Chapter 11~ Jawaban Doa

12 3 0
                                    

HENINGnya malam membuat malaikat kecilku terlelap dalam tidurnya. Kuletakkan ia secara perlahan di tempat tidur yang dikelilingi beberapa boneka. Karena lelah, aku merebahkan tubuh di atas kasur.

Kemudian, aku mengedarkan pandangan ke plafon seraya mengingat apa yang diucapkan oleh Sabrina atas pesannya bahwa ia menyuruhku untuk salat. Begitu juga dengan pesan Ustaz Danu. Beliau memintaku untuk rujuk, tetapi perasaanku kepada Clara sudah tidak seperti dulu semenjak ia jalan dengan pria lain.

Malam yang tenang justru membuat pikiranku semakin galau, seolah menyuruhku untuk segera mengambil sebuah keputusan. Sungguh, hal itu berat bagiku. Aku mencoba beranjak dari tempat tidur lalu menuju kamar mandi untuk mengambil wudu dengan langkah kaki menyeret.

Setelah aku melaksanakan salat Isya tanpa salat Tarawih, pikiran dan hatiku mulai sedikit tenang meskipun masih teringat akan ucapan Ustaz bahwa ada setan Dasim yang menggoda rumah tangga.

Aku menengadahkan tangan sambil menunduk dan kaki bersila, lantas menceritakan semua permasalahanku kepada Allah. Deraian air mata jatuh tak tertahankan, hingga tubuhku lemas tak berdaya. Aku menyerah dan pasrah sambil merebahkan di atas sajadah lalu memejamkan mata.

Mendadak ponselku bergetar. Sengaja aku pasang mode bergetar agar tidak mengganggu saat beribadah.
Aku ambil ponsel itu. Muncul nama "Beb Clara" di layar ponselku. Aku mengernyit lalu menekan tombol hijau dengan posisi masih dalam rebahan di atas sajadah.

Suara lirih Clara terdengar dari seberang sambungan telepon.

"Leo, gimana kabarmu?"

"Tumben tanya kabarku? Masih peduli dengan kabarku?" tanyaku dengan suara malas.

"Maaf, aku ini telepon kamu mumpung Mama sudah tidur. Gimana Jehan?"

"Oh, Jehan sehat," jawabku datar.

Kami terdiam sejenak.

"Aku pengen rujuk," ucap Clara tiba-tiba.
Gegas aku beranjak dari sajadah dalam posisi duduk bersila.

Apakah ini jawaban dari doaku? Secepat ini? Atau, Allah sedang menguji perasaanku?

"Maaf, aku sudah enggak bisa sama kamu lagi. Kamu, kan, sudah ada pria lain di sana, begitu juga dengan aku." Terpaksa aku berbohong agar ia bisa rela atas perpisahan ini.

"Kamu punya cewek? Siapa? Kamu, kan, masih talak aku satu? Kita masih ada kesempatan untuk rujuk," ucapnya tidak terima.

"Iya. Katanya kamu nyesel aku nikahi? Lagian, aku sudah sayang sama penggantimu ini."

"Maaf, aku khilaf, Sayaaang. Secepat itu kamu sayang sama orang lain?"

"Iya. Secepat ketika kamu jalan dengan pria lain di saat aku berjuang mencari pekerjaan," tegasku.

"Ta-tapi, aku masih sayang kamu, Leo!" sentak Clara tidak terima.

"Persetan sayang-sayang, tapi kamu selingkuh juga. Sudahlah, sudah malam. Bye!" gegas kututup ponsel itu dengan sedikit emosi.

Kugulung sajadah, lalu memejamkan mata tepat di sebelah Jehan. Aku peluk bayiku yang mungil untuk pertama kalinya. Rasanya begitu tenang berada di sampingnya.

****

Suara tangisan Jehan begitu keras, hingga aku terbangun. Melihat jam di atas nakas sekitar pukul 02.00, gegas aku memberinya susu dalam keadaan setengah mengantuk. Tiba-tiba perutku berbunyi, untung saja Jehan sudah tertidur kembali. Mengingat ini bulan puasa, aku niatkan untuk berpuasa hari ini dengan membaca bismillah.

Lanjut, aku menunaikan ibadah salat Tahajud. Entah, angin apa yang membawaku menjadi seperti ini. Rasanya hati ini sepi sekali, seolah ada sesuatu yang aku cari, tetapi entah apa itu. Dan, dari awal aku memang sudah jauh dari Dia. Setelah aku melaksanakan ibadah pada dini hari hingga menjelang azan Subuh, aku bersiap menuju masjid untuk menepati janji dengan Ustaz Danu.

Aku menggendong Jehan dengan selimutnya yang tebal agar ia tidak merasakan kedinginan. Pertama kali bagiku yang baru saja melaksanakan salat Subuh berjemaah di perumahan bintang ini, begitu takjubnya dengan warga di sini. Hampir setiap rumah khususnya pria, berlomba-lomba untuk melaksanakan salat Subuh berjemaah.

Selesai salat hingga kultum pagi pun Jehan masih tertidur. Keluar dari masjid, banyak sekali bapak-bapak yang menanyakan istriku. Dengan polosnya, aku berkata jujur bahwa aku telah bercerai.

Setiba di rumah, Jehan mulai menangis. Segera aku membuatnya susu. Setelah itu, aku bersandar pada dinding yang beralaskan sebuah bantal untuk mengecek isi WhatsApp. Ada satu pesan yang belum aku baca yaitu dari Kurir Ekspedisi.

Ketika aku membukanya, seolah Allah memihakku. Pesan itu berisikan aku diterima menjadi kurir ekspedisi dan diminta untuk bekerja pagi ini karena mulai pengantaran paket.

Begitu senangnya hatiku. Aku sampai melompat-lompat kecil di lantai. Spontan aku mencium Jehan yang baru saja memejamkan mata hingga ia membuka matanya kembali.

Matahari kian menyinari bumi, mentari pagi seakan menyapaku dengan ramah. Jehan si bayi mungil pun sepertinya ikut merasakan kebahagiaanku, ia menggerakkan bola matanya kesana kemari dengan memberikan sebuah senyuman. Bayi yang kini usia empat bulan pun bisa merasakan apa yang aku rasakan.

Ingin rasanya aku memberi kabar gembira ini, tapi dalam benakku hanya ada Sabrina. Aku segera menghubunginya tanpa sedikit keraguan.

Wanita yang terlihat santun dan suka menceramahiku itu pasti terkejut campur bingung mendengarnya.

"Alhamdulillah. Maaf, Mas. Mas enggak salah, kan, beri kabar itu ke saya?"

Mendadak senyum di wajahku hilang begitu saja. Otakku berpikir keras untuk menjawab pertanyaan Sabrina.

Benar juga. sepertinya aku salah memberi kabar kepada orang yang sebelumnya belum aku ceritakan. Seharusnya aku menghubungi Jhony. Bodohnya aku.

"Eng-enggak salah, udah bener aku hubungi kamu. Oh, ya, nanti aku titip Jehan lagi, ya. Ya sudah aku mau siap-siap dulu. Assalamualaikum."

Segera aku mengakhiri percakapan melalui sambungan telepon itu. Aku bersiap, lalu memandikan Jehan. Setelah itu, menuju rumah Sabrina.

****

Sebelum aku berangkat kerja, tidak lupa memberi upah kepada Sabrina dengan uang klien Jhony.

"Loh, uang apa ini? Bukannya Mas baru dapat kerjaan? Terus kemarin itu uang dapat dari mana? Maaf, ya, Mas sebelumnya. Aku baru tahu kalau Mas baru dapat kerjaan, tapi malah menanyakan detail hasil uang yang kamu berikan ke aku. Karena bagiku, itu sangat penting."

Aku menghela napas panjang.

Haruskah aku mengatakan yang sebenarnya?

*⁠♡ *⁠♡ *⁠♡ *⁠♡

Ayunan TakdirWhere stories live. Discover now