangat senang.

"Apa Ai mau menerima lamaran Nak Zaidan?" tanya Ayah Ravin.

Aira menatap Zaidan sekilas, lalu kembali menatap Ayah Ravin menjawab dengan tegas, "Maaf Ai enggak bisa."

Setelah mengatakan itu, Aira pamit kembali ke kamar. Di dalam kabar dia menatap Bobo dengan wajah kesal. "Baru juga kenal udah main lamar aja!"

Karena merasa kesal sendiri Aira membuka jendela kamarnya agar udara segar bisa masuk. Saat sedang menikmati hembusan angin malam, Aira melihat Zaidan yang masuk ke dalam mobilnya dan berjalan menjauh.

"Sebenernya apa sih yang dipikirkan Bang Zai? Setiap ketemu aja cuek banget. Tiba-tiba datang melamar," gumam Aira.
Tak mau ambil pusing, Aira memilih tidur lebih awal. Dia merasa kembali demam, menarik selimut sampai menutupi seluruh badannya. Melirik Bobo yang ada di sampingnya.


Siapa yang mau ngamok ke Aira?
Cung☝

Udah selesai bacakan? Jangan lupa vote, komen, dan share!!!

🐨🐼, 16 Maret 2024

Senyum Batavia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang