With---16: Tak Mudah

45 18 90
                                    

“Tidak, Dokter! Saya hanya percaya kalau dokter adalah dokter sungguhan, bukan penasaran akan hidup saya!” sanggah Angel.

Rayyan pun berdiri dari tempat duduknya mendengar ucapan bernada tinggi sang adik kepada Dokter Demian.

“Angel!” tegur Rayyan. “Beliau dokter, hormatilah!” perintah Rayyan.

“Aku menghormati beliau, Mas. Namun, aku tidak percaya dengan beliau!” ujar Angel menegaskan, tiba-tiba emosinya memuncak.

Ketegasan Angel membuat Rayyan ingin menghampirinya. Namun, dia dicegah oleh Dokter Demian. “Biarkan saya saja yang bicara dengan Angel, Ray. Kamu yang tenang di situ, ya,” pinta Dokter Demian.

“Tapi, Dok, Ang---“

Kalimat Rayyan terpotong oleh Dokter Demian. “Izinkan saya, ya? Ini antara saya dan Angel,” pinta Dokter Demian.

Anggukkan Rayyan adalah respons persetujuan akan hal tersebut, kemudian dia duduk lagi. Melihat Rayyan sudah tenang seperti semula beliau beralih ke Angel kembali.

“Apa yang harus saya lakukan agar kamu bisa percaya dengan saya, Ngel?” tanya Dokter Demian.

Angel tersenyum sinis mendengar hal tersebut lalu dia menatap wajah Dokter Demian lekat.

“Saya ingin bermain ular tangga dengan Dokter. Jika Dokter menang, saya akan percaya dengan Dokter. Namun, bila Dokter kalah, saya tidak akan percaya dengan Dokter. Bagaimana, Dok? Sanggup?” pinta Angel.

Deg!

Tantangan Angel membuat Rayyan menggelengkan kepala dan menepuk jidat. Permainan ular tangga adalah permainan masa kecilnya dengan Angel. Dia tak habis pikir adiknya meminta itu kepada Dokter Demian. Meskipun terdengar aneh, Rayyan berusaha terlihat santai dan memandang sang adik yang masih menatap lekat Dokter Demian tersebut. Sorot matanya tajam. Angel saat ini, bukan Angel yang biasanya, lembut dan cengeng.

“Aku nggak diajak, nih?” tanya Rayyan.

Pertanyaan Rayyan membuat Angel menoleh dia beralih memandang kakaknya itu, walau posisinya sekarang dia sedang berbaring.

“Nggak! Aku selalu kalah denganmu, Mas,” sanggah Angel.

Rayyan dan Dokter Demian tertawa kecil mendengar sanggahan Angel lalu sang dokter mengiakan saja. Beliau pun izin keluar ruangan untuk membeli alat permainan ular tangga. Beberapa menit kemudian, Dokter Demian kembali dengan membawa permainan tersebut lalu Angel segera beralih duduk di sofa. Meski kedua kakinya masih sedikit bengkok, dia memaksakan diri meminta tolong Rayyan untuk menuntunnnya.

Setelah Dokter Demian dan Angel duduk bersebelahan, Bu Kenanga serta Rayyan mereka duduk di samping Angel. Saat semuanya sudah ditata, Dokter Demian tersenyum kepada pasiennya itu. “Sudah siap, Ngel?” tanya Dokter Demian.

Angel hanya merespons dengan mengangguk, kemudian mereka melakukan pingsut untuk menentukan siapa yang akan memulai permainan lebih dahulu. Angel-lah yang menang.

“Yeay! Aku duluan,” sorak Angel bahagia sesekali tertawa.

Sorakan Angel membuat Dokter Demian tersenyum. Pasiennya ini memang ahli sekali dalam bersandiwara umtuk menyembunyikan perasaan yang sebenarnya. Akhirnya, setelah satu jam lamanya mereka bermain. Permainan dimenangkan oleh Dokter Demian. Mengetahui kenyataan tersebut, Angel mendengkus kesal.

“Nggak sama Mas Ray. Nggak dengan Dokter Demian juga. Aku selalu kalah,” gerutu Angel.

Gerutuan Angel membuat Dokter Demian tertawa, begitu pula Rayyan dan Bu Kenanga.

“Kalah bermain ular tangga itu nggak penting. Yang lebih penting kamu berani jujur pada dirimu sendiri. Bagaimana, Ngel? Kamu bisa percaya dengan saya?” balas Dokter Demian.

“Oke. Terus saya harus ngapain dengan Dokter Demian?” tanya Angel.

“Ke taman yuk! Kita bicara di sana. Saya tahu, kamu suka alam. Apalagi yang banyak tumbuhan dan bunga mawar. Benar ‘kan?” tawar Dokter Demian. 

Perkataan beliau belum dijawab oleh Angel. Dia pun memandang Bu Kenanga dan Rayyan secara bergantian. Tingkah Angel disambut senyuman oleh Bu Kenanga. 

“Dokter Dem, hanya ingin bicara denganmu, Ngel. Beliau tidak akan menyakitimu,” ucap Bu Kenanga.

“Namun, Bu, temani saya, ya? Sama Mas Ray juga,” pinta Angel.

Rayyan dan Bu Kenanga pun mengiakan permintaan Angel. Lantas, mereka berjalan menuju taman rumah sakit.

*****

Sesampai di taman Angel telah duduk di atas ayunan dia sesekali mengayunkan ayunannya, sedangkan wolker itu dia letakkan di sampingnya. Namun, Bu Kenanga tiba-tiba memanggil Angel. Beliau meminta nomor handphone Hans karena dia harus kembali ke sekolah bersama Rayyan. Awalnya, Angel menolak. Dia ingin di sini sendiri saja tanpa didampingi siapa pun, soalnya nanti dia bakal pulang naik taksi.

“Jangan keras kepala, deh, Ngel. Kak Hans nggak bakal, kok, ngomong sama orang tuamu,” sanggah Rayyan.

“Nanti biar saya sendiri yang bilang ke Hans,” sahut Dokter Demian.

Akhirnya, Angel setuju dengan permintaan Dokter Demian lalu dia mempersilakan Rayyan dan Bu Kenanga kembali ke sekolah. Mendapat respons dari Angel, Bu Kenangan dan Rayyan mengangguk lalu mereka kembali ke sekolah dengan naik taksi sebab Bu Bira hanya mengantarkannya saja tadi.

Beberapa menit setelahnya, Dokter Demian sudah mendapat nomor handphone Hans lalu beliau pun mem-video call. Setelah wajah Hans muncul di layar, Angel langsung saja berbicara to the point. Hans paham akan hal tersebut, tanpa banyak bicara lagi beliau bergegas ke rumah sakit tak lupa dia mampir ke sekolah Angel terlebih dahulu untuk mengambil tasnya Angel. Ternyata memang tak mudah untuk mendapat kepercayaan pasiennya ini. Kepercayaan itu mahal. Jika telah hilang, susah untuk menemukannya kembali sekali pun kepada orang tuanya sendiri.

*****

Ketika Waktu Bersamamuحيث تعيش القصص. اكتشف الآن