With---23: Penawaran

21 8 30
                                    

Perkataan Brama membuat Angel mengerutkan kening heran. ”Menawarkan maksudnya?”

Senyuman itu datang kembali ketika mendengar kebingungan Angel. Mengetahui ada warung sate dan jagung bakar, Brama melajukan mobilnya ke sana. Setelah memarkirkan mobil lantas melepas sabuk pengamannya, Brama menyenderkan kepala pada kursi lalu menoleh ke Angel yang berdiam diri menatap depan. Sadar dipandang, sang empunya pun melakukan hal sama.

“Ada apa, Bram?” tanya Angel heran.

Brama pun tersenyum merespons pertanyaan Angel lalu menghela napas.

“Kita mau tatapan-tatapan seperti ini terus? Aku yang nggak kuat, Ly. Kamu terlalu indah bagiku,” jawab Brama masih dengan posisi yang sama.

Entah mengapa perkataan Brama membuat Angel tersenyum sarkas. Kata-kata itu terlalu pasaran baginya bahkan banyak cowok yang mengatakan hal yang sama kepadanya. Reaksi Angel membuat Brama tertegun.

“Kok, senyumnya gitu?” tanya Brama.

“Terlalu biasa, Bram,” sahut Angel.

Deg!

Biasa? Ini yang Brama heran dari Angel. Banyak cewek kebawa perasaan dengan perkataannya. Namun, dia malah tersenyum sarkas. Karena hal itu, Brama semakin ingin mengenal Angel.

“Oke. Kita makan di sini dahulu,” ajak Brama. Dia ingin melepas sabuk pengaman Angel, tetapi lagi-lagi dadanya ditahan oleh Angel.

“Sudah, Bram. Aku bisa,” ujar Angel.

Larangan Angel menghentikan aksi Brama.”Oke. Aku bukain pintu dahulu, ya? Nanti aku tuntun.”

Angel hanya mengiakan saja lantas Brama pun keluar mobil. Dia dengan sigap membantu Angel lalu Brama menuntun Angel masuk ke warung tersebut. Usai mendapat tempat duduk Brama langsung memesan menu.

“Kamu mau nggak jagung bakarnya?” tanya Brama sembari menuliskan pesanan.

Brama masih sibuk menulis. Namun, tidak ada sahutan dari Angel membuat dia mendongak. Ternyata dia sedang melamun sambil sesekali mengelap air bening dari matanya yang menetes di pipi.

“Hai. Kenapa, Sayang?” tanya Brama lembut. Tangannya mengelus punggung tangan Angel.

“Nggak apa, Bram,” sanggah Angel lalu mengambil tisu untuk mengelap air matanya.

“Nggak mungkin. Jangan bohong, Ly. Kenapa?” tanya Brama mengulangi. Dia berhenti mengelus.

“Ini sudah pukul delapan lebih, Bram. Nggak ada yang kehilangan aku, handphone pun tidak nontifikasi sama sekali.” Akhirnya, Angel pun bercerita.

Cerita Angel membuat Brama menghela napas.”Belum pukul sepuluh, Ly. Masih aman, kok,” sanggah Brama.

“Berasa aku nggak mau pulang, Bram,” balas Angel.

Gelengan kepala adalah respons Brama terhadap balasan Angel. Dia memandang Angel lembut sembari tersenyum.

“Nggak boleh gitu. Kamu harus pulang,” nasihat Brama.

Nasihat itu membuat Angel tertawa sarkas dalam isakannya. “Beri aku satu alasan mengapa aku harus pulang?”

“Karena aku yang mendampingimu pulang. Kalau nggak, kamu di sini, dong. Terus aku tinggal pulang,” balas Brama terkekeh.

Mendengar kekehan Brama, Angel ikut tertawa, kemudian dia menggeplak lengan Brama keras yang duduk di sampingnya itu hingga dia mengaduh.

“Suka bener, deh, kalau ngomong,” jawab Angel.

Ketika Waktu BersamamuOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz