Tujuh, Welcome Back, Joya!

8 0 0
                                    

Days tidak bodoh, kalimat Angkasa kemarin itu hanya kalimat basa-basi yang entah kenapa membuat Days mual mendengarnya. Days tahu seberapa berpengaruhnya sosial media sekarang, seseorang bisa saja dipenjarakan hanya karena tuduhan—yang belum tentu benar atau salah—di sosial media. Dan jika sudah berbicara tentang masalah, entah mengapa postingan seperti itu sangat mudah untuk trending.

Hujan deras turun membasahi kota, Days hanya menatap kosong ke depan, lampu sedang merah, jadi ia harus berhenti sejenak—tentu saja. Setelah lampu lalu lintas itu berganti menjadi hijau, Days segera menancap gas, meneruskan perjalanannya menuju bandara.

"AAA GILA GUE KANGEN BANGET SAMA LOO!" Joya menghambur memeluk Days erat, tidak peduli dengan orang-orang yang menatap mereka aneh sekarang.

Days meringis, ia membalas pelukan Joya dengan wajah tertekan, "udah, tunda dulu acara melepas kangennya, kak. Ntar kita ditegur satpam kalau terlalu lama parkir di sini."

Joya terkekeh, ia lalu memasang pose hormatnya, "siap!"

Days tertawa, gadis itu lalu mengangkat koper Joya dan memasukkannya ke dalam mobil, sedangkan Joya segera duduk manis di kursi penumpang. Setelah meletakkan koper Joya, Days lalu masuk ke dalam mobilnya.

"I'm sorry about what happened," Terdengar tulus. Mengapa orang-orang di kantornya tidak mengatakan kalimat itu saja padanya? Mengapa Angkasa tidak mengatakan hal itu padanya?

Days menancap gasnya, ia menggeleng, "it's not your fault. Ngapain minta maaf?"

Joya tidak menjawab, ia terdiam menatap wajah Days yang sedang serius mengemudi.

"Mama Papa lo tahu soal masalah ini?" tanya Joya kemudian. Sedetik kemudian ia memasang raut wajah bersalah, "sorry kalau gue salah nanya."

Days menggeleng. Salah satu hal yang Days syukuri dari kesibukan orang tuanya adalah ini, jika ada sesuatu yang terjadi pada anaknya, mereka tidak langsung tahu, butuh waktu untuk mereka akhirnya tahu bahwa ada yang salah dengan anak tunggal mereka ini.

"Atau kita buat thread aja di Twitter?" tanya Joya tiba-tiba.

"Hah?" tanya Days bingung.

"Ya kita nyari bukti kalau dia yang ngejiplak punya lo, gue yakin pasti nama lo langsung zep ... bersih dari kuman dan kotoran." Joya mengatakannya tanpa beban dengan senyum semringah di bibirnya.

Days menggeleng.

"Kenapa gak?" tanya Joya lemas, ia lalu menyandarkan dirinya di sandaran kursi mobil.

"Because ... maybe we can—"

"Minta dia take down cerita itu ke orangnya langsung? Come on, babe. We don't even know who's this Laulauland, gimana caranya coba?" Joya sudah bisa membaca pikiran Days. Terkadang Joya benar-benar kesal dengan Days. Mengapa gadis itu harus lahir dengan rasa tidak enakan yang tinggi?

"Lo yang gak tahu," kata Days datar. Huft ... bisakah Joya berhenti membahas masalah ini dulu lalu menceritakan bagaimana Singapura atau apapun itu? Ia sedang tidak mau membahas masalah jahannam ini.

Days menghela napas panjang, "look, can we discuss about this later? Gue lagi malas banget bahas ini, kak. Kayak gak ada hal lain yang bisa diobrolin aja tahu, gak?"

Joya terdiam, ia menatap Days lembut, "of course we can, honey." jawabnya kemudian.

Setelahnya mereka membicarakan hal random yang terjadi di kehidupan mereka, entah saat masih kecil, atau hal lucu apapun yang pernah terjadi di dalam hidup mereka. Ini yang Days suka dari Joya—mereka mempunyai kesamaan, mereka bisa bersikap seperti tidak ada apa-apa walau sebenarnya ada masalah yang sangat besar yang seharusnya dibicarakan.

***

Days senang menulis, Days senang menyiksa dirinya dengan event menulis yang mengharuskannya mengupload satu chapter setiap hari di sebuah platform menulis sebelum akhirnya ia magang di Umbrella Publisher dan menjadi pengawas event di penerbit tersebut.

Dan sekarang, Days mendapat banyak masalah karena hal yang ia sukai. Days tidak tahu apakah ini perkembangan atau—apalah namanya. Yang jelas, Days masih suka dengan menulis dan ia tidak berencana berhenti menulis hanya karena masalah ini.

"WHAT?! Lo lagi bercanda kan, Days?" tanya Joya, menatap Days tidak percaya, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

Days menggeleng, "Kak Angkasa sendiri yang ngaku kemarin," jawab Days sebelum menyeruput kopinya.

"Angkasa tuh tolol apa gimana, sih? Udah diselingkuhin, masih aja ngebelain mantannya." Joya mendengus, menatap orang yang berlalu-lalang di luar kafe.

Days tidak merespon, ia tidak tahu harus merespon apa.

"Lo juga, kenapa harus suka sama Angkasa sih, Days?" tanya Joya tidak habis pikir. Apakah ia harus menulis semua keburukan Angkasa—membayangkannya saja sebenarnya Joya sudah lelah mengingat banyaknya keburukan laki-laki itu—agar Days berhenti menyukainya?

"Kok jadi bawa-bawa itu, sih?" tanya Days kesal.

Joya memutar bola matanya jengah, "No, seriously. Cowok di dunia ini banyak, Days. Di kafe ini aja banyak cowoknya, kenapa lo harus sukanya sama Angkasa coba?"

Drtt ... drtt ... Days diam-diam bersorak girang saat mendengar ponselnya berbunyi—menyelamatkannya dari pertanyaan Joya yang tidak berjawaban itu. Tapi ia mengernyit saat nomor tidak dikenal yang ternyata menelponnya.

"Halo?" Bodoamat, lah. Apapun asalkan Joya berhenti bertanya soal hal itu.

"Days, kayaknya lo harus ke kantor sekarang juga, deh."

Days mengernyit, siapa orang ini? Mengapa tiba-tiba menyuruhnya ke kantor? Jam di tangannya bahkan sudah menunjukkan pukul 11 malam, yang benar saja, atau orang ini sedang mabuk?

"Gue Harsa, Days. Cepetan, bu Rima udah ngomel dari tadi." Suara laki-laki itu terdengar panik, ada apalagi, sih?

Tut ... telepon dimatikan sepihak membuat Days meringis.

"Siapa, Days?" tanya Joya ketika melihat gadis itu sudah usai dengan teleponnya.

Days memasukkan kembali benda pipih itu ke dalam saku kemejanya, "gue di suruh ke kantor sekarang sama kak Harsa."

Joya mendelik, "gak sekalian jam satu malam aja dia mintanya? Kurang malam astaga," sarkas Joya, memutar bola matanya jengah.

Days berdiri, mengambil tas selempangnya, berniat untuk meninggalkan kafe secepatnya lalu segera ke kantor.

"Lo mau gue anterin ke rumah dulu atau gimana, kak?" tanya Days kemudian. Siapa tahu saja Joya masih betah di kafe ini, kan? Dan belum mau pulang.

Joya ikut berdiri dari tempat duduknya, "gak. Gue ikut lo ke kantor," putus Joya tegas.

Days menatap Joya ragu, "seriusan? Kakak gak mau pulang terus istirahat aja dulu?"

"Iya seriusan, lagian gue sampai sekarang masih gak ngerti kenapa orang malah nuduh lo yang ngejiplak. Siapa tahu bu Rima bisa ngejelasin kan alasannya apa, biar make sense aja."

Days menghela napas, "iya yaudah ayo kalau gitu," kata gadis itu sebelum buru-buru meninggalkan kursinya.

"Eh, kopinya belum dibayar, Days!"

***

Faults in ValentineWhere stories live. Discover now