13. Sedikit Tegang

79 6 0
                                    

Sore ini seperti hari biasanya keadaan Divisi Operasional sangatlah bising. Tawa penuh ejekan Yoga terdengar memenuhi ruangan. Mengabaikan keributan yang diciptakan oleh Bayu dan Yoga, Alfi kembali fokus membolak-balikkan lembar kertas laporan yang hendak dia kerjakan. Baru saja memindahkan sederet angka di komputer, suara Haris terdengar mengintrupsinya. Dengan malas, Alfi menoleh sambil menanyakan tujuan kakaknya itu datang mengganggunya.

"Yaelah, sinis amat." decak Haris. "Tuh, dicariin Miko. Lo disuruh dateng ke ruangannya."

Alfi mengernyit bingung, "Kenapa, Bang?"

"Mana gue tahu. Lo habis bikin masalah kali?" Haris mengedik tak peduli. "Udah sana, samperin dulu!"

Alfi hanya mengangguki dengan pasrah. Setelahnya lelaki itu segera meninggalkan Haris. Membiarkan langkahnya bergerak cepat menuju ruang kerja Miko. Meski keringat dingin mulai bercucuran dari pelipisnya, dia memberanikan diri untuk tetap masuk ke ruangan itu. Detik berikutnya, Alfi mengetuk pintu. Suara sahutan terdengar beberapa saat setelahnya. Usai mendapat izin dari Miko, barulah dia bergegas masuk. Dilihatnya kini mata atasannya itu tengah tertuju pada layar komputer.

Miko mendongak, dia tersenyum tipis begitu melihat Alfi sudah berdiri dihadapannya.

"Duduk, Fi!"

Alfi hanya mengangguki, lalu membawa dirinya menduduki bangku dihadapan Miko. "Kenapa ya, Mas?"

Miko beralih menatap setumpuk kertas dibelakang mejanya. Melihat berkas-berkas itu, tak urung membuat senyumnya semakin melebar. Sebelah tangan Miko meraih sebuah dokumen laporan produksi dan membuka-bukanya.

"Mas udah cek hasil laporan kamu. Dan ternyata bagus, Fi." Miko kembali membuka lembar demi lembar halamannya. "Ini udah bener kok. Makasih ya, udah bantuin Mas buat nyelesain ini sebelum deadline."

Alfi tersenyum tipis, "Sama-sama. Saya juga seneng bisa bantuin Mas. Meskipun saya masih awam nyusun laporan harga pokok kayak gitu. Tapi, saya bisa sambil belajar."

Miko mengangguk-angguk. Kembali diraihnya beberapa tumpukan map didepan. "Nah, sekalian aja ya. Kamu pintain tanda tangan ke Pak Wirya. Biar bisa di konfirm langsung laporannya. Nanti kalau udah ACC, kita bisa langsung proses penjualan stok barangnya. Lagipula banyak banget konsumen yang butuh pasokan perlengkapan secepat mungkin."

Dan sebelum Alfi sadar, raut wajahnya sudah berubah datar dengan mata yang mengembang sempurna. Tunggu, dia tidak salah dengar kan?

"Ma-maksudnya apa, Mas?" tanya Alfi memastikan.

Detik selanjutnya Miko tertawa, "Loh, kok malah nanya sih? Ya, kamu ke ruangannya Pak Wirya. Minta tanda tangan beliau."

"Sama bokapnya, Mas? Eh, kok saya sih? Saya kan belum pernah." lirih Alfi.

"Lah, kenapa emang? Ya, nggak apa-apa dong. Bokap saya baik. Kamu juga nggak bakal digigit kok, tenang aja." Miko masih terus memasang senyumnya. "Lagipula bokap saya penasaran banget sama trainee mahasiswa yang udah bikin laporan sebagus dan serapih ini. Makanya bokap saya pengen banget ketemu kamu. Sekalian ngobrol bentar."

Alfi menganga tak percaya, "Tapi, Mas...."

"Udah, nggak apa-apa. Nggak ada bedanya juga, saya ataupun bokap. Sama aja, kan?" bujuk Miko lagi.

Alfi akhirnya hanya bisa memaksakan seulas senyum. Lalu mengambil setumpuk map dihadapannya. "Ya udah. Saya keatas dulu ya, Mas?"

Miko mengangguki, "Okey. Makasih ya, Fi."

Dan begitu Alfi keluar dari ruangan Miko, langkah kakinya langsung melemas. Masya Allah, seumuran-umur dia belum pernah berhadapan dengan hal seperti ini. Menemui Wirya lebih menakutkan daripada melihat hantu. Meski Wirya adalah ayah dari Miko, tapi tetap saja membuat rasa sungkan Alfi begitu besar. Bagaimanapun dia mengenal Miko sudah cukup lama. Bahkan semenjak Miko dan Haris duduk dibangku SMA. Tapi dengan Wirya? Tentu saja dia tidak pernah menemuinya. Bahkan Alfi tahu begitu hebat dan suksesnya seorang Wirya Hasan Admadja. Membuat kaum-kaum ingusan sepertinya ini minder pada sosok tersebut.

Hallo, Pak DosenWhere stories live. Discover now