Bab 7

141 34 2
                                    

The conversation



Perutnya selalu bergejolak setiap kali matanya bertemu pandang dengan pria yang membuatnya tersenyum sendiri setiap kali mengingat semua yang pernah Pram lakukan untuknya. Ia selalu merasa istimewa, prioritas nomor satu dan menjadi pusat perhatian Pram. "Aku enggak bisa bayangin hidup tanpa kamu, Ya."

"Maksud, Mas?!" tanya Raya yang tidak tahu harus berkata apa. Bukan karena ia tidak mencintai pria, tapi karena ia terlalu mencintai Pram.

"Itu?" tanya ketika melihat Pram mengeluarkan kotak cincin dari saku kemejanya.

Raya tak bisa melepas pandangan dari Pram yang mendorong kotak cincin berwarna hitam ke arahnya. Jantungnya berdetak kencang seiring kotak itu mendekat ke arahnya.

"Iya, Hon. Ini lamaran. Siap atau enggak, Mas akan menanyakannya, dan berharap mendapatkan jawaban Iya. Karena Mas ingin memulai perjalanan bersamamu, hanya kamu, bukan orang lain."

Raya mengingat malam ketika Pram memintanya menjadi satu-satunya pendamping dalam hidupnya. Kini ia menatap pria yang telah mengingkari janjinya sendiri sepuluh tahun yang lalu.

"Mas Pram ingat apa yang kau katakan saat memintaku untuk menjadi istrimu malam itu?" tanyanya pelan.

"Aku ingin memulai perjalanan bersamamu, dan hanya kamu, bukan orang lain. Itu maksud kamu?" tanya Pram yang terdengar mulai tidak sabar menghadapi ketenangannya saat ini. Senyum getir lolos dari bibirnya mendengar janji yang Pram ucapkan dulu. Kepalanya mulai terasa pening, matanya panas, memerah, dan membengkak. "Mas ingat semuanya, Ya."

Raya mengangkat kepala dan memandang Pram tepat di kedua bola matanya, "Kalau Mas ingat semuanya, kenapa kamu bisa berhubungan sama perempuan itu selama setahun. Setahun, Mas! Apakah Mas ingat sama janjimu, ketika dengan sadar meniduri perempuan itu sampai hamil." Ia berdiri dan memandang deretan bunga Anggrek yang terlihat subur di rak yang sengaja ia letakkan tak jauh dari jendela kamar utama.

"Ya, Mas tahu apa yang kamu rasa—"

"Mas enggak tahu!" selanya. "Mas enggak akan pernah tahu apa yang aku rasakan."

"Mas, kalau kita engak punya anak, gimana?" tanya Raya di antara isak tangisnya memandang hasil testpack di tangannya. "Kalau selamanya Tuhan enggak izinkan aku hamil, gimana?" Ia menumpahkan air mata yang ia tahan semenjak tidak menemukan dua garis pada hasil tesnya setelah hampir dua minggu Raya terlambat.

Usapan lembut di punggungnya membuat isak tangisnya semakin deras. Ia merasa bersalah pada suaminya. Perasaan gagal tak bisa ia tampik, karena tak kunjung hamil di tahun ketiga pernikahan mereka.

"Kamu yang Mas butuhkan, hanya kamu, bukan anak. Kebahagiaan kita tidak didefinisikan oleh ada atau tidaknya seorang anak, Hon," kata Pram lembut di telinganya. "Kamu ingat apa kata dokter, kamu dan aku sama-sama sehat. Masalah hamil, itu hak prerogatif Tuhan, kamu dan aku bahkan dokter sekalipun enggak bisa menentukannya."

Pagi itu mereka berdua memutuskan untuk tidak berangkat ke kantor, Pram memeluk Raya hingga keduanya tertidur kembali. "Mas," panggil Raya dengan suara serak. "Jika suatu hari, Mas ingin keluar dari pernikahan ini. Jangan selingkuh di belakangku, katakan di depanku bahwa kamu ingin kita bercerai. Aku enggak akan membencimu jika Mas ingin mencari kebahagiaanmu bersama orang lain, asal lakukan dengan benar. Bisa?"

"Raya!" bentak Pram yang terkejut mendengarnya mengatakan hal seperti itu. "Apa-apaan, sih! . Catat itu!" Pram menyibak selimut dan keluar kamar diiringi dengan bantingan pintu membuat tangisnya kembali meleleh.

Segenggam Rindu (Repost)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang