With---19: Bergejolak

40 18 53
                                    

Manik hitam yang masih menatapnya membuat detak jantung Angel abnormal apalagi dengan posisi Brama lebih tinggi darinya. Dengan perlahan, tangan kanan Brama menyingkirkan beberapa helaian rambut Angel biar tidak menutupi wajahnya.

“Mau bangun sendiri atau aku bangunin? Atau…”

Brama menggantungkan ucapannya. Dia malah semakin asyik memainkan anak rambut Angel yang masih tersisa di wajahnya. “Mau begini terus?”

Perkataan Brama yang mengandung acaman itu membuat Angel ingin segera bangun dan duduk. Namun, lagi-lagi kakinya sakit. Brama pun peka, bergegas saja membantu Angel. Posisi mereka seperti berpelukan, tetapi pada dasarnya Brama hanya menambah tenaga Angel untuk mengangkat tubuhnya sendiri agar bisa duduk. Tak lupa dia meletakkan bantal supaya Angel bisa menyenderkan punggungnya dengan nyaman.

“Sudah nyaman?” tanya Brama.

Angel hanya mengiakan saja lalu dia sedikit memejamkan mata untuk menetralkan rasa sakit dikedua kakinya. Setelah menghela napas, Angel membuka mata kembali dan menatap wajah Brama yang ada di depannya sekarang ini. Mengetahui hal tersebut, sang empunya wajah tersenyum membalasnya.

“Kenapa? Terpesona dengan kegantenganku?” tanya Brama dengan percaya diri.

Respons tersebut membuat Angel tertawa kecil, sedikit membuang muka. Setelahnya, dia memandang wajah Brama kembali. “Iya, kamu memang ganteng mirip papaku, Bram. Namun, jangan seperti beliau, ya?” pinta Angel pandangan itu berubah menjadi sendu.

Tatapan tersebut membuat Brama menggelengkan kepala, tangannya beralih mengenggam kedua tangan Angel. “Aku sudah tahu semuanya dari Mama. Ly itu kuat. Tetap semangat, ya. Di sini ada tambahan semangatmu, yaitu aku.”

Beberapa detik setelah berkata demikian, Brama beralih mencium kedua punggung tangan Angel. Mendapatkan hal itu, air mata Angel luluh kembali.

“Mengapa kamu lakukan ini padaku, Bram? Apa yang membuatmu peduli?” tanya Angel sesekali mengelap air matanya.

Pertanyaan Angel tidak dijawab oleh Brama, malah dia langsung memeluknya. Di dalam pelukan Brama, Angel melanjutkan tangisannya. Di situasi ini, Angel mendadak memandang jauh wadah obat-obatnya yang ada di atas meja. 

Deg!

Batin Angel mulai bergejolak. Dia berharap rasa sakit itu jangan datang lagi. Luka tersebut belum sembuh. Apakah dia bisa mempercayai Brama? Lebih dari dia percaya Hans, Rayyan, dan Krisna, meski setelah kepercayaannya terhadap diri sendiri dan orang lain sudah hilang dihancurkan oleh sang papa? Jika Brama melakukan ini saat Angel sakit, apakah dia juga bisa melakukan hal yang sama kepada Brama di kemudian hari? Sedangkan, dia cacat jiwa dan fisiknya. Usai batinnya bergejolak hebat akan hal itu, Angel mempererat pelukannya. Rasa sakit di hatinya semakin menjadi hingga air matanya bertambah deras.

Brama yang merasakan pelukan Angel semakin erat dan tangisannya yang sesekali tertahan, dia berinisiatif mengelus punggungnya lalu beralih ke rambut hitam Angel.

“Aku tahu ini sakit sekali buat kamu, Ly. Namun, jangan ditahan, ya, Sayang. Keluarkan saja sepuasmu. Aku di sini, peluk aku seerat kamu. Bagi sama aku rasa sakitnya,” ucap Brama.

“Sakit banget, Bram. Aku nggak mau bagi rasa sakit ini ke kamu,” jawab Angel disela-sela tangisannya.

“Ya, sudah. Peluk aku saja sampai besok juga nggak apa. Aku tetap di sini sama kamu,” balas Brama dia mengimbangi pelukan Angel. Pelukannya saat ini, tak lain adalah pelukan meredakan rasa sakitnya yang luar biasa. Mungkin bila Angel tidak begini, perkataan Brama tadi yang mengandung gombalan receh akan disanggah olehnya. Namun, keadaan ini membuat Angel tak berdaya. Yang dia butuhkan hanya Brama, cowok yang dicintainya meski dia tidak tahu cintanya akan seperti apa diakhirnya nanti.

*****

Ketika Waktu BersamamuWhere stories live. Discover now