Chapter 04.

40.2K 3.6K 17
                                    

Alera mendorong pelan pintu yang terbuat dari kayu itu. Di tangannya ada semangkuk kecil air hangat dengan sebuah lap di dalamnya. Ia akan menggunakan peralatan tersebut untuk mengompres Lendra yang pagi ini terserang demam.

Ya, sesuai dugaan Alera kemarin. Suaminya mengalami ruam merah yang samar di sekitar tangan dan lehernya. Dan tidak salah lagi, pagi ini ruam merah itu semakin menjadi membentuk cacar. Itulah sebabnya Lendra terjangkit demam.

Alera mendudukkan tubuhnya di pinggir kasur kemudian meletakkan mangkuk itu di atas meja kecil. Di sebelah ia duduk, ada Enzi yang sedang menatap sang ayah dengan raut wajah cemas. Melihat itu, Alera lantas tersenyum seraya mengelus lembut surai hitam kelam milik Enzi.

"Tenang saja. Ayah cuma sakit, nanti pasti sembuh," ujar Alera menenangkan si Lendra kecil.

"Benarkah?" tanya Enzi.

Alera menjawab dengan anggukan. "Benar, tapi sebelum itu, Enzi jangan terlalu berdekatan dengan Ayah, ya? Nanti kalau dekat-dekat dengan Ayah, sembuhnya jadi lama." Sudah dikatakan bahwa penyakit yang menyerang suaminya adalah cacar air. Maka dari itu, untuk mencegah terjadinya penularan, Alera harus memberikan pengertian kepada sang anak.

"Kalau begitu, Enzi akan jauh-jauh dari Ayah. Biar Ayah cepat sembuh," ujar Enzi semangat seraya memamerkan gigi-gigi putihnya.

Lendra sedari tadi hanya menyimak. Matanya terbuka sedikit bahkan jika tidak benar-benar diperhatikan, pria itu terlihat seperti orang yang sedang tertidur. Senyum tipis tersungging di bibir pucatnya. Tak dapat dipungkiri, perubahan sang istri yang telah terjadi lebih dari dua puluh empat jam yang lalu membuat perasaannya kian bahagia. Tak ia rasakan lagi rasa gatal dan panas yang menggerogoti tubuhnya. Semua seakan sirna hanya karena sebuah hubungan harmonis yang terjalin antara anak dan istrinya.

"Enzi, tunggu di luar ya. Nanti ibu akan menyusul ke luar," pinta Alera membuyarkan lamunan Lendra.

"Baik, Ibu!" Setelah mengatakan hal tersebut, Enzi melangkah keluar dari kamar. Sedangkan Alera meraih mangkuk berisi air hangat kemudian meletakkan mangkuk itu di atas pangkuannya. Sebelum mengompres wajah sang suami, Alera menempelkan tangannya di dahi pria itu guna merasakan suhu tubuh Lendra.

"Kenapa menyuruh anak kita keluar?" celetuk Lendra lirih membuat Alera melepas tangannya dari dahi sang suami.

Ia tersenyum, kemudian meraih kain kecil di dalam mangkuk. "Karena, aku tidak mau nanti anak kita bisa tertular penyakit yang kamu idap," jawab Alera dengan tangan yang sedang memeras kain.

"Penyakit ini menular?" tanya Lendra. Bertepatan dengan itu, rasa hangat dan basah mulai terasa menyentuh permukaan dahinya.

"Benar. Penyakitmu itu menular, apalagi kepada anak kecil. Kamu tahu? Bahkan anak kecil lebih mudah terjangkit dibandingkan orang dewasa karena sistem imunnya masih rendah."

Mendengar itu, raut wajah Lendra seperti merasa bersalah. "Maaf..." lirihnya.

Alera menatap wajah sang suami dengan dahi mengernyit. "Maaf? Untuk apa?"

"Karena aku terjangkit penyakit menular, kalian jadi terancam akan tertular juga," kata Lendra.

Alera mendengus. Apanya yang meminta maaf seperti itu? Memang pemikiran orang zaman dulu terlalu kolot. "Tidak usah meminta maaf. Bukan salahmu juga. Lagi pula siapa yang ingin terjangkit penyakit menular? Semuanya takdir dan tidak dapat kita atur sesuka kita."

Perempuan itu meraih mangkuk kemudian bangkit dari kasur. "Kamu istirahat saja. Tidak usah pikirkan apapun. Untuk masalah ladang, biar saja orang lain yang mengerjakan," imbuhnya.

Memang ladang yang Lendra kelolah adalah milik bersama. Ladang tersebut merupakan fasilitas yang disediakan dari pihak Duke untuk kesejahteraan masyarakatnya.

Setelah mengucapkan itu, Alera berlalu keluar dari kamar sedangkan Lendra hanya tersenyum tipis menatap punggung sang istri yang perlahan menghilang dari Penglihatannya.

~o0o~

"Enzi sedang apa?" tanya Alera saat mendapati anaknya di dekat kompor kayu bakar, membelakangi dirinya.

Anak laki-laki tersebut terlihat tersentak kaget. Ia membalik tubuhnya seraya menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. "Enzi mau masak buat Ayah. Tapi Enzi tidak bisa."

Tawa Alera menguar saat mendengar ucapan sang anak. Ia bahkan sedikit mengeluarkan bulir bening di sudut matanya. Membayangkan sang anak yang ingin memasak dengan tungku yang lebih tinggi dari tubuhnya tentu saja menggelitik perut seorang Alera.

"Astaga, anakku. Biar Ibu saja yang memasak. Kamu tinggal duduk manis saja," kata Alera setelah tawanya mereda.

Setelah mengatakan hal tersebut, Alera menggendong sang anak kemudian berjalan menuju karpet yang terbentang di ruangan itu. "Nah, kamu duduk di sini dulu. Ibu akan memasak."

Enzi hanya mengangguk. Ia dengan patuh duduk di atas karpet seraya memperhatikan sang ibu yang mulai melaksanakan acara masaknya. Tak dapat dipungkiri, Enzi senang dengan perubahan ibunya. Di pagi yang cerah ini, akhirnya Enzi--seorang anak yang mengharapkan kasih sayang seorang ibu--dapat merasakan dan menyaksikan kehangatan dari seorang ibu.

TBC.

Farmer's Wife (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang