☔25. Bahagia untukmu, Rian [END]

37 4 2
                                    

Hanya manusia yang tidak luput dari typo. Tandai jika ada.

 Tandai jika ada

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

☔☔☔

Hari demi hari berlalu, sekarang dekorasi sudah terpasang. Besok adalah puncak acara hari pernikahan Rian. Apa Rian tidak tahu jika aku terluka dengan ini semua? Entahlah, aku tak yakin besok akan datang ke acara ini.

Aku mulai mengecek dan mencentang apa-apa saja yang sudah siap. Mulai dari foto prewedding yang terpasang di depan, makanan untuk para tamu, kursi pelaminan, undangan pernikahan yang sudah tersebar, hingga dekorasi di dalam gedung. Syukurlah semuanya sudah siap. "Ri ...." Pak Mikha memanggilku. Aku lalu menoleh padanya. "Saya nggak nyangka kamu bisa secekatan itu. Nggak salah saya pilih kamu jadi asisten," pujinya yang membuatku sedikit senang.

"Kan, Bapak juga bantuin. Nggak semuanya saya, kok." Aku tertawa ringan mendengar pujiannya.

"Udah ikhlas, Ri?" tanya Pak Mikha. Eh? Kata-katanya barusan langsung membuatku kaget.

"Harusnya saya yang nanya. Bapak udah ikhlas?" Beliau hanya tersenyum saja mendengar pertanyaanku.

"Ikhlas nggak ikhlas, harus ikhlas. Saya bahagia kalau lihat Bulan akhirnya bahagia." Pak Mikha tersenyum sambil menatap ke satu titik.

Aku menepuk bahunya, membuat Pak Mikha menoleh padaku. "Cinta itu tau ke mana ia akan pulang. Cinta akan pulang ke rumah yang tepat, Pak. Kira-kira begitu yang seseorang ucapkan ke saya." Memang benar, dan sekarang ucapan Rian terbukti bahwa memang bukan aku orang yang tepat untuknya.

"Bohong. Seseorang itu bohong. Kalau cinta tahu ke mana akan pulang, kenapa malah tersesat ke orang lain?" Pak Mikha bersikeras menentang kalimatku.

"Nggak semua hal yang kita mau bisa kita dapetin, Pak. Mungkin Bapak memang bukan rumah bagi cintanya Mbak Bulan. Kadang kita hanya jadi tempat singgah, buat mengisi kekosongan yang sifatnya tidak selamanya. Nanti di waktu yang tepat, cinta itu akan menemukan rumahnya." Aku sok menasehatinya, padahal aku pun sedang terluka. Rasanya seperti menasehati diri sendiri yang nasibnya tak jauh berbeda.

"Kalau gitu, kamu mau nggak jadi rumah buat cinta saya?" ucapnya yang sekali lagi membuatku kaget. Lohh?! Apa-apaan ini?! "Bercanda, jangan kaget gitu, ah. Saya nggak akan mau bersama seseorang yang belum selesai dengan masa lalunya."

Aku bisa mengembuskan napas lega mendengarnya hanya bercanda. Namun, kalimat terakhirnya? Itu terdengar seperti mengejekku. "Saya permisi mau makan siang dulu, Pak. Kayaknya cacing-cacing di perut saya udah pada demo, deh."

"Yuk, makan bareng," ajak Pak Mikha. Aku mengangguk, toh, biar nggak sendirian terus. "Saya tahu bakso yang enak di sini."

Kami lalu bersama-sama pergi ke tukang bakso yang baru saja dikatakan oleh Pak Mikha. Tidak jauh, hanya selisih beberapa toko dari gedung yang telah kami sewa. Walaupun hujan gerimis, kami nekat pergi ke sana. Tak terasa, di Januari aku bertemu Rian, di Januari juga kami berpisah. Sepertinya aku memang ditakdirkan untuk tidak bahagia di Januari. Entah kehilangan apa lagi yang harus dipersiapkan di Januari depan.

Hujan di Januari [END]Where stories live. Discover now