Chapter 3 ~ Bersimpuh

16 5 0
                                    

AKU mencoba untuk memberanikan diri berkunjung ke rumah Mama, meskipun aku tahu pasti beliau akan memarahiku.

Aku berdiri di ambang pintu sembari melihat mamaku yang telah lama tidak bertemu. Di ruang khusus menjahit, Mama begitu sibuk dengan beberapa kain yang ada di hadapannya bersama para pegawai.

Pensil yang beliau letakkan di atas daun telinga adalah ciri khas Mama meskipun hanya sebagai desainer rumahan.

Terkadang Mama juga menggantikan pegawai bagian menjahit jika pegawai itu absen masuk kerja. Dari kejauhan seorang pegawai memberitahu mamaku bahwa aku sedang mencarinya.

Gegas beliau meletakkan kain itu, dan entah apa yang dikatakan oleh pegawai yang dari tadi bersamanya.

Terukir senyuman bahagia di raut wajahnya yang letih saat melihat kehadiranku. Beliau berjalan ke arahku, lantas aku mencium tangan kanannya.

"Ma, aku minta waktunya bentar aja," pintaku membisik tanpa basa-basi.

Sebelumnya, Mama meminta izin kepada pegawainya terlebih dahulu untuk bisa menemuiku.

Wanita berkacamata dengan frame kuning yang tidak pernah ia lepaskan selama bekerja itu tidak membandingkan antara dirinya selayaknya bos dengan pegawai.

Lalu, beliau memintaku untuk bertemu di ruang kerjanya.

Ketika berjalan menuju ruang kerja, hampir setiap dinding masih terpajang foto keluarga kami. Mulai aku masih bayi hingga kelas 3 SMA.

Saat berada di ruang kerja Mama, pertama kali yang aku lihat adalah sebuah kursi dan meja kerja yang di atasnya ada sebuah vas bunga kecil. Ada juga beberapa lemari besar berdampingan dengan sebuah loker yang terletak agak berjauhan dengan meja kerja.

Selain itu, di depan meja terdapat dua seat dan tiga seat sofa berwarna hitam yang dilengkapi dengan bantal kecil.

Aku alihkan pandangan ke dinding yang dipenuhi gambar-gambar desain baju karya Mama.

Aku melihatnya begitu takjub, karena pertama kalinya aku berada di ruang kerja ini. Akan tetapi, jika Papa di sini pasti akan berkomentar 'ruang kerjamu terlihat kumuh dan terasa penuh'.

Ya. Papa paling tidak suka jika ruang kerjanya dipenuhi dengan beberapa perabotan seperti lemari besar, loker, dan dinding yang dipenuhi gambar atau foto. Di ruang kerja beliau hanya ada kursi include meja kerja, lemari kecil, dan di sampingnya ada vas besar bertuliskan tulisan Cina.

"Mau bicara apa sama Mama? Gimana kabarmu? Maaf, ya, Nak, Mama ajak ke ruang kerja, biasanya kita bicara di ruang tengah," ucap wanita yang mengenakan jas putih dengan sebuah bros kecil di bagian kerahnya itu sembari menepuk sekali bahu kananku.

Mama duduk di salah satu dua seat sofa hitam itu, lalu beliau menawariku untuk duduk di tiga seat sofa. Tepatnya kami saling berhadapan.

Tidak lupa, beliau memintaku untuk minum segelas air berlabel warna biru-putih ukuran kecil yang tersedia di atas meja.

"Oh, santai aja, Ma," jawabku tersenyum sembari minum air putih itu dengan sedotan.

"Sebelumnya aku minta maaf, ya, Ma. Mungkin aku sudah menjadi anak yang tidak berbakti." Aku menduduk merasa bersalah.

"Tidak berbakti gimana? Anak Mama hebat gini, kok, tidak berbakti?"

"Hebat, kok, tatoan, ngerokok?" timpalku merendah.

Beliau tidak mengetahui bahwa aku juga memakai obat-obatan laknat itu. Andai Mama mengetahuinya pasti akan murka, begitu juga dengan Papa.

"Kamu seperti itu karena ulah kami sebagai orang tua hanya mementingkan ego. Kamu pasti depresi saat Mama dan Papa pisah, kan? Maafkan Mama, ya, Nak, waktu itu sudah menelantarkanmu. Kamu harus tinggal dengan Papa dan beberapa pembantu di sana."

Ayunan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang