Chapter 11.

34.8K 3K 47
                                    

Matahari telah hilang, digantikan dengan bulan yang bersinar terang. Angin berhembus membuat jubah seorang pria berkibar, namun dinginnya angin malam tak mampu membuat pria itu beranjak dari tempatnya. Di atas bukit pada sebuah hutan, pria itu mendongak, menatap bulan yang berbentuk bulat sempurna.

"Sebentar lagi. Tunggu aku..."

Netra yang semula berwarna hitam gelap perlahan berubah menjadi semerah darah. Ia tersenyum miring, membayangkan musuh-musuhnya yang baru saja mengganggu ketenangannya mati bersimbah darah. "Aku tidak sabar melihat kalian merasakan ganjaran yang setimpal," ujarnya.

~o0o~

Cahaya matahari pagi masuk di sela-sela kayu yang menjadi dinding sebuah rumah. Hal tersebut membuat sang pemilik yang sedang terlelap menjadi terusik. Alera mengerjapkan matanya, menghalau sinar matahari yang terasa menganggu.

Wanita itu tersenyum mendapati wajah tampan sang suami meski wajah itu memiliki bekas cacar yang telah mengering. Ya, berkat usaha Alera, Lendra berhasil mengobati sang suami dari penyakit cacar yang pria itu derita.

Cup

Kecupan selamat pagi Alera berikan ke dahi sang suami. "Selamat pagi, Suami."

"Pagi juga, Istri." Tanpa Alera duga, Lendra sebenarnya sudah terbangun sedari tadi. Pria itu membalas mengecup pipi sang istri yang tampak memerah, kemudian memeluk pinggang istrinya dengan posesif seraya menduselkan wajahnya pada bagian leher. "Terima kasih kecupannya, Sayang," lanjutnya.

Pipi Alera semakin memerah, bukan hanya pipi, tapi rona merah itu juga merambat hingga ke telinga. Ia mencoba melepas tangan kekar yang memeluk pinggangnya tetapi Lendra justru semakin mempererat pelukannya. "M-mas, lepas. A-aku mau masak."

Lendra mendongak kemudian melepas pelukannya. "Kenapa wajahmu berwarna merah?"

Mendapat pertanyaan seperti itu, tentu saja Alera semakin malu. Ia memilih tak menjawab kemudian segera bangkit dari kasur. Ia lantas pergi dari kamar meninggalkan Lendra yang menahan senyum.

Setelah sang istri benar-benar pergi dari kamar dan tak terlihat dari netranya, Lendra tertawa lepas. Rasanya sangat menyenangkan menggoda istrinya. Ia sama sekali tak menyadari jika di kasur itu masih ada sang anak yang telah membuka matanya karena kegaduhan yang diperbuat oleh kedua orang tuanya.

"Ayah kenapa tertawa?" tanya Enzi bingung.

Suara sang anak berhasil menyadarkan Lendra. Ia berdehem pelan untuk menetralkan ekspresi. "Tidak ada," balasnya singkat. Ia bangkit kemudian meraih tubuh Enzi. "Ayo kita mandi, biar Ayah mandikan."

"Ibu kemana? Kenapa tidak ibu saja yang mandikan Enzi?"

"Ibu sedang masak. Jadi mandinya sama ayah dulu ya?" Tampaknya anak berusia lima tahun itu sudah terbiasa dimandikan oleh ibunya karena kurang lebih seminggu ini, sang ayah sudah tidak pernah memandikannya lagi. Enzi hanya mengangguk, membuat Lendra bergegas membawa sang anak menuju mata air di belakang rumah mereka.

~o0o~

Masakan-masakan dengan aroma harum serta menggugah selera mulai ditata rapi oleh Alera. Ia tersenyum manis melihat hasil kerja kerasnya. "Baiklah, saatnya mandi," ujarnya.

Alera menutup makanan yang ia buat menggunakan daun pisang, hal ini dimaksudkan untuk mencegah masuknya binatang-binatang kecil ke dalam makanan. Memang di zaman ini orang-orang belum tahu mengenai tudung saji.

Wanita berusia dua puluh tujuh tahun itu melangkah menuju kamar, namun baru saja hendak membuka pintu, ia sudah di dahului oleh Lendra dan Enzi yang tampaknya telah selesai mandi.

"Kalian sudah mandi?" tanya Alera.

"Sudah, Ibu. Tadi dimandikan ayah," jawab Enzi.

Alera mengalihkan pandangannya ke arah sang suami. Dapat ia lihat Lendra hanya mengangguk sebagai jawaban. "Baiklah, kalian makanlah terlebih dahulu. Aku mau mandi."

Setelah mengucapkan hal tersebut, Alera berlalu meninggalkan suami dan anaknya. Di tangannya sudah ia pegang dua buah kain untuk digunakan sebagai handuk dan basahan.

TBC.

Farmer's Wife (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang