09. Complicated

322 60 7
                                    

Pukul 7 malam, Chika baru tiba di rumah. Ketika melihat kedua orang tuanya sedang duduk di ruang keluarga, langkah kaki remaja itu berhenti. Ia sama sekali tidak mengetahui jika hari ini keduanya sudah pulang dari rumah sakit.

Tapi, kenapa hanya ada kedua orang tuanya saja. Dimana Ara. Apa anak itu sedang tidur di kamarnya. Pertanyaan itu terus berputar di kepalanya.

"Kau baru pulang, Sayang?" tanya Angga yang terkejut melihat Chika yang masih berdiri sedikit jauh di hadapannya.

Chika hanya menjawab lewat anggukan kecil. Ia rasa ibunya masih marah pada dirinya, terlihat dari tatapan Ranti.

"Kemarilah"

Intruksi itu membuat hatinya bimbang. Rasa ingin menolak sangatlah tinggi, namun kesempatan ini sangat bagus mengingat tidak ada Ara diantara mereka saat ini.

"Bagaimana kegiatan kamu hari ini?" tanya Angga menatap Chika yang sudah duduk di sebelah kanannya.

"Seperti biasanya, sangat menyenangkan." jaeab Chika tanpa menatap lawan bicaranya. Ia sibuk memainkan jari-jari tangannya untuk menghilangkan kecanggungan di antara mereka.

"Papa minta maaf karena melewatkan hari penting kamu. Chika mau memaafkan papa?" ujar Angga dengan lirih.

Perasaan bersalah itu terus menghantuinya. Walaupun pesan Chika kemarin tidak dibalas, tapi dia terus memikirkan perasaan sang anak.

"Tidak masalah. Chika tahu papa dan mama sibuk dengan Ara. Mungkin kedepannya Chika harus bisa menerima jika papa dan mama melupakan Chika."

Jawaban itu membuat Ranti bereaksi cepat. Ia dari tadi hanya dapat menahan semua kalimat yang bisa saja membuat Chika berkecil hati. Namun sepertinya Chika benar-benar ingin mendengarkannya dengan sukarela kali ini.

"Maksud kamu?" Tangan Ranti ditahan oleh Angga ketika dia ingin beranjak dari duduknya.

"Tolong, jangan pakai emosi." ucap Angga mengabaikan tatapan protes dari Ranti.

Sungguh, Angga tidak akan membiarkan hubungan ibu dan anak itu semakin memanas. Ranti dan Chika sama-sama memiliki ego yang sangat tinggi. Jadi, sebisa mungkin Angga dapat menjadi penengah di antara keduanya.

"Mama rasa kamu perlu berkaca pada diri sendiri dengan kalimat yang sudah kamu ucapkan tadi. Sejak hari pertama Ara masuk rumah sakit pun kamu tidak pernah bertanya apa penyebabnya. Bahkan, kamu meninggalkannya di saat dia benar-benar membutuhkan kehadiran sosok ibu di dekatnya,"

Mendadak, wajah Chika berubah muram. Tidak terpikirkan olehnya, ucapan sang ibu bisa menurunkan egonya saat ini dengan membahas kondisi kesehatan Ara.

"Mama tidak pernah menuntut kamu untuk selalu berada di sisi Ara. Tapi sepertinya ego kamu lebih besar dari kasih sayang seorang ibu pada anaknya." Sebenarnya, pembicaraan ini spontan Ranti keluarkan. Ia hanya mengingatkan Chika supaya tidak kelewatan batas.

"Sekarang Ara ada dimana?" sahut Chika enggan menatap ibunya.

"Dikamarnya. Kamu bisa menemuinya sekarang. Terakhir Papa ditinggalkan dia tadi masih tidur" jawaban Angga itu membuat Chika beranjak dari sana tanpa meninggalkan satu kata pun. Ranti yang melihat kepergian Chika dari sana hanya mempu berdecak kesal.

"Biarkan dia menemui Ara. Aku hanya tidak mau kau mengeluarkan semua amarah yang dapat membuat Chika sakit hati," ucapan Angga itu justru membuat Ranti menatapnya dengan tajam.

"Chika itu selalu saja seperti itu, Angga. Dia selalu tidak bisa mengontrol egonya yang sangay tinggi itu."

"Seharusnya kau paham, usia Chika saat ini masih 16 tahun. Di usia itu emosi dan tindakannya terkadang tidak berjalan dengan apa yang ada di dalam pikirannya," jawab Angga dengan sabar memberi pengertian pada sang istri jika tidak semua masalah harus di selesaikan dengan emosi.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 27 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

SaturnusWhere stories live. Discover now