[2] The Clock is Ticking

29 6 2
                                    

Moon Laundry membuat nyaman.

Setelah berbulan-bulan selalu menyapa kompor dan segala jenis bahan dapur, akhirnya aku bisa duduk dan merasa nyaman. Suasana tenang dengan musik berbahasa Korea itu membuat hati tidak ingin waktu berlalu cepat. Meskipun aku tidak tahu bagaimana menulis dan bagaimana melafalkan lirik lagu itu, setidaknya nadanya tidak menyakitkan di telinga.

Tempat yang bersih jelas membuat siapa saja nyaman. Ruangan yang sederhana dengan tempat-tempat yang telah di susun rapi sedemikian rupa membuat mata di manjakan. Kini aku tahu mengapa usaha keluarga yang berdiri kurang dari satu tahun ini telah memiliki banyak pelanggan tetap. Selain pelayanan, pasti tempat yang bersih dan enak dilihat mata ini membuat para calon pelanggan yang datang merasa yakin bahwa pakaiannya akan aman dan baik-baik saja di tempat ini. Bagaimanapun, logo Moon Laundry yang di dominasi warna hijau muda dengan kondisi ruangan berdinding putih ini sangat meyakinkan hanya dalam sekali lihat.

Telingaku menangkap perbincangan kecil dua tukang setrika di bagian dalam. Walaupun tidak tahu pasti topik apa yang mereka bicarakan, aku hanya berusaha duduk dan menunggu hingga Hendra memunculkan sosoknya dari pintu bagian dalam laundry.

Aku mendengarkan dengan baik apa yang akan dikatakannya saat kami sudah duduk kembali dengan posisi berhadapan. Aku memang yakin akan diterima kerja disini namun tidak menyangka akan semudah ini. Hendra terlalu sederhana. Tidak, bukan sederhana dalam penampilannya tetapi pria itu menilai seseorang tidak dengan kehadiran. Karena dia ingin aku mencoba selama satu dua hari dan jika merasa cocok aku boleh bertahan.

Dari semua hal baik yang dikatakannya, akhirnya aku melihat tatapan skeptisme dari matanya. Aku yakin tatapan itu ditunjukkan langsung untukku.

"Saya tadi baru dengar dari Cece kalau kamu ternyata masih kuliah. Semester berapa, Sacha?"

Ternyata masalah kuliah membuatnya kepikiran.

Aku mengangguk. "Lagi mau nyusun proposal skripsi, Mas."

"Nah jadi begini, saya ini sebenarnya sedang mencari orang yang bisa menggantikan saya. Tugasnya itu ada ini bagian nota kalau ada pelanggan datang kamu yang hadapi mereka, lalu bagian cuci ini kamu harus masukin pakaian ke mesin dan setelah selesai kamu keringkan. Baru nanti mereka berdua bisa setrika dan terakhir itu packing. Sebenarnya yang packing itu Cahaya, dia hari ini lagi off dan nanti kamu bisa belajar sama dia."

"Iya, Mas."

Dia menatapku tidak yakin. "Saya sebenarnya ragu, tapi ya pasti semua orang akan ragu. Kamu bisa nggak handle kuliah dan laundry secara bersamaan? Takutnya laundry malah menghambat kuliah kamu."

Dia peduli dengan pekerjanya, aku cukup terkejut dengan itu.

"Saya sudah pernah kerja juga sebelumnya, Mas. Semuanya saya bisa bagi waktu. Lagi pula sekarang ini saya dalam masa cuti."

"Kamu cuti kuliah?"

"Iya, Mas. Lagi mumet jadi mau cari waktu untuk bernapas dulu."

"Kalau kamu cuti harusnya kamu bisa handle laundry ini, ya." Aku tidak yakin namun aku pasti bisa. Bekerja dan sekolah itu bisa dipisahkan aku sangat yakin dengan itu. "Terus soal gaji kayanya Cece sudah jelaskan ke kamu jadi saya mau langsung ke jam kerja. Nah ini juga menjadi beban pikiran saya."

"Kata Mbak Evelyn saya masuk dari jam sebelas pagi sampai lima sore."

Dia mengangguk. "Benar. Kamu sekarang tinggal di Beringin pakai motor. Kalau saya hitung-hitungan, gaji dan biaya transportasi dan makan kamu ini masih belum tercover semua. Iya 'kan?"

Perfect Laundromat : Delapan Puluh Satu HariOnde histórias criam vida. Descubra agora