With---45: Sunset Ini

8 2 0
                                    

Di sisi lain, Rayyan sedang rebahan sejenak di kasurnya sebelum dia berangkat latihan bela diri. Namun, mendadak dia ingin melihat GPS handphone-nya yang terhubung langsung ke GPS handphone milik Angel. Sengaja, dia menghubungkannya diam-diam agar Angel tidak luput dari pengawasannya. Ketika dia melihat letak lokasi Angel, Rayyan mengerutkan kening heran karena sang adik berada di area kebun teh dan kebun bunga. Area tersebut, daerahnya cukup jauh dari kediaman Angel.

“Siapa yang mengajak Angel ke sini? Nggak mungkin Om Arka atau Kak Hans?” gumam Rayyan sendiri. “Ah, daripada penasaran, aku susul saja. Biar tahu, adikku sama siapa dia ke sana. Duh, Ngel! Jangan buat aku khawatir.”

Setelah berkata demikian, Rayyan bangkit dan menyambar jaketnya, tak lupa juga dengan seragam bela diri miliknya yang ada di kasur. Lantas, Rayyan keluar dari kamar menuju halaman. Beres memasukkan seragam bela dirinya ke dalam jok motor, dia mengunci pintu rumah lalu mengirim pesan Whatsapp pada papa mamanya untuk pamit. Akhirnya, Rayyan pun berangkat menyusul Angel terlebih dahulu sebelum jadwal latihan bela dirinya dimulai.

******

Selesai salat asar, Brama dan Angel berlanjut ke jembatan kaca yang tak jauh dari tempat wisata yang mereka kunjungi tadi. Ketika sudah berada di atas, Angel berdiri berpegang dengan kedua tangannya pada penyangga tangga kaca itu. Mata indahnya dimanjakan oleh gunung yang tinggi dilengkapi langit jingga yang perlahan makin jelas warnanya. Senyuman Angel mengembang manis lagi. Rambutnya yang tergerai sesekali bergerak karena diterpa angina sore itu. Brama yang berdiri di samping Angel dengan posisi yang sama tersenyum memandang wajah Angel.

“Ly?” panggil Brama.

“Iya, Bram?” balas Angel menoleh.

“Aku boleh mengabulkan beberapa mimpi kecilmu saat di suasana sunset begini?” tawar Brama.

“Memang kamu tahu, Bram? Apa mimpi kecilku di sunset ini?” tanya Angel balik.

“Tahu,” jawab Brama.

“Apa coba?” tanya Angel lalu memandang depan kembali.

“Berfoto dan berdansa sama cowok yang kamu percaya setelah Rayyan dan Kak Hans ‘kan? Namun, bukan seperti Krisna yang kamu percaya sebagai sahabat. Akulah orangnya, Ly,” kata Brama dia menatap Angel yang masih memandang depan.

Mendengar hal itu Angel tertawa, dia pun menghela napas.

“Mimpi itu cuma bayangan, kok, Bram. Sulit juga berdansa dan berfoto di bawah sunset begini. ‘Kan aku cacat. Aku kasihan kamu, Bram, walau kamu mau. Toh, sudahlah itu hanya mimpi-mimpi belaka. Eh, tapi … dari mana kamu tahu mimpi kecilku itu? Kamu baca buku binderku di kamar, ya?” tuduh Angel, kini dia sudah menoleh menatap Brama.

Tuduhan Angel membuat Brama tertawa kecil. “Iya. Aku baca tapi kalau buku diary nggak, kok, aku menghargai privasimu.”

“Ih! Ngeselin. Namun, terima kasih, ya, nggak baca buku diary-ku,” jawab Angel.

“Sama-sama. Gimana? Mau nggak?” tawar Brama.

“Mau apa, Bram?” tanya Angel.

“Dansa bersamaku di bawah sunset ini. Ayo!” ajak Brama mengadahkan telapak tangan kanannya di samping Angel.

Mendengar hal itu, Angel tersenyum dan menggeleng pelan. Respons Brama pun hanya tertawa dan langsung saja dia mengambil alih kedua tangan Angel lalu melingkarkannya ke lehernya. Kini, mereka saling berhadapan. Mata Brama menatap teduh manik hitam Angel saat ini.

“Kamu masih nggak percaya denganku, Ly? Jika kamu bersamaku hal yang mustahil bagimu akan terwujud seketika itu,” kata Brama tersenyum.

Angel pun hanya membalasnya dengan tersenyum juga.

“Sekarang, naikkan kedua kakimu di atas kakiku,” pinta Brama.

Angel hanya menuruti kemauan Brama saja. Kini, kaki mereka yang tanpa alas itu saling menindih.

“Lalu?” tanya Angel kini dia sudah di posisi yang Brama inginkan.

Brama tidak menjawab, dia malah menempelkan dahinya ke jidat Angel. Lantas, tangan kanannya mengambil handphone dari dalam saku memposisikan kamera depan lalu memotret posisi mereka.

“Mimpi kecilmu terwujud satu,” ucap Brama setelah memasukkan handphone itu ke dalam saku hoodie-nya kembali.

“Terima kasih, Bram,” kata Angel canggung dan sesekali membuang muka karena malu.

Reaksi Angel membuat Brama tertawa kecil, kemudian tangan kanannya membawa dagu itu agar Angel dapat memandangnya lagi.

“Nggak usah malu, Ly. Aman kalau sama aku. Toh, di sini pengunjungnya juga tidak banyak. Sekarang, ikuti gerakanku, ya? Kamu cukup tenang dan nikmati saja,” pinta Brama.

Akhirnya, kedua tangan Brama kembali lagi memegang pinggang Angel lalu dia pun menggerakkan kedua kakinya secara bergantian ke kanan dan ke kiri secara pelan dan otomatis, tubuh Angel berserta kedua kakinya pun mengikuti pergerakkan Brama.

“Bagaimana, Ly? Ini ‘kan yang kamu mau?” tanya Brama tersenyum dahinya pun dia tempelkan lagi ke jidat Angel tanpa memberhentikan pergerakannya.

Kini langit semakin berwarna jingga dan matahari pun ingin segera beristirahat, tepat di depan sang pengantar senja ada sepasang anak manusia yang berusaha saling memberikan kepercayaan masing-masing.

******

Ketika Waktu BersamamuWhere stories live. Discover now