Bagian 02

59 43 7
                                    

Haikal tidak pergi. Dia tidak akan pernah pergi. Karena seperti apa yang ia katakan dua jam yang lalu pada gadis itu, dia akan terus menemani Diana tak peduli mau sesulit dan selama apapun itu. Itu sebabnya ketika tadi perempuan itu mengusirnya, Haikal tidak benar-benar pergi. Dia hanya keluar sebentar dan kembali masuk beberapa menit setelahnya. Sampai kemudian menemukannya telah tertidur, Haikal mendudukkan diri di sofa.

Kepalanya mendongak ketika seorang Perawat membuka pintu dan meletakkan makanan pasien ke atas meja nakas. "Jam makan siang pasien masih 30 menit lagi. Nanti tolong dibangunin ya, Mas," ucapnya.

Haikal tersenyum singkat dan mengangguk mengerti. "Iya, Sus. Terima kasih." Setelahnya, Perawat itu berlalu. Maka, ia bangkit. Berjalan mendekat menuju tempat di mana perempuan itu terbaring. Ia elus rambut kusut wanita itu yang kian hari kian rontok.

"Diana, kamu nggak sejahat itu," lirihnya. "Aku tahu waktu itu kamu nggak benar-benar serius mengatakan itu. Kamu cuma ngerasa bersalah sama awal mula alasan kamu menerima aku." Ya, bagaimana mungkin gadis itu tak pernah sekalipun menyukainya di saat Haikal dulu seringkali berhasil menciptakan tawa lebar di bibir ranum miliknya.

***

"Mau di sini aja atau ke sana?" tanya Haikal. Ia berhenti sejenak mendorong kursi roda Diana ketika sampai di Taman Rumah sakit.

"Di sini aja," jawab perempuan itu. Maka, Haikal mengangguk dan dengan segera mengunci roda.

Haikal duduk di bangku panjang yang terletak tepat di sebelahnya. Untuk beberapa lama, tidak ada suara di antara mereka. Usai perdebatan yang lagi-lagi sempat terjadi, Haikal akhirnya berhasil membujuknya untuk jalan-jalan di sekitar Rumah Sakit. Dia butuh udara segar, katanya. Dan untungnya, Diana mau menurut.

"Bunda nggak nitip sesuatu ke kamu?" tanya gadis itu kemudian.

Haikal menggeleng. "Enggak. Kenapa? Kamu butuh apa emang?"

"Enggak, aku nggak butuh apa-apa. Kali aja Bunda ada ngabarin kamu sesuatu. Aku nggak buka HP sama sekali soalnya."

"Ooh." Haikal mengangguk mengerti. "Perasaan dari kemarin aku nggak lihat kamu main HP deh, HP kamu kemana emang?" tanyanya kemudian. Karena sedari kemarin dia menjaga Diana di Rumah Sakit, Diana hanya menonton televisi dan Haikal tak melihatnya memegang ponsel sama sekali.

"Aku umpetin di laci."

"Lah, kenapa?" herannya, lalu terkekeh singkat.

Sesaat, gadis itu mendengus dan menghela napasnya singkat. "Nggak pa-pa," jawabnya dengan acuh. Pandangannya sedari tadi menatap jauh ke depan sana, pada air mancur yang berada di tengah Taman.

Menemukan itu, Haikal hanya tersenyum tipis. Ia paham bahwa Diana pasti masih kesal dengannya. "Kenapa, hm?" Haikal turun dari duduknya. Ia berpindah tempat-berjongkok dan menumpukan kedua lengannya pada lutut perempuan itu. Ia pandang gadis itu dengan tatapan teduhnya.

"Nggak suka aja, Kal."

"Apanya yang nggak suka?"

Sampai akhirnya Diana memicing, menatapnya tidak suka. Dia menghembuskan napasnya jengkel. "Aku nggak suka lihat story orang-orang. Semuanya pada liburan seneng-seneng. Sedangkan aku malah begini."

"Emangnya kamu kenapa?"

"Kal..." Diana memejamkan matanya lelah.

"Diana... udah, ya?" Haikal bawa tangannya untuk mengelus sebelah pipi perempuan itu. "Berhenti banding-bandingin diri kamu terus."

"Mana bisa, Kal? Aku sekarang bahkan iri sama kamu."

Perempuan itu menunduk dalam, menyebabkan rambut panjangnya yang tergerai menutupi kedua sisi wajahnya. Sayangnya dari tempatnya saat ini, Haikal masih dapat menyaksikan dengan jelas bagaimana air mata itu menetes di pangkuannya.

"Kalo gitu kamu harus sembuh, dong. Supaya nggak usah iri sama aku atau siapapun lagi. Nanti aku bawa kamu liburan ke manapun yang kamu mau. Kamu pengen kemana? Bilang aja."

"Nggak usah." Diana mengusap air matanya sendiri seraya mendongak. "Aku nggak mau ke mana-mana."

Mendengar itu, kedua bahu Haikal seketika merosot. Tangannya menggenggam kedua tangan Diana. Menghela napasnya sesaat. "Tapi kamu tetap mau sembuh, kan?" Sembari terus meyakinkannya agar dia mau terus berjuang atas kesembuhannya sendiri. Tapi untuk beberapa lama, tidak ada jawaban. Diana hanya diam, hingga Haikal akhirnya menunduk-bingung harus dengan cara apa lagi guna menyemangatinya. Bahwa, Diana pasti sembuh. Dia pasti bisa sembuh. Haikal yakin itu.

"Aku nggak akan bisa sembuh, Kal."

Haikal mendongak.

"Kanker yang menyebar di otak aku ini udah nggak bisa disembuhin. Jadi, nggak usah repot-repot nyuruh aku rajin berobat. Percuma, aku tetap nggak akan sembuh." Diana menghembuskan napas beratnya. "Dokter Rama bilang, harapan hidup penderita kanker otak stadium akhir rata-rata hanya 15 bulan. Cuma sedikit pasien yang mampu bertahan sampai 5 tahun."

"Terus..," Haikal tatap mata itu lamat-lamat. "Kamu mampu bertahan berapa lama?" Sembari was-was. Haikal harap, Diana akan menjawab bahwa dia akan hidup jauh lebih lama dari itu. Sekali saja, dia ingin mendengar gadis itu mengatakan bahwa dia akan bertahan dan berjuang untuk hidup yang lama.

"Nggak lama lagi mungkin," lirih Diana.

"Diana..." Haikal menghela napasnnya frustasi. "Kamu jangan putus asa gini, dong. Kamu nggak kasihan sama aku? Nggak kasihan sama bunda yang kerja mati-matan demi biaya pengobatan kamu? Kamu bilang cuma ada sedikit orang yang mampu bertahan sampai 5 tahun, kan? Gimana kalo kamu adalah salah satu dari orang itu?" Haikal kecup punggung tangan gadis itu sedikit lebih lama. "Aku mohon, Di... bertahan, ya?"

Perempuan itu bungkam lagi untuk beberapa saat. "Justru karena aku kasihan sama kamu dan bunda, aku nggak mau nyusahin kalian lebih dari ini." Namun ternyata benar, bahwa hujan tidak lagi berarti untuk pohon yang telah mati. Tidak peduli mau seberapa deras hujan itu mengguyur, jika akarnya telah mengering, semua itu tidak berarti apa-apa. Jadi saat itu, yang Haikal lakukan hanya diam. Menciptakan keheningan di antara mereka berdua.

"Ke kamar yuk. Kamu harus istirahat," ajaknya kemudian.

"Enggak, aku masih mau di sini."

"Kalo gitu, aku ke Toilet dulu. Nggak pa-pa 'kan aku tinggal sebentar?" Diana mengangguk. Dan Haikal segera berlalu.

Setibanya di dalam bilik Toilet, tangis Haikal pecah. Air matanya yang sedari tadi saling dorong meminta keluar, kini akhirnya luruh juga. Isakannya terdengar nanar. Haikal bukannya lemah. Hanya saja, setelah selama ini ia mencoba mati-matian menguatkan Diana, mengusahakan yang terbaik yang ia bisa untuk kesembuhan gadis itu, yang Diana lakukan justru sebaliknya. Haikal pikir, selama ini perempuan itu susah dibujuk berobat adalah karena rasa sakit yang ia terima setiap proses pengangkatan sel kanker di dalam tubuhnya dilakukan. Namun ternyata salah. Kebenarannya adalah, Haikal mengusahakan kehidupan untuk seseorang yang justru mendoakan kematiannya sendiri.

Usai memastikan benar-benar tidak ada bekas air mata lagi di matanya, Haikal keluar dari dalam Toilet-tempat yang menjadi saksi atas tangisannya beberapa menit yang lalu. Sembari melangkah, ia harap-harap cemas. Dia tadi bilang pada Diana hanya meninggalkannya sebentar, tapi setelah mengecek ponsel, Haikal terkejut bahwa perempuan itu telah ia tinggalkan hampir setengah jam lamanya.

"Maaf ya aku lama, perut aku tiba-tiba mules banget tadi," ucapnya, lantas kembali mendudukkan diri di kursi panjang dekat gadis itu.

"Nggak pa-pa." Diana mengangguk seraya tersenyum tipis. "Kal."

"Hmm?"

"Aku akan rajin berobat. Aku mau hidup yang lama, Kal. Aku mau hidup sedikit lebih lama lagi," ucap Diana. Binar matanya mengisyaratkan kesungguhan. Lalu hanya dengan begitu, Haikal membatu.

-To be continued-

Sedih Tak Berujung | Lee Haechan ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang