Bab 10 || Rebutan

217 76 9
                                    

"Biar gue aja yang ngobatin lukanya Kina." Rafa masih tetap bersikeras ingin mengobati lukaku.

"Gue aja, Raf. Lo pasti gak bisa." Indra meremehkan Rafa.

"Kata siapa gue gak bisa? Gue bisa kok." ucap Rafa membalas dengan santai.

"Gue yang lebih tau caranya. Secara gitu gue waktu SD pernah ikut ekstra PMR." Indra menyombongkan dirinya.

"Njir, dari jaman kapan lo itu SD? Udahlah biar gue aja yang ngobatin." Rafa masih belum mau mengalah.

"Bodo amat, yang penting gue pernah ikut PMR pas SD. Jadi, biar mantan PMR aja yang ngobatin." Indra masih sama tak mau mengalah.

"Mending lo urus mantan lo aja. Jadi sesama mantan ngurus mantan." sinis Rafa.

"Apa urusannya sama mantan gue?! Udah siniin kotak obatnya, biar gue aja." sewot Indra.

"Ck, gue bilang gue yang ngobatin ya gue. Lo mending pulang sono." Rafa malah mengusir Indra dengan santai.

"Eh, Raf. Ini rumah bukan punya lo. Ngapain gue mau nurutin omongan lo." Indra terus membalas perkataan Rafa.

Apaan sih mereka berdua? Keburu kering nih luka gue kalo kayak gini ceritanya. Gue seneng kalo mereka rebutin gue, nah ini malah kotak obat yang direbutin. Ucapku masih terheran-heran dalam hati.

Lama kelamaan aku merasa seperti kambing congek mendengarkan perdebatan mereka berdua yang tak kunjung usai. Aku seperti tak terlihat disini, padahal aku duduk diantara mereka berdua.

Baiklah akan aku selesaikan perdebatan kali ini. Karena aku pernah diajarkan oleh Pak Darma mengenai materi debat dan moderator, maka kali ini akan aku peragakan dan terapkan semua yang diajarkan oleh pak Darma.

"Baik untuk saudara Rafa dan Indra mohon tenang. Saya selaku moderator akan memimpin jalannya debat kali ini." ucapku yang seketika menghentikan perdebatan mereka berdua.

"Saya akan memberikan saudara Rafa waktu 1 menit untuk memaparkan argumennya, setelah itu saya akan beri waktu 1 menit bagi saudara Indra untuk menyanggah argumen saudara Rafa." kataku dengan wajah sok bijak.

Krrrikkk....krrrikkk....

Hening langsung menghampiri kami. Aku merasakan suasana akward. Seketika itu pula aku tersadar, apa yang telah aku lakukan barusan?! Aku hanya bisa tersenyum, merasakan malu menjalar di sekujur tubuhku.

"Hahahahahaha...." Rafa dan Indra tertawa terbahak-bahak.

Duh, malu banget gue. Ngapain gue pake acara nerapin materi debatnya pak Darma sih! Ah elah, gimana dong sekarang? Gue udah terlanjur malu-maluin lagi. Batinku menjerit malu.

Rasanya sekarang aku ingin bumi tiba-tiba menelanku dan membawaku menghilang dari hadapan dua makhluk yang ada di sampingku.

Terutama Rafa, aku sungguh malu. Dihadapan calon gebetan aku kembali bertingkah konyol, ini sudah kelewat batas. Apa kata mereka nanti soal tingkahku yang aneh ini? Aku hanya bisa menepuk jidatku berkali-kali sambil berucap bego berulang kali.

"Lo kira kita lagi debat capres, Na?" tanya Indra di sela-sela tawanya.

"Hehehe..." aku cengengesan tak jelas sambil menahan malu yang luar biasa.

"Lo bener-bener lucu, Na. Gue baru tau lo pinter ngelawak." Rafa menimpali masih dengan tawanya.

Kalian pikir gue lagi ngelawak? Gue lagi gak ngelawak ini, woy! Gue lagi nahan malu ini, bukannya ngelawak! Gini amat dah nasib gue. Ucapku menjerit dalam hati.

"Hmm, u-udah selesai belum ketawanya? Ka-kalo belum biar gue sendiri aja yang ngobatin lukanya. Gue gak mau ganggu." kataku pelan sambil menahan malu di sekujur tubuhku.

My True First LoveWhere stories live. Discover now