Bab 15 || Calon

214 70 10
                                    

Kami berdua tengah berada di ruang keluarga bersama dengan kedua orang tuaku dan tak lupa Bang Haris.

Aku dan Edwin tengah duduk berdampingan. Sedangkan orang tuaku duduk di hadapan kami, dan Bang Haris duduk pada sofa single di dekat mamaku. Posisi kami hanya dibatasi oleh meja kaca berbentuk persegi panjang.

Entah mengapa posisi duduk seperti ini, kami berdua terlihat seolah-olah sedang meminta restu dari kedua orang tuaku.

"Jadi dia siapa, Kina?" suara berat papa mengalun bak melodi yang mencekam. Seketika aku terkesiap, namun tak berani menatap netra papaku.

"Di-dia te-temen Kina, pa. Na-namanya Edwin." aku mengenalkan Edwin dengan gugup dan gagap.

"Saya Edwin om, teman Kina." tambah Edwin dengan mantap.

"Habis darimana kalian?" ucap papa dengan tegas dan menatap tajam ke arah kami berdua.

"Dan kamu, kenapa kamu sampai mengajak Kina pulang malam begini?" tanya papa tegas, dan tatapannya seperti menusuk ke arah Edwin.

"Maaf om, tadi saya ketemu Kina di jalan. Karena sudah sore saya mengajaknya untuk pulang bersama, tapi sebelum itu kami sempat mampir ke tempat makan sebentar sambil menunggu hujan reda." jelas Edwin tegas.

"Kina? Apa benar begitu?" tanya mama padaku.

"I-iya, ma." jawabku masih gugup.

Yang dikatakan Edwin memang jujur, namun ada hal-hal yang tak ia katakan pada orang tuaku. Mungkin ia tak mau menambah panjang kesalahpahaman ini.

"Kalau begitu kenapa bisa sampai malam begini? Seharusnya kalian bisa pulang sebelum malam kan? Toh makan tidak menghabiskan waktu yang lama. Selain makan, kalian kemana lagi?" tanya papa kembali.

"Paling dia jalan-jalan, pa. Kan jarang-jarang dia jalan sama pacarnya." Bang Haris ikut mengompori papa agar semakin salah paham soal kami berdua.

Dasar abang lucknat! Kan gara-gara lo gue jadi berakhir kayak gini! Gara-gara lo yang gak jemput gue tadi di sekolah! Gue sleding juga lo bang abis ini! Umpatku dalam hati.

Kulihat Bang Haris tengah tersenyum meledek ke arahku. Aku pun menatapnya dengan tajam, sambil mulutku seolah-olah berkata 'Awas lo bang!' Namun tak bersuara.

Kulihat reaksinya malah cekikikan tak bersuara. Ingin rasanya kutelan hidup-hidup abangku itu!

"Kina? Tolong bicara yang jujur! Dia temanmu atau pacarmu?!" tegas papa sambil menekankan dua kata terakhir pada kalimatnya.

Gara-gara si kampret nih! Papa makin salah paham soal hubungan gue sama si Udin.

"Saya temennya Kina, om. Tapi, jika diizinkan sebentar lagi Kina akan jadi pacar saya." jawab Edwin dengan santai.

Anying! Ngajak gelut si kupret! Kenapa dia malah ngaco? Please, gue harus gimana sekarang? Makin runyam dah nih, gara-gara si udin! Umpatku terus-menerus karena ucapan Edwin yang ngawur.

"Cu-cuma temen kok, pa. Bukan pacar. Di-dia cuma bercanda aja tadi, pa." jawabku dengan menatap mata kedua orang tuaku ragu-ragu. Sambil berusaha tersenyum.

"Kalo pacar juga gak apa-apa kok, Kina. Tapi pacarannya dalam batas wajar, dan yang paling penting, kami semua tau siapa pacarmu. Kami tak pernah melarangmu untuk pacaran, kamu sekarang telah remaja. Sebentar lagi umurmu 17 tahun, kami tak akan membuat masa remajamu terkekang." tutur mama lembut.

"Jadi, saya boleh pacaran dengan Kina, om tante?" tanya Edwin dengan menatap kedua orang tuaku antusias.

Pengen gue sentil tuh mulut! Bisa-bisanya dia ngomong gitu ke orang tua gue disaat kayak gini. Arrrgghhh... Suasana hatiku semakin kacau mendengar penuturan si Edwin sialan!

My True First LoveWhere stories live. Discover now