Chapter 13 ~ Permintaan Ummi Siti

8 3 3
                                    

"Kejarlah Akhirat maka Dunia akan Mengikuti."

[⁠・⁠۝・⁠][⁠・⁠۝・⁠]

ALHAMDULILLAH, setelah setengah hari bekerja, puasaku berhasil aku lalui. Rasa haus dan lapar teralih begitu saja dengan pekerjaanku sebagai pengantar paket dari rumah ke rumah.

Akan tetapi, teman rekan kerjaku cukup usil. Mereka menggodaku untuk membatalkan puasa tepat di siang hari, setelah tahu bahwa aku memakai tato. Hampir saja, aku tergoda dengan ucapannya.

Hari ini paket yang dikirim juga tidak terlalu banyak. Jadi, sore ini aku bisa pulang dan buka puasa di rumah.

Sebelum menuju rumah, aku menjemput Jehan terlebih dahulu di rumah Sabrina.
Kali ini yang membuka pintu bukanlah Sabrina melainkan seorang wanita paruh baya yang biasa warga kompleks panggil dengan sebutan Ummi atau Ustazah Siti.

“Oh, Nak, Leo. Silakan masuk. Mau jemput Jehan, ya?” ucap Ummi Siti dengan ramah.

“Iya, Bu,” jawabku sambil membungkuk sedikit.

“Panggil saja Ummi biar enak didengar.  Ayo duduk. Sabrina senang banget, loh, di rumah ada Jehan. Kok, bisa kalian ketemu itu ceritanya gimana? Oh, bentar. Nak Leo baru pulang kerja? Kerja di mana?” tanya Ummi Siti antusias.

Di tengah-tengah kami berbincang di ruang tamu, Sabrina keluar dari  ruang keluarga sambil menggendong Jehan.

Aku benar-benar bingung harus menjawab pertanyaan Ummi Siti yang mana dulu. Aku hanya bisa tersenyum.

“Saya kerja jadi kurir ekspedisi, Mi. Mohon doanya, supaya lancar pekerjaan saya.”

“Itu ayahnya pulang ...,” celetuk Sabrina, seolah-olah mengajak berbicara kepada Jehan.

“Alhamdulillah. Pokoknya jangan sampai tinggalkan salat. Karena salat itu tiang agama. Nak, Leo, puasa, kan?”

Aku mengernyit.

“Insyaallah,” jawabku sambil mengambil Jehan dari gendongan Sabrina.

Ketika kulit tangan Sabrina sedikit tersentuh dengan kulit tanganku, ia mendelik menatapku terkejut. Aku hanya meliriknya, karena sudah terbiasa  menyentuh bahkan memegang wanita. Mungkin bagi wanita yang terlihat paham betul tentang agama, sangat risi jika kulitnya tersentuh oleh lawan jenis yang bukan mahram.

Ternyata, di balik jilbab panjangnya,  wanita yang tingginya sebahuku itu tampak lebih cantik jika dilihat lebih dekat. Lebih anggun dan menawan.

Terdengar suara lantunan ayat suci  Al-Qur’an di masjid, menandakan sebentar lagi waktu azan Magrib. Mendadak Ummi Siti mengajakku untuk buka bersama di rumahnya. Aku menolak dengan berbagai alasan, tetapi masih saja beliau memaksaku.

Saat azan Magrib berkumandang, kami pun menuju meja makan. Aku begitu terkesan dengan pelayanan Ummi dan Sabrina, benar-benar menghormatiku sebagai tamu.

Di meja makan itu hanya ada Ummi, Sabrina, aku dan Jehan. Dalam hati bertanya – tanya mengenai keberadaan ayah Sabrina sambil mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan.

“Di sini cuman ada Sabrina sama saya, terkadang ada asisten rumah tangga jika kami memintanya kemari,” ucap Ummi Siti menatapku.

Ayunan TakdirWhere stories live. Discover now