Bab Duapuluh

37 5 1
                                    


Begitu Baran pulang, Dawai buru-buru keluar kamar untuk menyambut kedatangan kakak tirinya itu. Baran tampak berantakan, sesuai dugaannya.

"Kak, aku mau ngomong bentar."

Alhasil, Baran urung berlalu ke kamarnya dan berhenti di hadapan Dawai sembari berdesis tajam, "Gue capek."

"Kak, aku mau minta tolong."

Baran akhirnya memicing, "Apaan? Jangan nyusahin gue, deh."

Dawai sempat tergelagap, tapi dia kuatkan diri sendiri agar kalimat yang sudah dia susun seharian ini bisa menyelamatkan Baran. Jadi, dia mencicit, "Tinggalin dunia itu, Kak. Jangan jadi pecandu. Jangan beli narkoba lagi."

Baran spontan mendelik, "Tahu dari mana lo?"

Namun, Dawai tidak membalas apa-apa karena Baran sudah mencekal kerah seragamnya. Belum sempat keduanya mengadu amarah lagi, mendadak pintu rumah menjeblak lebar. Ada sosok Garma di sana. Rautnya tak terdefinisi, dominan ekspresi seperti habis dikhianati.

"Apa, Wai? Baran ngapain?"

Baran dan Dawai sama-sama tercekat, lalu terburu menjaga jarak saat Garma berdiri di antara keduanya. Tidak satupun dari mereka berani menjawab pertanyaan itu.

"Bar, jelasin ke Ayah sedetail mungkin," desis Garma.

"Nggak! Nggak papa, Yah! Dawai aja asal ngomong!" elak Baran sambil mengedipi Dawai, tapi yang mendapat isyarat justru enggan bekerja sama. Dia hanya ingin menyelamatkan Baran. "Iya, kan, Wai?!"

"Wai, kamu bisa ambil kesimpulan dari mana?" desak Garma.

Dawai meneguk ludah sebelum membeberkan rahasia yang ditutupi Baran bertahun-tahun ini, jadi dia mencicit, "Semalem aku buntutin Kak Baran, Yah. Tahunya, Kak Baran transaksi di gedung kosong gitu. Kak Baran kasih uang, orang itu kasih serbuk putih."

"DIEM LO, ANJING!"

"KAMU YANG DIEM, BAR!"

Dawai tersentak saat Garma menghantam sisian wajah Baran. Keras sekali sampai kakaknya itu tersungkur di lantai.

"Sekarang, mana barang-barang haram itu?! Ayah mau lihat! Ayah mau buang! Bisa-bisanya kamu terjerumus ke sana!"

Baran membiarkan Garma menggeledah saku celananya sampai menemukan sebungkus sabu yang semalam baru dia beli. Biar begitu, tatapan tajamnya tak beralih dari Dawai yang berani melaporkan soal kebejatannya.

"Aku ngelakuin itu biar teralih. Aku nggak mau inget Ibu terus," lirih Baran, seketika menyetop Garma dari niatnya memukuli Baran lagi. "Ayah mau menjarain aku? Silakan."

Garma terkesiap, tapi masih menyela, "Nggak ada pembenaran buat apa yang kamu lakuin. Ya, Ayah nggak sudi punya anak pecandu. Ayah nggak mau ngelindungin kamu dari kesalahan kamu sendiri. Kamu perlu introspeksi, Bar."

"Semua ini gara-gara lo," desis Baran, dengan tatapan masih melekat pada sosok Dawai yang gemetar. "Kalau lo tutup mulut, gue nggak berakhir gini."

"Kalau aku tutup mulut, Kak Baran bakal mati!" jerit Dawai, frustrasi sendiri. "Aku nggak mau kehilangan Kakak! Aku nggak mau Kak Baran ninggalin aku karna overdosis!"

"Tapi, gue nggak pernah anggep lo adek," tekan Baran, mulai terengah. "Gue nggak mau sodaraan sama anak yang lahir dari rahim pelacur."

"Baran," panggil Garma, ternyata sudah menangis sendiri. "Ayah tahu hidup kita berat setelah ditinggal ibu kamu. Ayah tahu hidup kamu juga jadi berantakan setelah Ayah nikah sama ibunya Dawai yang ternyata seorang pelacur itu. Ayah juga menderita, tapi kenapa kamu harus pilih jalan ini?" Kemudian, dia tarik badan kurus Baran ke pelukannya. "Maafin Ayah."

AphelionDonde viven las historias. Descúbrelo ahora