MKSUK 22

7.6K 657 74
                                    

Naina menangisi jenazah ketiga orang tersayangnya. Rencana awal memang mereka semua akan tinggal di hotel terdekat sehari sebelum acara wisuda. Namun, Ridwan mendadak harus menyelesaikan pekerjaannya sebelum ke Surabaya. Tangisan Naina terdengar begitu pilu. Selanjutnya, ia harus kuat menjalani kehidupan ini seorang diri.

Rumah dipenuhi banyak orang yang melayat. Ucapan belasungkawa pun berkali-kali Naina terima. Ia tak pernah sekali pun membayangkan kalau mesjid perumahan akan mengumumkan kematian tiga orang terkasihnya itu.

Beberapa teman sekampus datang untuk menguatkan. Naina berusaha kuat, meski harus beberapa kali tumbang. Ia masih ingat betapa lembut suara sang ibu menyambutnya di sambungan telepon pagi tadi.

"Mbak, bisa kita bicara sebentar?"

Naina segera mendongak saat seseorang mengajaknya bicara. Ia tak mengenal orang itu. "Ada apa? Kalau Mas masih mau membahas soal kecelakaan, saya anggap semua selesai. Saya sedang berduka. Saya menganggap kejadian ini adalah bagian dari takdir. Saya nggak akan menuntut Mas dan keluarga."

"Saya Bhumi. Ayah saya yang mengemudikan mobil saat kecelakaan itu terjadi. Saya akan bertanggungjawab," ucap laki-laki itu lagi. "Saya akan menikahi kamu."

"Maksudnya? Kenapa Mas harus menikahi saya?" Naina mengerutkan kening. "Mas nggak perlu melakukan itu."

Naina termenung menatap kembali ketiga keranda berselimutkan kain hijau dengan bordiran tulisan Arab. Salah seorang kerabat Naina mendeakt.

"Nduk Nai," ucap Pakde Imamkakak ayah Naina, Ridwan. "Pakde sudah diskusi dengan keluarga mereka. Pakde setuju dan akan menikahkan kamu dengan Bhumi."

"Pakde diskusi, tapi nggak melibatkan aku," ucap Naina. "Aku sudah bilang kalau semuanya selesai. Ini takdir. Tuhan sudah menakdirkan Bapak, Ibu dan Naira harus pergi dengan cara ini."

Pakde Imam memeluk Naina. Wanita itu kembali menangis. "Pakde ngerti. Setelah ini, kamu akan melalui kehidupan ini sendirian. Pakde dan yang lainnya nggak akan selalu bisa ada di dekat kamu setiap waktunya, Nduk. Bhumi punya niat baik. Dia mau bertanggungjawab. Pakde yakin dia bisa jadi suami yang baik untuk kamu. Orangtuamu juga nggak akan keberatan. Mereka pasti bahagia karena kamu menikah dengan laki-laki baik."

"Pakde tau dari mana kalau dia orang baik?" tanya Naina. "Kita baru ketemu hari ini. Kita nggak bisa menilai orang itu baik hanya dalam satu hari."

"Dia berani datang ke sini untuk bertanggungjawab, Nai."

Setelah ketiga jenazah selesai disalatkan di mesjid, semua orang duduk berkumpul. Naina didampingi kerabat terdekat dan juga Pakde Imam duduk di dekat keranda yang berjejer. Naina menerima pinangan Bhumi sebagai bentuk tanggung jawab. Dengan mahar seadanya, Bhumi menjabat tangan Pakde Imam mantap.

"SAH!"

Emosi bercampur aduk. Kesedihan dan bahagia yang dirasa semua orang yang menyaksikan pernikahan sederhana ini menghadirkan rasa tersendiri. Beberapa dari mereka meneteskan air mata karena merasa iba melihat Naina yang menikah di hadapan jenazah kedua orangtuanya.

Naina mengecup punggung tangan Bhumi sebagai bentuk pengabdian pertamanya sebagai seorang istri. Bhumi membalas mengecup kening Naina lembut.

"Saya akan jaga kamu."

Dua orang asing yang baru saja dinikahkan hari ini berada di satu kamar setelah seluruh prosesi pemakaman selesai. Bhumi baru saja membersihkan diri dan berganti pakaian karena ikut menurunkan jenazah ke liang lahat. KeduanyaNaina dan Bhumi diam. Mereka duduk di ranjang Naina.

MENJADI KISAH SEMPURNA UNTUK KITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang