Bagian 9

28 16 11
                                    

Setelah kejadian yang memilukan itu, Zena dan Rakha menjadi terpisah. Mereka tidak lagi seakrab seperti dulu, dan terasa ada jarak yang tumbuh di antara mereka. Zena merasa berat hati melihat hubungan mereka menjadi tegang, dan dia tahu bahwa dia harus melakukan sesuatu untuk memperbaikinya.

Suatu hari, Zena merasa bahwa dia harus meminta maaf kepada Rakha atas perlakuannya yang membuat keadaan menjadi canggung. Dengan hati yang berat, dia meminta Rakha untuk bertemu dan berbicara berdua saja.

Ketika mereka bertemu, suasana terasa tegang. Zena merasa gugup, tidak tahu bagaimana cara mengawali pembicaraan. Akhirnya, dengan suara yang gemetar, dia mengungkapkan penyesalannya dan meminta maaf kepada Rakha atas perilakunya yang kurang bijaksana.

"Aku ingin meminta maaf atas kejadian waktu itu. Aku sadar kalau apa yang kamu katakan memang benar. Aku tidak seharusnya mengatakan itu padamu." Zena menunduk.

Rakha mendengarkan dengan penuh perhatian. Dia terlihat tenang, meskipun ekspresinya sulit untuk dibaca. Setelah Zena selesai berbicara, Rakha hanya menjawab dengan singkat, "Sudahlah, Zena. Aku sudah memaafkanmu."

Zena merasa lega mendengar kata-kata itu, meskipun ada rasa penyesalan yang masih menghantui pikirannya. Dia tahu bahwa meminta maaf adalah langkah pertama yang penting dalam memperbaiki hubungan mereka.

Rakha melanjutkan, "Kita harus kembali bersikap seperti biasanya dan menganggap bahwa hal itu tidak pernah terjadi. Kita tidak boleh membiarkan kejadian itu mengganggu hubungan dan kegiatan KKN kita."

Zena mengangguk, merasa lega karena bisa berbicara terbuka satu sama lain. Meskipun masih ada ketegangan di udara.

Setelah pertemuan mereka, Zena dan Rakha bergabung kembali dengan anggota KKN lainnya untuk melanjutkan kegiatan.

***

Saat acara penyuluhan tiba, semangat anggota KKN terlihat membara. Mereka bergerak dengan lincah, menyiapkan segala sesuatu agar acara berjalan lancar. Namun, Zena yang biasanya aktif dan bersemangat, terlihat lebih diam dan lesu.

Pikirannya terus melayang pada kejadian dengan Rakha. Meskipun mencoba menyembunyikan perasaannya, Zena masih merasa sedih dan kecewa dengan penolakan yang dia terima. Harapan dan ekspektasinya hancur dalam sekejap, meninggalkan rasa kosong di dalam hatinya. Meski saat itu Zena sudah meminta maaf, tetapi ternyata dirinya tidak bisa berdekatan dengan Rakha lagi karena canggung dan pria itu pun seperti menghindarinya.

Saat acara berlangsung, Zena mencoba untuk tetap fokus, meskipun pikirannya melayang jauh. Dia melakukan tugasnya dengan baik, tetapi semangatnya tampak redup. Dia merasa seperti berada dalam bayang-bayang kesedihan yang tak kunjung sirna.

Setelah acara selesai, Zena merasa perlu mencari suasana segar. Dia ingin menenangkan pikirannya yang kacau dan mencoba menemukan kedamaian di bawah cahaya rembulan di desa itu.

Malam itu, udara di desa terasa sejuk dan menyegarkan. Zena berjalan pelan-pelan, menikmati keheningan malam dan angin yang lembut menyapu wajahnya. Cahaya rembulan menerangi jalanan kecil, menciptakan pemandangan yang menenangkan.

Zena melangkah tanpa tujuan, membiarkan kakinya membawanya ke mana pun mereka ingin pergi. Pikirannya melayang-layang, mengingat kenangan-kenangan indah yang pernah dia bagikan dengan Rakha. Dia merasa sedih, tetapi juga merasa lega bisa menemukan sedikit kedamaian di malam yang sunyi ini.

Di tengah-tengah perjalanan, Zena menemukan sebuah taman kecil yang dikelilingi oleh pepohonan rindang. Suasana di sana terasa tenang dan damai. Zena memilih untuk duduk di bawah pohon yang besar, menatap langit yang dipenuhi dengan bintang-bintang gemerlapan.

Dia membiarkan dirinya meresapi keheningan malam, mencoba menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menghantuinya. Perlahan-lahan, pikirannya mulai tenang, dan dia merasa lebih mampu menghadapi kekecewaan dan kesedihannya.

Tiba-tiba, suara gemericik air mengalir menarik perhatiannya. Zena mengikuti suara itu dan menemukan sebuah sungai kecil yang mengalir di dekat taman. Airnya jernih dan segar, dan refleksi cahaya rembulan membuatnya terlihat indah.

Zena duduk di pinggir sungai, membiarkan kaki dan tangannya merasakan dinginnya air. Setelah merasa cukup, Zena kembali berjalan menyusuri jalanan.

Malam itu, udara kampung terasa sejuk dan menyegarkan saat Zena berjalan-jalan di sekitar desa. Lampu-lampu kecil bersinar redup, menciptakan suasana yang tenang dan damai. Saat Zena melintasi satu sudut, dia melihat seorang penjual nasi goreng yang sedang sibuk memasak di atas wajan besar. Aroma harum nasi goreng itu membuat perutnya terasa lapar.

Tanpa berpikir panjang, Zena memutuskan untuk membeli sebungkus nasi goreng untuk Rakha. Dia tahu bahwa Rakha suka dengan makanan tersebut, dan mungkin itu bisa menjadi cara kecil baginya untuk menunjukkan perhatian.

Namun, saat Zena kembali ke tempat mereka berkumpul, dia merasa ragu untuk memberikan nasi goreng itu langsung pada Rakha. Hatinya berdebar-debar, dan dia tidak yakin mengapa dia merasa seperti itu.

Akhirnya Zena memutuskan untuk menitipkannya pada Putri untuk memberikan nasi goreng tersebut pada Rakha. Kebetulan saat itu Putri melintas di dekatnya. Hanya cara itulah yang terpikir oleh Zena untuk memberikan nasi goreng tanpa harus berhadapan langsung dengan Rakha.

"Putri, boleh aku minta tolong kasih ini ke Rakha?" pinta Zena dengan suara lembut sambil memberikan kantong plastik berisi sebungkus nasi goreng.

Putri awalnya tidak mengerti tetapi diambil juga plastik itu. "Oke."

"Makasih, Put."

Putri melangkah pergi dengan nasi goreng dalam genggamannya. Dia mendekati Rakha yang sedang duduk santai sambil bermain gitar bersama teman-temannya.

"Nih, buat kamu." Putri menyerahkan plastik itu pada Rakha.

"Oh, makasih, Put, " ucap Rakha dengan senyuman manisnya saat menerima makanan itu.

Putri tersenyum, "Sama-sama, Rakha."

Teman-teman Rakha yang lain bersorak gembira, "Wah, Rakha dapat nasi goreng! Kenapa kita gak kebagian juga, huh?"

Rakha hanya tertawa geli mendengar candaan teman-temannya. Dia merasa senang dengan perhatian yang ditunjukkan Putri padanya.

"Licik, nih. Baiknya cuma sama Rakha Doang," celetuk yang lainnya.

"Kalo kalian, sih, beli sendiri sana." Putri ikut berkomentar.

"Yaudah, nih kalo pada mau. Makan sama-sama, seorang dapet sesendok." Rakha membuka bungkusan itu sambil tertawa.

Sementara itu, Zena hanya bisa menyaksikan dari jauh. Dia merasa sedikit lega melihat reaksi Rakha yang bahagia menerima nasi goreng itu, meskipun hatinya tetap berdebar-debar.

Suasana kembali riuh rendah dengan canda tawa dan lagu yang dinyanyikan oleh Rakha dan teman-temannya. Mereka semua terlihat begitu bahagia dalam momen itu.

Zena tersenyum melihat kehangatan di antara mereka, meskipun dia merasa sedikit terpinggirkan. Dia menyadari bahwa dia masih harus menyelesaikan perasaannya sendiri dan menemukan cara untuk mengatasi keraguan yang dia rasakan.

Malam itu berlalu dengan damai di bawah cahaya bulan yang bersinar terang. Zena menatap rembulan sambil bertanya-tanya dalam hati. Apakah dirinya bisa kembali tertawa bersama Rakha tanpa memikirkan perasaannya?

Zena mengembuskan napas, memilih untuk masuk ke dalam rumah dan beristirahat duluan saat teman-temannya bergembira. Ia tidak bisa terus-terusan melihat Rakha, atau rasa sakitnya semakin menjadi-jadi.

***

Just Friend (SELESAI)Where stories live. Discover now