Dua Puluh Enam

44 5 4
                                    

Gita memandang putranya yang lelap di tempat tidur Papa sementara yang punya masih beberes. Dia bukan tidak tahu alasan Skala sering ke kamar Akungnya dan berlama-lama disana. Sejak melihat foto pernikahannya yang sengaja dibawa Papa, putranya jadi lebih sering bertanya tentang laki-laki yang 'bajunya sama dengan Mama'. Selama ini dirinya memang belum pernah mengatakan apapun soal Farrel. Bukan dia tidak ingin, tapi menurutnya Skala belum paham makna menikah dan bercerai.

"Ceritakan apa yang perlu dia tahu aja Kak. Skala berhak tahu Papanya."

Gita mengangguk, kemudian duduk disebelah Papanya. Didalam satu kotak berukuran sedang dia menemukan barang-barang almarhumah Mamanya. Parfum kesukaan Mama, baju kesayangan Mama, beberapa foto dan cincin pernikahan yang masih dipakai Mama di hari kecelakaan itu.

"Papa kangen sama Mama?"

Papa mengangguk, "Setiap saat Kak."

Dipeluknya pria yang rambutnya sudah mulai putih.

"Maafin aku yah Pa."

Papa menggenggam pergelangan tangannya, "Papa nggak akan ninggalin kamu sendirian Gita. Apapun yang bikin anak-anak Papa bahagia, Papa akan dukung."

Gita mengangguk lalu melepaskan pelukannya "Aku setuju kita ikut Nayla ke Jakarta, Pa. Tapi aku belum mau pulang..."

"Kalau Gita belum siap pulang, kita nggak pa-pa disini dulu. Papa nggak akan maksa kamu, Kak."
Gita beralih ke putranya lagi.

"Apa yang bikin kamu takut, mau cerita sama Papa?"

Gita kembali menatap Papanya.

"Aku nggak tahu apa yang aku lakukan ini bener Pa. Buat aku, buat keluarga kita, buat Skala. Waktu itu aku ngerasa nggak aman disana jadi aku berpikir harus pergi, yang jauh. Kalau perlu ke tempat yang nggak ada satupun yang aku kenal. Tapi setiap hari aku masih ketakutan."

Papa masih menggenggam kedua tangannya, dan kali ini lebih erat, "Kamu masih sering konsultasi sama Dinda?"

Gita menggeleng, "Nggak ada yang tahu kita disini Pa."

"Kak, apa yang kamu lakukan meskipun itu sulit dan nggak berhasil itu lebih baik karena seenggaknya kamu pernah mencoba. Kamu harus bahagia dengan pilihanmu, dan itu seharusnya nggak bergantung dari penilaian orang lain."

Dipeluknya lagi Papanya. Sejak rutin melakukan terapi dan mengatur pola makan, pelan-pelan Papa mulai bisa melakukan aktivitasnya sendiri. Walaupun cara bicaranya masih pelan dan kadang terbata.

***

Diatas ketinggian 36.000 kaki, Gita belum bisa tidur sejak pesawatnya take off dan sebentar lagi mereka akan sampai di bandar udara terbesar di Jakarta. Skala sedang tidak enak badan jadi agak rewel dan hampir sepanjang jalan putranya itu tidur. Kalau biasanya dia mudah tidur dengan siapa saja, beberapa hari ini putranya tidak mau lepas darinya. Dirinya hampir tidak bisa melakukan pekerjaan rumah dan menyelesaikan pesanan terakhirnya sebelum cuti panjang.

Mereka baru sampai di penginapan menjelang tengah malam. Nayla hanya menyewa satu kamar dengan dua kamar tidur di kawasan Senayan. Cukup jauh dari tempat acara workshop lusa dan sengaja dipilih jauh dari rumah karena tujuan mereka bukan 'pulang'.

"Istirahat dulu Kak, besok baru ke tempat Mama" seru Nayla pamit.

Dia tidak akan lama disini, setelah carity event dan workshop yang harus dihadiri adiknya, mereka hanya akan ke makam Mama. Seharusnya ini tidak akan lama dan dia tidak harus kemana-mana sampai waktu mereka harus kembali tiga hari lagi.
Skala mengusap kedua mata lalu membukanya pelan. Sepasang mata indah itu mengerjap sebelum mengamati sekitar.

Epiphany (Tamat)Where stories live. Discover now