19. Diary Aery

874 176 56
                                    

"Halo Sayang," Gerald tersenyum ke arahku, pagi ini dia menjemputku di rumah.

Gerald sudah kembali sehat, wajahnya tampak sangat bahagia dan dia juga sudah diijinkan oleh Ayahnya untuk menggunakan motor.

Aku tersenyum, tidak merasa keberatan lagi dijemput jam 6 pagi oleh Gerald. Kami berdua berangkat ke sekolah bersama-sama.

"Selama gue nggak masuk sekolah, lo ngapain aja?" tanya Gerald sambil melihatku dari kaca spion.

"Di kelas aja. Waktu lo nggak ada, Gue selalu bawa bekal, jadi nggak perlu ke kantin. Lagipula, gue lagi nggak mau kemana-mana waktu itu," jawabku, kepalaku bersandar di pundak Gerald.

"Tumben banget bersandar kayak gitu, kangen ya?" Gerald menggodaku dengan mengangkat sedikit pundaknya.

"Iya. Jujur, waktu lo nggak ada di samping gue, perasaan gue hampa banget."

"Wah, ternyata lo bisa seromantis ini ya, Ry?"

"Romantis apanya? Gue cuma bilang kayak gitu doang, Ger!" seruku, tidak mengerti romantis dari sisi mananya.

"Buat gue, itu udah romantis banget. Soalnya lo jarang banget ungkapin perasaan lo kayak gini," Gerald berkata sambil tersenyum.

***
Hari ini Bella tidak masuk sekolah, bahkan beberapa guru sudah berkali-kali menanyakan sebab dia tidak masuk sekolah kepadaku dan juga Gerald.

"Gue khawatir sama Bella," bisikku kepada Gerald sesampainya kami di kelas.

"Buat apa sih? Paling juga dia balik lagi ke Bandung," ucap Gerald sambil meletakan tasnya di atas meja dan duduk.

"Tapi kalo dia balik ke Bandung, guru-guru pasti bakal tahu, kan? Surat pindah sekolahnya pasti diurus," kataku, menyusul Gerald dan duduk di sampingnya, "gue cuma takut kalo dia bakal ngelakuin rencana jahat lagi," lanjutku.

"Udah deh, nggak usah repot mikirin dia," Gerald mengusap rambutku dan melanjutkan, "oh iya, Bokap gue mau ketemu lo nanti pulang sekolah. Ada yang mau dia omongin."

Gerald tersenyum lebar tapi tidak denganku. Hatiku berdebar, memikirkan apa yang akan dibicarakan oleh Ayahnya. Setahuku, Ayah Gerald sangat melarang hubungan kami.

"Ada apa?" tanyaku panik.

"Nggak usah panik, kan ada gue. Gue bakal ngelindungin lo dari apapun, termasuk Bokap gue," Gerald memelukku dan mencubit pipiku dengan pelan. Salah satu hal yang paling aku rindukan waktu kami berpisah beberapa hari lalu.

Hari ini kami mengikuti pelajaran dengan antusias, tidak ada Bella yang mengganggu, membuat Gerald menjadi sangat ceria.

***
"Gue bakal ke sana besok, lo nggak perlu terus menerus nanyain hal itu, Bel!" seru Renald, dia sedang berbicara dengan seseorang melalui ponselnya sepulang sekolah, "Bella, gue nggak sebodoh itu!"

Aku dan Gerald saling pandang, kami berdua tidak sengaja mendengarkannya dari belakang badan Renald.

"Renald!" teriak Gerald, yang membuat Renald kaget dan langsung mematikan ponselnya. Gerald berlari menghampiri Renald dan langsung menarik kerah bajunya, "awas aja kalo lo sampe buat rencana jahat sama si cewek gila itu buat ngehancurin hubungan gue dengan Aery! Gue nggak bakal ngelepasin kalian berdua!" tambahnya, wajah Gerald terlihat sangat marah.

Renald dengan cepat melepaskan tangan Gerald dari kerah bajunya, "sebaiknya lo jaga baik-baik hubungan lo dan Aery!" balas Renald, kemudian berbalik dan pergi meninggalkan kami berdua. Sepertinya dia belum tahu bahwa keluarga Bella yang menyebabkan Ibunya koma di rumah sakit.

"Tenang Ger," aku menghampiri Gerald, mencoba menenangkannya dan mengusap bahunya, "udah yuk, kita harus segera ketemu Bokap lo. Gue nggak mau ngebuat Bokap lo nunggu lama."

Gerald mengangguk dan menggandengku menuju halaman parkir. Kami berdua menaiki motor dan pergi menuju rumah Gerald.

***
Sesampainya di rumah Gerald, aku terus menerus berjalan di belakang Gerald. Ketika Gerald mengetuk pintu rumahnya, Mbok Mirna dengan segera membukakan pintu.

"Terima kasih Mbok," Gerald selalu tampak sopan saat bertemu dengan Mbok Mirna.

Kami memasuki rumah dan berjalan menuju ruang tamu. Di sana, Ayah Gerald telah menunggu kami. Dia duduk di atas sofa, ketika melihat kami berdua datang, dia langsung berdiri dan menatap kami, membuatku semakin berdebar.

"Selamat siang Om," aku memberanikan diri untuk menyapa.

"Kemarilah," kata Ayah Gerald sambil tersenyum ke arahku.

Aku tidak mengerti, dengan spontan, aku menatap Gerald. Tapi Gerald hanya mengangguk, "nggak apa-apa," bisiknya.

Kami berdua menghampirinya, aku memajukan tangan dengan perlahan bermaksud untuk mencium tangan Ayah Gerald, ada sedikit kekhawatiran akan ditolak seperti saat pertemuan kita di rumah sakit jiwa. Tapi kali ini tidak ada penolakan, Ayah Gerald bahkan menyuruh kami untuk duduk, "ayo duduk," ucapnya.

Kami bertiga pun duduk.

Dan kemudian, Ayah Gerald memanggil Mbok Mirna lalu meminta tolong agar dibuatkan camilan dan makanan untuk kami bertiga, "Mbok, minta tolong buatin minuman dan camilan untuk kita ya," tambahnya.

"Baik Tuan," kata Mbok Mirna dan langsung pergi menuju dapur.

Ayah Gerald mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya yang tergeletak di atas meja, dan itu ternyata buku harianku. Bagaimana bisa buku harianku ada di tangan Ayah Gerald? Sementara buku itu hilang di saat Gerald tidak masuk sekolah. Jelas, bukan Gerald yang mengambilnya.

"Ini buku harian Aery, ya?" tanya Ayah Gerald sambil memberikan buku itu kepadaku, dengan cepat aku menerimanya dan memasukannya ke dalam tas, "kemarin, Febri yang memberikannya ke Om, katanya ada banyak rahasia Aery yang perlu Om tahu. Dia menemukan itu waktu nggak sengaja melihatnya tergeletak di atas meja kelas kalian."

Aku tersipu malu saat mendengarnya dan sedikit menundukan kepala.

"Om udah baca semuanya," lanjut Ayah Gerald sambil tersenyum, "Om tahu sekarang, bagaimana kamu mengubah Gerald, dari yang selalu bikin onar jadi anak yang mulai bisa mengatur emosinya. Om juga tahu bagaimana kamu mencoba membuat Ibu Gerald sembuh dan dapat berkomunikasi lagi."

"Ayah, apa Ayah pernah menjenguk Ibu?" tanya Gerald dari ekspresinya terlihat sangat penasaran.

Ayah Gerald mengangguk dan berkata, "iya, hampir setiap hari tanpa sepengetahuan kamu."

"Kalo gitu, apa Ayah sayang sama Ibu?"

"Tentu."

"Lalu siapa wanita yang sering Ayah bawa masuk ke dalam rumah ini sewaktu Ibu masih sehat?"

"Sebetulnya dia itu bukan selingkuhan Ayah, selama ini kamu udah salah paham. Dia itu Dokter yang menangani pengobatan Ibunya Renald, karena Ayahnya Renald telah lama meninggal, jadi Ayah yang bertanggung jawab. Itu karena Ayah satu-satunya saudara Ibunya Renald," Ayah Gerald memberitahu dengan ekspresi sedih.

"Maaf Ayah kalo aku udah salah paham," ucap Gerald, sekarang dia memelankan suaranya.

Ayah Gerald berdiri dan menepuk pundak anaknya itu, "Ayah juga minta maaf ya, Nak. Selama ini Ayah udah sangat keras sama kamu."

Gerald ikut berdiri dan memeluk Ayahnya, aku tersenyum melihat itu.

Dan kemudian Ayah Gerald menoleh ke arahku, "Om titip Gerald ya, kalo dia nakal, cubit aja," ucap Ayah Gerald kepadaku sambil tersenyum.

Aku hanya mengangguk dan kami kembali duduk saat Mbok Mirna datang membawa camilan dan tiga gelas jus jeruk.

"Ayah nggak bisa biarin keluarga Bella lepas gitu aja, mereka harus bertanggung jawab atas perbuatan jahatnya," ucap Ayah Gerald dengan nada dan ekspresi yang sangat serius, "dan kabar Ibu kamu, sekarang dia udah banyak kemajuan. Semoga bisa secepatnya sembuh," tambahnya kepada Gerald.

Gerald hanya tersenyum dan mengangguk, lalu dia merangkulku dan berkata, "berarti Ayah udah setuju nih sama hubungan kita berdua?"

"Gerald!" seruku sambil menoleh ke arahnya.

"Pasti," kata Ayah Gerald, dia mengangguk dan tertawa saat melihat Gerald langsung melepaskan rangkulannya dan melompat kegirangan.

True Love of an Introvert [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang