Bagian 04 (end)

47 36 0
                                    

Saat di mana Diana mengatakan bahwa dia akan rajin berobat supaya bisa hidup sedikit lebih lama, maka saat itulah Diana tahu bahwa ada banyak hal yang akan ia lalui dan korbankan. Dia harus siap dengan rasa sakit yang ia terima, juga rela dengan berbagai kehilangan yang akan datang. Sejak dua bulan yang lalu saat dirinya pertama kali mengetahui kondisinya kala itu, Diana sudah kehilangan sedikit berat badan dan perubahan stamina tubuhnya. Dan kini, dia siap untuk kehilangan hal lain, yakni rambutnya.

Kemarin, ketika Diana mengatakan meminta diantar ke salon hari ini, Haikal tidak berekspetasi apapun. Dirinya pikir, Diana hanya ingin memotong rambutnya dengan model terbaru. Sayangnya ketika tadi dia sampai di rumah gadis itu, bunda Diana dengan mata berkaca-kaca menghampirinya dan mengatakan bahwa gadis itu ingin mencukur habis rambutnya. Katanya, Diana hanya tidak ingin rambutnya nanti menghalangi prosesnya selama pengobatan berlangsung.

Mengingat itu, Haikal geming. Tak jauh di depannya, karyawan salon masih sibuk melayani gadis itu. Dan yang ia lakukan hanya diam, sembari memperhatikan bagaimana tangan karyawan tersebut bergerak dengan telaten menyentuh rambut milik gadisnya.

"Udah selesai, ya, Kak. Gimana, suka?" tanya karyawan salon dengan senyuman ramahnya.

Diana tersenyum seraya memperhatikan penampilan rambut barunya di cermin. Potongan rambut wolfcut yang sedari dulu ia inginkan. "Bagus ... saya suka," ucapnya. Ia lalu menoleh ke belakang pada Haikal yang duduk di sofa. "Kal!" panggilnya, pada laki-laki itu yang lantas menatapnya. "Bagus nggak?"

Untuk beberapa saat, Haikal tersenyum lantas menganggukkan kepalanya. Sementara menemukan itu, Diana lantas tersenyum senang. Ia kembali menghadap ke depan, menatap pada bayangannya di cermin. Sesaat, ia meraih ponselnya dan menyempatkan melakukan mirror selfie. "Sekarang, tolong rambut saya dicukur habis, ya, Mbak," pintanya kemudian. Dan mendengar itu, tak hanya Haikal yang kini membisu seraya menatapnya melalui cermin, sang karyawan salon juga dibuat membatu.

***

"Laper nggak?" tanya Haikal ketika mereka kini berada di perjalanan sepulangnya dari salon.

Diana mengangguk. "Makan dulu, yuk!"

"Kamu mau apa?"

"Nggak tahu."

Haikal menghela napasnya. "Dasar cewek ...," erangnya.

"Ya, aku emang nggak tahu, Kal. Makan apa, ya, enaknya ...."

Haikal lalu menepikan mobilnya ketika sampai di area yang terdapat berbagai warung pinggir jalan. Jangan salah! Haikal mengajak Diana makan di pinggir jalan seperti ini bukan karena dia pelit, melainkan karena kualitas rasanya yang enak meski harganya murah. Dan lagipula, Diana tidak pernah protes. Bahkan, gadis itu justru berulang kali mengajaknya ke tempat ini setiap kali perdebatan mengenai makanan di antara mereka terjadi.

"Mau bakso?" tanyanya, seraya menunjuk gerobak bakso dari balik kaca mobil.

"Lagi nggak mau yang berkuah."

"Kalo gitu, geprek aja."

"Nggak mau."

Haikal menoleh ke salah satu gerobak di sana. "Gado-gado?"

Diana menggeleng.

"Ya, terus kamu maunya apa, Sayaaang?" geramnya. Sama seperti perempuan kebanyakan, Diana juga agaknya sedikit repot soal memilih menu makan. Sementara mendengar apa yang baru saja dia ucapkan, gadis itu sontak menoleh. Membuatnya lantas menampilkan senyuman lebar.

"Sate aja, deh. Kayaknya enak," ucapnya kemudian.

Haikal memandang sekilas pada gerobak di sana yang penjualnya tampak tengah mengipasi beberapa tusuk sate di atas panggangan. Ia lalu mengangguk. "Yaudah, ayok!"

Sedih Tak Berujung | Lee Haechan ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang