Bagian 22

22 11 5
                                    

Hari itu, di kampus yang ramai, Airlangga dan Putri menjalankan proyek konten mereka lagi. Putri dengan antusias, sibuk menyiapkan setting untuk pengambilan gambar, sementara Airlangga tetap tenang, fokus pada tugasnya sebagai narasumber.

"Hai, guys! Kembali lagi dengan saya, Putri, dan rekan yang akan menemani kita Pak Airlangga! Kemarin kita sudah membahas fakultas yang ada di kampus ini! Sekarang kita akan menjawab beberapa pertanyaan dari teman-teman yang sudah saya pilih!" Putri berusaha mendekati Airlangga dengan alasan agar wajah mereka tampak di kamera.

"Nah, yang pertama, ada yang tanya fasilitas yang ada di sini apa. Gimana Pak?" Putri membawakan acaranya dengan lugas dan ceria.

"Agar lebih jelas, kita langsung lihat ke dalam saja." Airlangga menjawab dengan tenang.

"Nah, let's go! Kita langsung masuk ke dalem buat ulik fasilitasnya!"

Konten yang mereka produksi memiliki konsep yang menarik. Airlangga akan menjelaskan segala hal tentang kampus sambil menjawab pertanyaan-pertanyaan dari netizen yang sudah Putri pilih dari konten sebelumnya, sementara Putri bertindak sebagai pembawa acara yang cerdas dan bersemangat. Mereka berdua berkeliling kampus, menunjukkan fasilitas-fasilitas yang ada, dan memberikan wawasan yang menarik tentang kehidupan kampus.

Dalam beberapa take, Putri terlihat berusaha untuk mendekatkan diri pada Airlangga, sementara Airlangga tetap menjaga jarak dengan cermat.

Setelah beberapa jam pengambilan gambar dan rekaman, mereka akhirnya selesai.

Putri dengan senyum cerahnya, meminta Airlangga untuk foto selfie sebagai tambahan untuk konten mereka. Airlangga, tanpa keberatan, setuju untuk melakukannya.

Mereka berdua tersenyum di depan kamera, menciptakan momen yang tampaknya sangat biasa.

Setelah selesai, Putri tanpa ragu langsung mengunggah foto selfie mereka ke status WhatsApp-nya dengan niat agar Zena melihatnya. Airlangga, yang tidak mengetahui hal itu, melanjutkan aktivitasnya tanpa beban.

Sementara itu, di tempat lain, Zena merasa sangat tidak enak badan karena datang bulan. Rasa sakit yang tak tertahankan menyerang perutnya, membuatnya mencari pengalihan perhatian dengan membuka status WhatsApp. Namun, yang seharusnya membuatnya lebih baik justru membuatnya semakin kesal.

Mata Zena tertuju pada status Putri, dan ia terkejut melihat foto selfie Putri dengan Airlangga. Perasaan kesal langsung meluap dalam dirinya. Pikirannya dipenuhi oleh kecemburuan dan kekesalam. Dia tidak suka melihat Airlangga berdekatan dengan Putri, apa pun alasannya.

Tanpa bisa mengendalikan emosinya, Zena merasa semakin marah dan gelisah. Hormon yang tidak stabil akibat datang bulan membuatnya merasa lebih sensitif dari biasanya. Tanpa pikir panjang, Zena mulai mengetik pesan marah kepada teman-temannya di grup yang sengaja dibuat dengan isinya hanya tiga orang itu.

"Kalian tahu nggak? Airlangga malah foto selfie sama Putri. Terus si Putri post di SW lagi!" tulis Zena dengan nada yang penuh kekesalan.

"Ih, si Putri itu ya, bener-bener, deh." Pesan dari Clara muncul setelah beberapa detik.

Tarisa menambahkan, "Nenek lampir caper banget, sih."

Zena masih merasa marah dan kesal. Pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan dan keraguan. Apakah hubungan antara Airlangga dan Putri lebih dari sekadar ngonten bareng? Kenapa mereka sampai selfie berdua dan Putri menguploadnya di status?

Hari itu, Zena duduk di kamarnya dengan raut wajah yang kesal. Setumpuk buku dan catatan tersebar di atas meja, namun pikirannya lebih sibuk dengan perasaannya sendiri karena merasa cemburu dengan Airlangga yang terlalu dekat dengan Putri. Serangkaian pesan-pesan terus mengalir masuk ke ponselnya. Pesan-pesan itu berasal dari Airlangga, tetapi Zena memilih untuk mengabaikannya.

Rasanya semakin kesal ketika dia mengingat betapa serunya Airlangga dan Putri dalam konten yang mereka buat itu. Dia juga merasa diabaikan karena prioritas Airlangga terbagi dengan proyek konten bersama Putri.

"Kenapa dia harus terlalu akrab dengan Putri, sih?" desah Zena frustasi.

Di sisi lain, Airlangga duduk di ruang kerjanya dengan ponsel di tangan, menunggu balasan dari Zena. Namun, layar ponselnya tetap sunyi. Rasa kebingungannya semakin bertambah saat tidak mendapatkan tanggapan.

"Apa yang terjadi dengan Zena?" gumam Airlangga dalam hati. "Mengapa dia tiba-tiba tidak membalas pesanku?"

Tak lama kemudian, Airlangga memutuskan untuk memastikannya secara langsung. Dia berencana untuk menemui Zena di rumahnya, mengingat semua tugasnya di kampus juga sudah selesai.

Saat berada di perjalanan menuju rumah Zena, Airlangga melihat seorang penjual bunga di pinggir jalan. Tanpa berpikir panjang, dia memutuskan untuk berhenti dan memilih buket bunga yang indah.

"Baiklah, semoga ini bisa mencairkan suasana," gumam Airlangga sambil membayar penjual bunga.

Selain itu, Airlangga juga menyempatkan diri untuk mampir ke toko makanan favorit Zena dan membeli beberapa camilan kesukaannya. Setahunya, membujuk wanita yang sedang datang bulan adalah dengan menyogoknya dengan makanan.

Setelah membeli semuanya, Airlangga pun melanjutkan perjalanan. Sesampainya di depan rumah Zena, Airlangga mengetuk pintu dengan hati yang berdebar. Zena membuka pintu, dan wajahnya terlihat tidak ramah.

"Apa yang Mas lakukan di sini?" tanya Zena dengan suara yang sedikit tajam. Bibirnya cemberut dan memalingkan wajah untuk tidak bertatapan langsung dengan Airlangga.

Airlangga mencoba menjelaskan tujuan kedatangannya dengan tenang. "Aku ingin berbicara denganmu, Zena. Bisakah aku masuk sebentar?"

Zena ragu sejenak, tetapi akhirnya mengijinkan Airlangga masuk.

Mereka duduk di ruang tamu, atmosfernya terasa tegang. Airlangga mulai memperhatikan detail rumah Zena, mencoba mencari topik pembicaraan.

"Ternyata kamu suka sekali tanaman hias," kata Airlangga, mencoba memulai percakapan. "Bagus sekali penataan ruangannya."

Zena hanya mengangguk singkat, tetapi ekspresinya masih tidak ramah. Suasananya menjadi sangat canggung.

Airlangga mencoba lagi, kali ini dengan nada yang lebih rendah dan hati-hati. Dia juga menyerahkan buket serta makanan yang sengaja dia beli untuk Zena. "Ini untukmu."

"Kenapa repot-repot?" Zena masih menjawab dengan ketus karena masih teringat foto yang ada di status Putri. Zena tidak menyentuh sedikit pun barang pemberian Airlangga.

"Zena, aku merasa khawatir. Kenapa kamu tidak membalas pesanku? Apakah aku melakukan sesuatu yang salah?" Airlangga berkata selembut mungkin, berusaha menyentuh hati Zena.

Zena menatap Airlangga sejenak, seolah mempertimbangkan untuk membuka hatinya.

"Enggak ada." Akhirnya Zena tidak menyatakan kekesalannya, tapi tergambar jelas kalau dirinya sedang bad mood.

Airlangga terkejut mendengarnya. "Maafin aku, Zena."

Zena merenung sejenak, memikirkan kata-kata Airlangga. Akhirnya, dia menghela napas, "Maaf untuk apa?"

"Untuk aku yang membuatmu kesal." Airlangga menatap wajah Zena lembut. Dia menyentuh wajah Zena sebentar, lalu mengusap puncak kepalanya. "Kamu maafin aku, kan?"

Zena terpana karena kelembutan Airlangga dengan tatapan teduh itu. Ia akhirnya luluh dan mulai tersenyum. "Iya."

Airlangga merasa lega mendengarnya. Dia menyodorkan buket bunga dan camilan kecil kepada Zena. "Ini untukmu, sebagai tanda maafku."

Zena tersenyum tipis, menyadari upaya Airlangga untuk memperbaiki hubungan mereka.

"Yaudah, temenin aku makan, ya, Mas." Zena mulai membuka bungkusan makanan yang dibelikan Airlangga. Mereka pun kembali bercanda tawa seperti biasanya.

Just Friend (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang