Wtih---53: Di Antara

5 2 0
                                    

Brak!

“Sial!”gerutu Abit membanting map berwarna merah itu ke atas meja.

Saat ini, Abit di kantor papanya. Dia tidak masuk sekolah untuk meninjau berkebunan kelapa sawit milik sang papa. Namun, dia terkejut ketika membaca rencana bisnis baru Biyano Reyhan; papanya itu mau membuka lahan perkebunan sayur dan buah dengan menggusur sekolah Sekolah Rimbun Jaya.

Tingkah sang anak direspons Biyano dengan kekehan seraya meminum secangkir teh hangatnya. Setelah berjalan mengelilingi kantornya santai, beliau pun duduk di sofa tak jauh dari tempat Abit.

“Papa, Abit nggak setuju dengan rencana ini,” kata Abit tegas menatap sang papa. “Banyak orang yang akan dirugikan nanti, Pa. Apalagi ini ilegal. Menteri pendidikan tidak tahu tentang ini, pemerintahan juga. Ini tindak kriminal Papa! Papa bisa kena hukuman negara,” tegas Abit.

Mendengar hal itu, Biyano menghampiri sang anak. Dia lalu duduk di sampingnya. Senyuman mengejek itu terbit di bibirnya.

“Aku nggak peduli, Abit,” balas Biyano.

“Kenapa? Biar bisa puas? Itu salah, Papa!” tegas Abit. Dia menaikkan suaranya lalu menghela napas. “Maaf, Papa. Abit sedikit emosi.”

“Puas? Nggak ada kepuasan karena hal ini, Abit,” sanggah Biyano.

“Terus?” tanya Abit bingung.

“Keuntungan.”

Deg!

Abit paham sekarang apa maksud sang papa. Dengan menggusur gedung Sekolah Rimbun Jaya dan menyulapnya menjadi perkebunan tanpa sepengetahuan menteri pendidikan dan pemerintahan, ada dua keuntungan dalam bisnis sang papa ini; pertama, dana untuk sekolah tetap mengalir walau sekolah itu sudah tidak ada. Dana fiktif, itu istilahnya. Kedua, Biyano mendapat keuntungan dari hasil perkebunan dengan hanya mengeluarkan sedikit dana untuk mengolahnya. Lantas, bagaimana nasib guru dan murid di sana?

“Lahan yang dibangun sekolah itu memang sangat setrategis untuk digunakan menjadi perkebunan, Pa, tapi tempatnya sejuk, asri dan nyaman buat belajar. Apakah Papa tidak memikirkan hal itu?” tanya Abit.

“Tidak. Buat apa?” tanya Biyano. “Toh, akan aku ganti rugi dengan uang. Guru dan murid aku kasih pesangon. Warga di sana juga akan bekerja di perkebunan. Papa hanya ingin menciptakan lapangan pekerjaan baru dengan upah yang pantas,” sanggah Biyano.

Sanggahan Biyano membuat Abit tertawa sinis lalu dia memandang sang papa lekat. “Hidup ini memang butuh uang untuk bertahan, Pa....” Kalimat Abit menggantung, dia menghela napas untuk meredam emosinya. Menghadapi sang papa, energi Abit mendadak terkuras hebat. Emosinya sering memuncak akibat perbedaan pendapat yang cenderung sangat bertentangan itu.

“Kenapa, Bit? Lanjutkan saja. Papa mau dengar,” pinta Biyano ketika sang anak menggantung kalimatnya.

“Tidak semuanya dalam hidup ini bisa dibeli dengan uang, Papa!” Akhirnya, Abit pun melanjutkan kalimatnya. “Menciptakan lapangan pekerjaan baru tidak begini caranya, Pa!” bantah Abit.

Tawa Biyano adalah responsnya terhadap bantahan Abit. Setelah mereda, beliau menepuk pundak kanan Abit dengan lembut.

“Perasaan ‘kan yang nggak bisa dibeli dengan uang? Ya, memang itu benar. Namun perasaan membutuhkan uang Abit,” sanggah Biyano. “Cara ini adalah cara yang efektif agar penduduk desa tidak harus merantau mencari uang.”

Melihat tangan sang papa masih di pundaknya, Abit segera menepisnya kasar. Perlakuan sang anak membuat Biyano mendengkus kesal.

“Kalau kamu nggak setuju, jangan marah sama Papa, dong,” ucap Biyano.

“Oke. Aku akan ikuti kemauan Papa. Abit bantu apa ini?” tanya Abit.

“Nah, gitu, dong. Langkah pertama, cegah murid berprestasi untuk melapor ke menteri pendidikan akan bisnis ini. Terutama Angel. Meski dia cacat, karya tulis esainya bisa mengubah pola pikir pemerintahan. Jangan nanti seperti waktu itu ketika  Angel protes betapa tidak dipedulikannya fasilitas disabilitas di tempat umum oleh pemerintah.”

“Iya. Kelas sepuluh dia berhasil membawa piala untuk SMA Rimbun Jaya meski dia berada di luar kota saat itu. Mengikuti pelajarannya pun online. Namun, sayang … kerja kerasnya itu tetap saja tidak dihargai. Aku kasi---“

“Kasihan?” kata Biyano melanjutkan perkataan Abit yang dia potong.

Abit hanya mengiakan.

“Dia bukan Jellyna, Abit. Buang rasa itu jauh-jauh,” kata Biyano mengingatkan.

“Itu bukan urusan Papa. Fokus saja dengan ini,” sanggah Abit.

“Oke. Kamu siap membantu Papa?” tanya Biyano.

Abit cuma mengangguk. Namun, di sisi lain Abit bingung dan hatinya terus menentang. Dia harus menuruti kemauan sang papa atau perpihak pada perihal kemanusian dan pendidikan?

******

Ketika Waktu BersamamuWhere stories live. Discover now