Bab 5

232 26 1
                                    


Smile on her face


Abhi melihat mobil Raya meluncur meninggalkan area parkir tempat mereka menghabiskan waktu makan siang dan membahas tentang desain vila yang ia inginkan. "Naraya Mahardika," gumamnya pelan sebelum memasuki mobilnya dan menuju jalan yang Raya ambil beberapa saat lalu.

Hingga ia menghentikan mobil di depan rumah dua lantai yang berada di kawasan elit di Surabaya Barat, Abhi masih tak mampu menghapus senyum Raya dari pikirannya. Perempuan berpipi bulat dengan gigi kelinci yang terlihat menggemaskan setiap kali perempuan itu tersenyum mampu membuat seorang Abhimana Pramudya penasaran dengan apa yang terjadi dengan hidupnya.

"Mas Abhi pernah nyerah?" tanya Raya yang tiba-tiba mengangkat kepala dan memandangnya dengan tajam. "Pernahkah Mas Abhi berada di titik di mana Mas enggak ingin untuk melanjutkan langkah, tapi ragu untuk berhenti?"

Pertanyaan Raya masih terngiang di telinganya hingga ia memasuki rumah yang terasa sepi.

"Kenapa Papa enggak bercerai saja sama Mama?" Jantungnya berhenti mendengar pertanyaan anak perempuan berusia dua puluh tahun yang memandangnya dengan sorot mata penuh dengan penyesalan. "Kenapa bertahan di pernikahan yang justru membuat kalian berdua tersiksa?"

Abhi meletakkan mangkuk berisi mie instan lengkap dengan potongan cabe dan juga sayur di hadapan Adhisti, satu-satunya buah hati dari pernikahan selama dua puluh dua tahun bersama perempuan yang membuatnya jatuh bangun, Nada. Salah satu promotor musik yang berpengalaman mengadakan konser artis baik dari dalam hingga luar negri. Perempuan yang berhasil memacunya untuk berkarir hingga sukses seperti saat ini.

"Kalau Papa nyerah, kamu marah enggak?" tanya Abhi sambil mengendorkan dasi yang seharian mengikat lehernya. Lengan kemejanya sudah ditekuk hingga siku sejak ia mulai menyiapkan bahan untuk memasak.

"Aku akan lebih marah jika Papa dan Mama bertahan di rumah tangga hanya karena mempertahankan image. Bullshit ama image, jika itu membuat kalian berdua tersiksa."

Bunyi pesan terdengar dari ponsel yang diletakkan di atas meja kopi rendah tak jauh dari kakinya. Abhi melirik jam di dinding dan senyumnya terbit mengingat pesan yang selalu didapatnya di jam yang sama hampir setiap hari.

Adhisti
Sudah di rumah?

Sudah, Yang. Kamu di mana?

Adhisti
Udah di rumah, Mama masih ada di Bali.
Aku boleh ke Surabaya enggak, Pa?

Ya boleh, dong. Enggak ada wawancara kerja?

Adhisti Putri Pramudya, gadis berusia dua puluh tiga yang resmi menjadi pengangguran sejak enam bulan yang lalu masih sibuk mencari pekerjaan di Jakarta. Abhi memilih untuk pulang ke Surabaya setelah resmi bercerai tiga tahun yang lalu. Berbeda dengan Adhis yang harus menyelesaikan kuliahnya, dan anak perempuannya sudah cukup dewasa untuk menentukan pilihan tinggal di mana.

Adhisti
Papa keberatan enggak kalau aku mulai mencari-cari pekerjaan di Surabaya?
Siapa tahu emang jodohku ada di kota Papa

Membaca kata jodoh membuat Abhi terhenyak dan segera menekan lambang telepon dan menunggu hingga terdengar suara lembut dan manja anak perempuannya.

"Kenapa pakai ngomongin jodoh? Jangan bilang kalau kamu sudah pengen nikah?" cerocos Abhi setelah terdengar kata halo dari ujung sambungan.

"Ya ampun Papa, cuma sekedar ngomong doang. Emang kalau beneran jodohku ada di Surabaya, Papa bisa apa juga?"

Untuk sesaat jantungnya terasa sesak membayangkan harus melepas satu-satunya harta yang paling berharga. Bibirnya ingin menahan untuk Adhis agar tidak terlalu cepat memilih untuk menikah, tapi ia tahu itu tidak mungkin terjadi. Karena ia percaya setiap hal dalam kehidupan manusia sudah Tuhan atur hingga hal terkecil sekalipun.

"Pa!"

"Papa kok langsung mules ngebayangin kamu nikah," jawab Abhi jujur. "Jangan terlalu cepat, deh! Papa kok rasanya belum siap."

Tawa yang langsung membuatnya rindu terdengar mengisi ruang dengarnya. Abhi bisa membayangkan mata sipit Adhis—menurun dari Nada—semakin terlihat rapat setiap kali gadisnya tertawa seperti saat ini.

"Papa aneh, deh! Kalau emang sudah waktuku ketemu jodoh, meski sembunyi di balik batu juga bakalan ketemu, lah." Bunyi gemeresak terdengar jelas di telinga Abhi menggantikan suara Adhisti.

"Pa ... udah ketemu calon Mama baru enggak?"

"Hust! Mama baru apaan? Jangan aneh-aneh!" jawab Abhi yang tak bisa mengontrol pikirannya untuk mengarah pada sesosok perempuan yang matanya terlihat membengkak ketika kacamatanya yang terlihat terlalu besar itu diletakkan di atas kepalanya.

"Kenapa tiba-tiba tanya seperti itu? Mama mau nikah lagi?" Abhi tahu Nada berhubungan dengan pengusaha asal Bandung selama dua tahun terakhir, ia bahkan sudah mengenal pria yang berusia sepuluh tahu lebih tua darinya.

"Iya kali!" jawab Adhis sedikit sengit. "Papa kan tahu Mama enggak pernah ngomong apa-apa. Tahu-tahu ntar kasih tahu kalau mau nikah, kali. Enggak peduli juga, sebenarnya. Enggak ngaruh juga kan sama aku."

"Sayang, Mama enggak bakalan melakukan itu ke kamu. Jika Mama memutuskan untuk menikah, kamu pasti orang pertama yang dikasih tahu. Percaya Papa." Abhi mencoba untuk menenangkan Adhis yang semenjak memasuki usia sekolah lebih sering menghabiskan waktu bersama pengasuh atau dirinya. Kesibukan Nada membuatnya lebih sering berada di luar rumah sejak dulu.

Ia bisa mendengar helaan napas Adhis. "Iya, Pap," jawabnya lirih. "Kalau Papa, enggak pengen nikah lagi?"

Menikah. Ia tak pernah membayangkan akan memulai perjalanan baru dengan siapa pun selama ini, karena hidupnya hanya berisi Adhis dan pekerjaan. "Papa enggak kepikiran untuk nikah lagi, Sayang. Rasanya kok aneh, ya. Sudah setua ini, lho," jawab Abhi yang merasa geli membayangkan akan menikah lagi di usia setengah abad seperti saat ini.

"Jangan salah, banyak lho perempuan yang ngelirik Papa! Besok waktu kita jalan, aku tunjukkan ke Papa." Abhi tidak percaya dengan kalimat Adhis karena selama ini ia tak pernah bersusah payah untuk memperhatikan siapa pun, kecuali perempuan dengan senyum manis yang tak mau hilang dari pikirannya saat ini.

"Aku berangkat besok, ya, Pa." Abhi tersentak menyadari telah membayangkan perempuan lain di tengah-tengah pembicaraan bersama anaknya.

Seperti Nada, Adhis selalu melakukan sesuatu secara mendadak dan tidak ingin menunda sesuatu. Seperti saat ini, jika gadis itu ingin ke Surabaya, ia akan mengatakan padanya dan muncul di ruang kerjanya keesokan harinya.

"Perlu dipesanin Ayu tiket atau pesan sendiri?" tanya Abhi menyebut nama sekretarisnya yang sudah bersamanya semenjak ia pindah ke kantor baru tiga tahun lalu.

"Aku udah chat Mbak Ayu sebelum Papa tanya," jawab Adhis yang sudah bisa Abhi duga. Kedekatan anak perempuannya dengan sekretaris yang selalu tidak keberatan menjadi teman curhat Adhis selama ini seakan membuatnya memiliki tambahan anggota keluarga.

"See you tomorrow Papa." Abhi menjawab salam Adhis sebelum mematikan sambungan dan berdiri menuju kamar utama yang terletak di lantai satu.


Yang  pengan baca versi lengkapnya, udah ada di KaryaKarsa, google playbook. Kalau mau versi cetak, bisa hubungi aku ya guys. wa aja ke 0821.3928.7354

lope lope

Segenggam Rindu (Repost)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang