🔪 • 6 | Pacaran

23 16 0
                                    

"Gue masih nggak terima sama kematian Rina. Siapa, sih, psikopat brengsek itu?" Tio membunyikan jemari-jemari tangannya dengan tatapan tajam.

Cowok itu tengah bersama Maria di basecamp mereka. Basecamp bertingkat dua, dana pembangunan dibiayai oleh Ayah Rina. Dari kecil mereka selalu bersama. Biasanya mereka menghabiskan waktu bertiga di sini, tapi sekarang hanya berdua. Biasanya mereka mengobrol dan bercanda bertiga, tapi sekarang hanya ada ketegangan setelah kehilangan salah satunya.

Maria yang duduk di atas meja, menyesap rokok hingga asapnya mengepul ke udara. "Gue yakin banget cewek bisu itu yang bayar orang, Yo."

Tio melipat kedua lengannya di dada. "Lagian kenapa Rina nggak ngajak-ngajak kita, sih, ke club? Nggak kayak biasanya."

"Apa sama Ken, ya?"

Tio tertawa. "Ya nggak mungkin, lah. Ken, kan, pas hari itu katanya mau ke Bogor ada urusan? Terus nggak ada waktu jalan berdua sama Rina. Lagian... tuh cowok mana mungkin main ke tempat kayak begituan? Dia emang keren dan menang tampang doang, tapi cupu."

Maria menghela nafas. Tio memang benar. Selama sekampus dengan Ken, mereka tidak pernah melihat cowok itu terlibat kekerasan. Dia terlalu sempurna di mata dekan dan dosen-dosen lain. Itulah kenapa mereka menganggapnya begitu.

Keduanya larut dalam pikiran masing-masing. Kematian sahabat yang paling disayang meninggalkannya secara tiba-tiba, terlalu mengejutkan dan mencurigakan karena paginya mereka bertiga baik-baik saja. KECUALI, satu hari sebelum berita kematiannya, di hari yang sama Rina tidak ada kabar, siangnya mereka melakukan penindasan terhadap mahasiswi baru yang menarik perhatian banyak orang karena dia bisu.

Sebelumnya, saat mereka melakukan penindasan kepada yang lain, tidak ada keganjalan apapun. Tapi kali ini berbeda. Apakah Rina dibunuh oleh seseorang yang memiliki dendam kepadanya? Seseorang yang pernah mereka tindas? Tapi, kalaupun benar, seharusnya dari dulu, bukan?

Kalau Tio pikir-pikir, cewek bisu itu lumayan juga, hanya minus di tidak bisa bicaranya.

Lelaki jangkung itu beranjak dari kursi menuju papan tulis. Menorehkan tinta spidol di papan tulis yang sudah banyak coret-coretan spidol, melingkari satu nama yang baru saja ditulisnya. "Pulang sekolah gue bakal selidikin apa cewek itu penyebabnya." Spidol itu ditutup.

Maria mengangguk. "Nice."

***

Tio bosan tiga hari ini selalu mengawasi Jane dari jauh. Cewek itu hanya bolak-balik rumah, sekolah, dan tempat kerja. Terlalu membosankan. Tapi di hari keempat, Tio tampak tertarik karena gadis itu mengunjungi tempat gym.

Wow.

Ternyata cewek polos, penakut, cupu, dan... intinya tidak mencerminkan kepribadiannya sekali, tapi rajin olahraga? Ke gym lagi. Benar-benar cewek yang bikin penasaran.

Diam-diam Tio ikut masuk sambil mengawasinya dari jauh. Gadis itu keluar ruang ganti dengan rambut dicepol asal, dan pakaian yang... ugh, terlihat sangat berbeda dibandingkan saat di kampus. Kaos ketatnya membentuk lekukan tubuh dan hotpants menambah keseksiannya, sementara cewek yang bersamanya memakai tanktop hitam dan hotpants-meminum sebotol air mineral, lalu menyeka keringat. Tampaknya cewek yang bersama Jane baru selesai berlatih.

Tempat itu tidak terlalu ramai, dan seolah para cowok lebih memilih berlatih, tidak tertarik terhadap dua cewek di antara mereka tengah mengobrol, lebih tepatnya Jane menanggapi temannya itu dengan angguk-angguk dan geleng-geleng kepala seperti biasa. Jane kini memainkan let pulldown machine dengan posisi duduk untuk melatih otot punggungnya.

Criminal Midnight (HIATUS)Where stories live. Discover now