Bagian 03

50 38 1
                                    

Seperginya Haikal ke Toilet, Diana hanya termenung. Mungkin, laki-laki itu kecewa atas ucapannya tadi. Sayangnya, meski dia tahu bahwa perkataannya telah menyakiti Haikal, Diana tidak menyesal. Karena dengan begini, Haikal tidak akan repot-repot membujuknya agar rajin berobat lagi, atau susah payah memberikan semangat untuk sembuh. Haikal harus tahu bahwa apa yang dia lakukan akan berakhir sia-sia. Karena cepat atau lambat, kondisinya akan semakin memburuk hingga tiba nanti saat ajalnya datang menjemput.

Diana geming ketika sebuah bola plastik tiba-tiba menghampiri dan berhenti tepat di bawahnya. Bola itu sempat membentur pelan bagian bawah kursi rodanya. Untung saja tidak mengenai bagian lain atau justru mengenai tubuhnya. Menemukan itu, ia mendongak. Hingga kemudian dari arah depan, seorang anak laki-laki tampak berlari tergopoh-gopoh menghampirinya.

"Kakak, aku minta maaf, ya. Aku nggak sengaja nendangnya tadi kekencangan. Kakak nggak pa-pa, kan?" ucapnya, lengkap dengan ekspresi wajahnya yang agak ketakutan.

Diana tersenyum. "Nggak pa-pa, kakak nggak kenapa-kenapa, kok."

"Beneran?"

Diana mengangguk kukuh. "Lain kali hati-hati, ya." Sesaat, ia memandang ke sekitar. "Kamu sendirian aja?" tanyanya.

Anak itu menggeleng. "Enggak, aku sama mama," jawabnya.

"Mana mama kamu?"

"Tuh!" Dia menoleh ke belakang dan menunjuk ke sana. Namun di saat yang bersamaan, Diana terpaku. Bibirnya seolah kehilangan kata-kata saat melihat seorang wanita mendorong kursi rodanya sendiri menuju ke arahnya. Sepertinya, dia seorang wanita berkepala tiga. Namun lebih dari itu, hal yang membuatnya semakin membeku adalah ketika menemukan kepala polos wanita itu yang tak terdapat sehelai rambut pun. Wajah pucatnya terlihat jelas saat dia kini berhasil sampai di depannya.

"Maafin anak saya, ya," ucapnya. Nada bicaranya terdengar lembut dengan senyuman teduh yang bibirnya sunggingkan.

"Nggak pa-pa, Mbak. Namanya juga anak-anak," sanggah Diana. Wanita itu tersenyum, lalu menyuruh anaknya agar kembali bermain hingga kini meninggalkan mereka berdua.

Untuk beberapa saat, tidak ada yang memulai percakapan. Diana geming, sembari sibuk mencerna situasi yang ada di hadapannya saat ini. "Kalau saya boleh tahu, kamu sakit apa?" tanya wanita itu kemudian.

Diana memandangnya sesaat. "Kanker otak ... stadium akhir."

Mendengar jawabannya, wanita itu mengangguk-anggukkan kepalanya dengan tenang. "Kita sama," ucapnya, lalu melarikan pandangannya pada anaknya yang tengah bermain tak jauh dari mereka.

Diana geming lagi. Ia tahu bahwa wanita itu mungkin mengidap penyakit yang sama dengannya sejak melihatnya beberapa menit lalu. Hanya saja, ia heran, kenapa sedari tadi bibirnya sama sekali tak melunturkan senyuman? Bahkan ketika menemukan orang lain yang juga bernasib sama menyedihkannya dengannya. Diana saja sampai membisu sewaktu bertemu dengannya tadi.

"Mbak, sudah berapa lama?" tanya Diana kemudian.

"Mengidap penyakit ini?"

Diana mengangguk.

"Sudah sejak sekitar satu setengah tahun yang lalu. Kalau kamu?"

Namun bukannya langsung menjawab, Diana terdiam sebentar. Sejenak, ia tatap wanita itu yang kini juga tengah menatapnya. "Saya baru dua bulan yang lalu. Tapi, Mbak ... gimana bisa Mbak bertahan sejauh ini? Maksud saya, Dokter bilang pasien pengidap kanker otak stadium akhir rata-rata hanya bisa bertahan paling lama hanya 15 bulan? Hanya 5% pasien bertahan lebih dari itu setelah diagnosis."

"Kamu pasti terkejut, kan?" Diana masih memandangnya penuh tanya saat wanita itu lagi-lagi tersenyum, lalu menghela napasnya. "Dulu, Dokter juga bilang seperti itu sama saya. Sampai saya benar-benar dibuat frustasi setengah mati." Tatapan matanya memandang menerawang ke depan. "Banyak hal yang saya pikirkan. Anak saya masih kecil, bagaimana nasibnya nanti setelah saya tiada? Suami saya juga, siapa yang akan mengurusnya saat pergi dan pulang kerja nanti? Tapi, asal kamu tahu ... keajaiban itu ada." Kini, wanita itu memandangnya.

Sedih Tak Berujung | Lee Haechan ✓Where stories live. Discover now