𝓑𝓪𝓫 ll

147 23 10
                                    


Ketika Neji dan Toneri saling berhadapan, ruangan itu dipenuhi dengan ketegangan. Neji, dengan mata yang menyala penuh kemarahan, melangkah maju dengan kepalan tangan siap menyerang. Toneri, meskipun terlihat tenang, matanya waspada dan tubuhnya tegap, siap untuk bertahan atau membalas serangan.

"Neji, ini tidak perlu terjadi. Kita bisa bicara tentang ini!" tutur Toneri mencoba bernegosiasi.

Namun, Neji tidak mendengarkan. Dengan teriakan penuh amarah, ia meluncurkan dirinya ke arah Toneri, pukulannya cepat dan ganas. Toneri mengelak dengan lincah, tapi Neji terus menyerang, setiap pukulan dipenuhi dengan niat untuk melukai.

Hinata, yang berdiri menepi dari pertarungan itu, matanya melebar dengan ketakutan, "Neji, berhenti! Kau bisa melukainya!"

Tapi Neji sudah terlalu jauh tenggelam dalam kemarahannya. Dalam satu gerakan yang cepat, ia mendorong Hinata ke samping, fokusnya tetap pada Toneri. Hinata terjatuh ke lantai dengan keras, napasnya terengah-engah karena terkejut dan rasa sakit.

"Hinata!"

Toneri dengan rasa khawatir yang jelas terlihat di wajahnya, berteriak keras, sebelum kembali menghadapi Neji.

Perkelahian menjadi lebih intens, dengan Toneri sekarang berjuang tidak hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk melindungi Hinata. Dia berhasil menangkis beberapa pukulan Neji, tapi Neji, didorong oleh amarah, terus menyerang tanpa henti.

Akhirnya, dengan pukulan yang terlalu cepat untuk dielakkan, Neji berhasil mengenai Toneri tepat di rahang, membuatnya terhuyung ke belakang. Memanfaatkan momen itu, Neji bergegas ke kamar Hinata, menggeledah dengan liar mencari uang yang ia yakini ada di sana.

Hinata, yang masih berusaha bangkit, berteriak dengan wajah yang penuh air mata, "Jangan ambil uang itu, Neji! Hanya itu yang aku punya!"

Tapi Neji tidak mendengarkan. Dia menemukan apa yang dia cari dan dengan cepat mengambilnya, meninggalkan Hinata dengan rasa sakit baik di hati maupun di tubuhnya.

Toneri berusaha berdiri dengan susah payah, matanya penuh dengan kebencian. "Neji, kau akan menyesali ini," gumamnya rendah namun penuh ancaman, tetapi Neji sudah tidak ada di sana untuk mendengarkan. Dia telah pergi, meninggalkan kekacauan yang dia perbuat.

----

Sasuke melangkah pelan memasuki kamar yang hanya diterangi oleh cahaya remang-remang. Di sana, Naruto duduk bersila di atas ranjang, jari-jarinya dengan hati-hati meraba setiap titik timbul pada halaman buku braille di pangkuannya.

"Sudah larut, masih membaca?" suara Sasuke menggema lembut di ruangan itu.

Naruto mengangkat wajahnya, seolah bisa merasakan kehadiran Sasuke meski tak bisa melihatnya. "Ah, Sasuke. Ada apa datang malam-malam?" tanyanya, menutup buku dan meletakkannya di samping.

Sasuke menghela napas, mencari kata-kata yang tepat. "Aku akan pergi ke Numata besok pagi. Ada produk baru yang harus aku cek sebelum launching."

Naruto mengernyit, "Kau akan lama disana?"

"Hanya dua hari. Lusa aku kembali."

Naruto tersenyum, "Baiklah, pastikan membawa oleh-oleh."

Sasuke tersenyum tipis, "Tentu."

Ada hening sejenak sebelum Sasuke beranjak hendak pergi, tapi sebelum itu, dia berbalik lagi, "Naruto, tentang mata... Aku belum menyerah. Aku akan terus mencari pendonor."

Naruto mengangguk, senyumnya tetap terukir di wajah. "Aku tahu, dan aku bersyukur. Tapi jika itu tidak terjadi, aku sudah menerima keadaanku."

Sasuke menggertakkan gigi, menunjukkan ketidaksetujuannya. "Jangan berkata begitu. Selama aku masih bisa berbuat sesuatu, aku akan melakukannya."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 28 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Gleam For You [NaruHina]Where stories live. Discover now