2. Kembali Tertangkap

863 154 6
                                    

Part 2 Kembali Tertangkap

Tubuh Cara menggigil dan wajahnya sudah sepucat mayat, tetapi hal itu tak menghentikan kedua pemuda yang mengarahkan selang air ke tubuhnya. Seluruh tubuhnya basah kuyup, sementara kedua pemuda itu tertawa nyaring. 

Tangan Ethan terangkat dan kedua kaki tangannya langsung mematikan aliran air. Ethan beranjak dari duduknya, berjalan mendekati Cara yang berdiri di tengah halaman. “Jadi, kau sudah berubah pikiran?”

Cara menatap wajah bengis Ethan. Bibirnya bergetar hebat tetapi kepalanya masih sanggup untuk memberikan satu gelengan.

Seringai Ethan membeku. Tak habis pikir dengan kekeras kepalaan yang mengerak di kepala gadis polos itu. Pandangannya bergerak turun, seragam berwarna putih yang basah tersebut membuat pakaian dalam Cara terjiplak dengan jelas. Pandangannya berhenti lebih lama di dada gadis itu.

Cara yang menyadari arah pandangan Ethan seketika menghalangi tatapan lancang pria itu dengan kedua tangan. Menyilang di depan dada.

Lidah Ethan berdecak tak suka dengan halangan tersebut. “Apa kau masih berharap pahlawanmu itu akan datang untuk menyelamatkanmu?”

Cara tak berhenti berharap Zevan akan datang untuk menyelamatkannya. Meski ia merasa sungkan untuk setiap bantuan yang dilakukan Zevan ketika Ethan dan kaki tangan pemuda itu merundungnya, tetap saja ia tak berhenti mengharapkan Zevan akan selalu datang untuk menyelamatkannya.

Ethan tertawa keras. Lalu menangkap rahang Cara dan mendorong tubuh mungil gadis itu ke kolam renang yang ada di samping mereka. Seringai kejamnya bergerak lebih tinggi ketika melihat Cara yang menggerakkan kedua tangan berusaha naik ke permukaan dengan kewalahan.

Mata Cara terbuka ketika ingatan itu kembali berputar di kepalanya. Tersentak keras dan bangun terduduk, dengan napas terengah. Napasnya baru saja kembali normal dan kembali tertahan ketika melihat tas dan ponselnya yang tergeletak di meja kaca di hadapannya. Ia menggali ingatan terakhirnya dan menyadari pakaiannya yang berantakan.

Kancing kemejanya nyaris hilang semua dan branya terasa longgar karena pengaitnya yang sudah dilepaskan. 

“Kau sudah bangun?”

Kepala Cara berputar ke samping dan melihat Ethan yang berjalan keluar dari kamar mandi. Mengenakan kemeja yang dikeluarkan dari celana dan tidak dikancingkan. Mengekspos perut berpetak pria itu ketika berjalan mendekat.

Cara gegas beranjak dari duduknya sekaligus menyambar ponsel dan tasnya. Berjalan mundur untuk mempertahankan jarak jauh di antara mereka. “Kau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan, Ethan. Aku ingin pergi,” lirihnya mengabaikan getaran dalam suaranya.

Ethan tersenyum, menggusur rambut basahnya ke belakang dan menatap penampilan Cara yang berantakan. “Kau ingin meninggalkan tempat ini dengan penampilan seperti itu?”

Cara menelan ludahnya. Menyadari rok pencilnya yang tersingkap dan sedikit robek di belahan belakangnya. “Aku tak peduli.”

Ethan mengambil kemeja bersihnya di punggung soda dan melemparnya ke arah Cara, tetapi wanita itu tak menangkapnya “Aku peduli.” Ada penekanan yang kuat dalam suaranya. “Dan kau bisa mulai bekerja besok.”

Cara membungkuk dan menyambar kemeja tersebut kemudian lari ke arah pintu. Yang kali ini sudah tidak dikunci.

*** 

Cara menetap kedua matanya yang bengkak di depan cermin. Berapa banyak pun air mata yang mengalir deras dari sana, semua itu tak menghentikan kekejaman yang sudah dan akan dilakukan Ethan padanya. Pria itu telah kembali. Ah, tidak. Ialah yang kembali ke hidup pria itu, seolah belum cukup semua ketololan yang telah dilakukannya.

Cara meraih tasnya dan berjalan keluar dari toilet dengan langkah terburu. ‘Dan kau bisa mulai bekerja besok,’ Kalimat Ethan sebelum ia keluar dari ruangan itu kembali berputar di benaknya.

Tidak.

Sekarang ia tak akan mengulangi ketololannya. Ia tak seputus asa itu hingga harus bekerja pada pria itu.

“Cara?” Suara Zevan yang dipenuhi kelegaan menjawab panggilannya di deringan pertama. “Dari mana saja kau? Aku berkali-kali menghubungimu.”

“Di mana kau sekarang? Apa kau di kantor?” Cara menuruni undakan di lobi gedung dan setengah berlari menuju jalan raya.

“Ya. Aku baru saja hendak memberitahumu, siapa pemilik Eth Enterpries.”

“Ethan.”

Suara Zevan tercekat. “Kalian bertemu.”

“Lebih buruk.” Cara membuka pintu taksi yang berhenti tepat di hadapannya. Masuk ke dalam dan berkata, “Bisakah kau membantuku? Aku harus meninggalkan kota ini. Malam ini juga.”

“Ya,” jawab Zevan dengan penuh kemantapan. “Aku sudah mengurus semuanya. Kita bertemu di bandara. Dalam dua jam. Aku sudah memesan penerbangan begitu mengetahui siapa pemiliknya.”

Cara mengangguk dengan penuh kelegaan. “Ya. Terima kasih, Zevan.”

*** 

Cara menurunkan kaca mata hitamnya begitu taksi berhenti di gate yang diinginkan. Mengambil tas di samping dan turun dari mobil. Ia sampai tepat pada waktunya. Penerbangannya satu jam lagi tapi ia tak bisa berhenti merasa cemas sampai pesawat membawa dirinya keluar dari negara ini.

“Di mana kau?” tanyanya begitu panggilan tersambung. Berjalan masuk ke tengah kepadatan penumpang yang lain.

“Aku akan segera tiba. Sedikit terkena macet. Kau sudah mendapatkan tiketmu?”

“Ya.”

“Masuklah lebih dulu. Jika sesuatu terjadi, kau yang harus pergi lebih dulu.”

“T-tapi …” Langkah Cara terhenti. Pegangan pada ponselnya semakin menguat. 

“Itu sudah kesepakatan kita, Cara.”

Cara menjilat bibirnya yang kering. “Seharusnya aku tidak kembali ke sini.”

“Jangan mengungkit hal yang sudah terjadi. Kita akan menyelesaikannya seperti yang biasa kita lakukan.”

Cara menghela napas pendek dan mengangguk. “Ya.”

Panggilan berakhir dan Cara kembali melanjutkan jalannya. Menunjukkan tiket perjalanannya dan langsung diarahkan menuju gate 2 yang ada di lantai dua. Berkali-kali ia melirik jam tangan sembari mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Dengan kecemasan yang tak berhenti memenuhi dadanya. 

Dan kecemasan itu rupanya memiliki alasan yang kuat. Gate 2 berada di ruangan paling ujung bangunan. Menjauh dari keramaian. Keraguan sempat menghentikan niatnya sebelum melewati penjagaan. Ketika ia memasuki ruang tunggu yang luas diselimuti kesunyian, dan satu-satunya orang yang duduk di tengah jajaran kursi tunggu tersebut adalah seorang pria yang mengenakan kaos polos putih dan celana pendek berwarna khaki. Dengan kaca mata hitam yang bertengger di kepala dan kedua tangan serta kaki yang disilangkan, lengkap dengan keangkuhan yang tertampil di wajah kejam pria itu.

“Et-than?” Suara cara tercekat dengan keras. Tubuh bergetar hebat dan ketika tubuhnya berbalik, wajahnya menabrak dada bidang yang tiba-tiba muncul di hadapannya.

“Cara?” Pria yang juga berpakaian santai tersebut tersenyum semringah dengan kepucatan Cara. “Kenapa kau terburu-buru? Ethan bahkan belum memulai pestanya.”

Cara terhuyung ke belakang. Mengenali pria itu adalah kaki tangan Ethan. Sekaligus sepupu Ethan, Zaheer Anthony.

“Ini pertama kalinya Ethan mengadakan pesta di bandara,”timpal pria lainnya yang berdiri di samping Zaheer, Mano Anthony, sepupu yang lain. “Rupanya pikiranmu sudah kembali jernih, ya.”

“P-pesta?” Bibir Cara bergetar hebat

Mano mengangguk dengan senyum jahilnya. “Untuk merayakan kedatanganmu.”

“Apa Ethan mengundang Zevan?”

Mano mengedikkan bahunya. “Mungkin. Kau tahu Cara dan Zevan paket lengkap yang tak bisa dipisahkan, kan?”

“Apa?” Mata Cara membeliak menyadari arti percakapan tersebut. kecemasan seketika menyergap dadanya dengan keras. “Di mana Zevan? Apa yang kalian lakukan padanya?”

Kembalinya Sang Istri SahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang