29. Emosi Bergelora

69 6 2
                                    

"Annara, tunggu sebentar!"

Yang dipanggil berbalik saat menyadari satu seruan menghentikan langkahnya. Dihadapannya Alan terus bergerak maju mendekati Anna.

"Nih."

Anna mengerjap bingung. Dengan ragu menerima kertas yang disodorkan dosennya itu. Mata Anna kini memelotot sempurna usai membaca isinya. Kertas itu ternyata merupakan rekap laporan hasil belajarnya selama satu semester belakangan. Dan lebih mengejutkannya lagi, terdapat tiga mata kuliah bernilai C dan satu mata kuliah bernilai D disana.

"Saya turut prihatin, kalau tahun depan kamu harus mengulang kembali materi ini di kelas saya bareng adik-adik kelas kamu." Alan menggeleng-gelengkan kepala miris. "Ck. Maaf saya nggak bisa bantu kamu, Annara. Kamu selalu saja tidak mengumpulkan tugas dari saya di kelas. Jadi saya benar-benar tidak tahu harus mengisi apa di lembar nilai kamu."

Tubuh Anna melemas dengan mata sudah berkaca-kaca, hampir menangis. "Pak, ini...."

Alan mengedik acuh, "Saya permisi dulu."

Masih tidak percaya, Anna memindai sekali lagi deretan huruf dan angka di lembaran itu. Sambil sesekali melirik punggung Alan yang perlahan menjauh. Dia semakin frustasi menyadari persentase nilainya benar-benar menampilkan angka nyata. Akhirnya Anna menghela panjang, membayangkan raut kecewa Papanya.

"Maafin Nana, Pa. Nana nggak bisa jadi anak kebanggaan Papa kayak Mas Miko. Nana begitu berbeda dengan Mas Miko yang berprestasi di banyak bidang. Bahkan hampir di segala mata pelajaran, nilai Mas Miko jauh lebih sempurna dari Nana." batin Anna, menatap langit yang mulai menghitam.

Nampaknya akan turun hujan lebat disertai angin kencang di sore menjelang Maghrib ini. Segera dimasukkannya kertas tadi kedalam tas. Detik berikutnya, Anna berlarian meninggalkan teras Fakultas. Berharap hujan tidak akan turun sekarang.

Namun harapannya pupus. Tak cukup dengan kegagalannya dalam pelajaran, kini Anna harus dihantam oleh kenyataan bahwa gerimis yang turun kian menjadi lebat. Hingga berubah jadi hujan deras disertai guruh petir dan angin kencang.

Terpaksa Anna segera menepi di halte depan kampus. Badannya sudah menggigil kedinginan. Dia tak sempat membawa jaket ataupun jas hujan sebagai persiapan. Ditambah lagi pakaian dan tasnya sudah setengah basah diguyur hujan, membuat kemalangannya menjadi dua kali lipat lebih menyedihkan.

Walau menerobos hujan pun percuma, Anna gampang terserang demam kalau nekat hujan-hujanan. Ini saja badannya sudah panas dingin, kepalanya mulai berkunang-kunang. Bahkan matanya terasa menggelap perlahan-lahan. Dan sepersekian detik kemudian, Anna tidak tahu lagi apa yang terjadi padanya. Kesadarannya sudah hilang ditengah hujan lebat. Tubuhnya terbaring begitu saja di lantai halte yang lembab dan dingin.

******

Selama dua hari ini divisi operasional tengah melaksanakan workshop di Bekasi. Alhasil hanya Alfi saja yang tersisa disana. Ruang ber-AC yang bisa dibilang cukup luas dengan beberapa kubikel didalamnya, siang ini tampak lenggang dan sepi. Hari ini ruangan itu terasa sunyi tak ada kicauan dari manusia-manusia absurd penghuni divisi. Berbeda dari hari-hari biasanya yang selalu dipenuhi kebisingan hingga mendapat julukan divisi terberisik di kantor. Mulai dari ejekan menjengkelkan khas Haris, godaan-godaan maut ala Yoga, dan umpatan kekesalan Bayu. Yang kemudian selalu berakhir oleh teguran halus dari Miko yang berusaha menenangkan seluruh bawahannya.

Setidaknya Alfi bisa bernapas lega karena beberapa hari kedepan hidupnya akan tenang terbebas dari bahan bully Abang dan senior-seniornya itu. Meski pekerjaan yang ditanganinya semakin banyak karena sebagian pekerjaan dilimpahkan padanya, tapi setidaknya dia bisa fokus mengerjakan.

Hampir empat jam berlalu sejak Alfi pulang kuliah dan langsung kesini untuk menyusun laporan. Ternyata laporan yang dikerjakannya makin menumpuk kian banyak. Memang bukan main hebatnya senior-senior itu dalam melimpahkan tugas. Tidak tanggung-tanggung seabrek berkas menggunung diatas meja kerjanya. Belum lagi file-file yang harus dia selesaikan deadline-nya malam ini juga.

Alfi melirik jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul enam sore lebih. Jarang-jarang dia ikut lembur. Sekalinya lembur pun, pasti yang lain pulang lebih malam. Biasanya Bayu yang selalu pulang paling malam, begitu tutur Haris. Tapi Alfi tidak tahu kenyataannya. Sebagai anak baru yang masih trainee ingusan, dia jarang mengikuti lembur. Pernah sekalinya ikut, dirinya berakhir kesiangan dan harus rela menahan kantuk saat mengikuti mata kuliah. Waktu itu dirinya lebih banyak tertidur di kelas, sehingga membuatnya berakhir ditegur dan dimarahi habis-habisan oleh dosen. Lagipula gaya workaholic Haris dan teman-temannya itu sudah kelewat mengerikan.

Pernah Haris sampai pulang tengah malam yang membuat Rina marah besar dan mendiamkannya seharian. Sontak hal itu membuat Haris kapok dan tidak berani mengulangi kesalahan yang sama lagi. Beberapa hari setelahnya, Abangnya itu akan kembali pulang sore. Sekalipun dia tidak pernah berani pulang malam lagi. Jika tidak ada hal yang mengharuskannya lembur, barulah Haris berani pulang larut. Itupun harus melalui izin Rina yang terbilang ketat.

Bagi Alfi sendiri, lembur untuknya yang masih tergolong anak baru termasuk kegiatan yang amat jarang dia lakukan. Tapi melihat situasi dan kondisi saat ini, dia terpaksa melakukannya. Molor sejam dua jam tak masalah baginya. Sudah kepalang tanggung.

Alfi meraih secangkir kopi panas disampingnya. Meneguk sekilas, lalu membiarkan jari-jemarinya kembali aktif mengetik di keyboard. Hingga langkah kaki terdengar dari jauh. Ternyata Arman, yang bertugas sebagai office boy di kantor ini.

"Loh, Mas Alfi? Udah Maghrib ini, Mas. Karyawan lainnya udah pada pulang." Arman merapikan beberapa jendela. "Hujannya juga udah reda loh, Mas."

Alfi menegakkan kepala sejenak. Matanya berputar ke segala penjuru.

"Udah sepi beneran, Pak?"

"Iya. Paling tinggal Mas Rian dibagian IT." jawab Arman.

Alfi mengerjap bingung, "Oh, saya kirain banyak yang lembur hari ini."

Arman mengedik, melanjutkan menyapu setiap sudut lantai. "Nggak tahu juga, Mas. Tapi emang hari ini tumbenan kantor udah sepi jam segini. Biasanya dari divisi lain banyak yang lembur."

Arman tersenyum ketika mengingat sesuatu. Dia kembali bersuara. "Ah, iya, Mas. Besok itu tanggal merah rupanya. Kayangnya pada pengen cepet pulang biar bisa liburan. Lebih baik, Mas Alfi cepet pulang juga. Bapak nggak tega loh, lihat Mas sendirian disini."

Alfi menampilkan senyum tipis, "Iya, Pak. Bentar lagi saya pulang. Dikit lagi kelar kok."

"Ya udah. Kuncinya disimpan aja ya, Mas. Atau nanti bisa kasih ke ruang Bapak di lantai satu. Biasanya ada Mang Ucep, satpam depan— yang suka nongkrong disana kalau dia udah selesai jaga shift." usul Arman. "Kalau gitu, Bapak pulang duluan ya, Mas?"

Alfi hanya mengangguki, "Ah, iya. Bapak hati-hati ya."

"Wah, iya. Siap, Mas." Arman mengacungkan jempolnya, lalu segera menyingkir turun.

Usai kepergian Arman, Alfi melanjutkan pekerjaannya yang hampir selesai sambil sesekali meregangkan otot-ototnya yang mulai terasa pegal dan kesemutan karena sudah lama dia terduduk diam disana. Tidak lama setelahnya, Alfi menyusul ke musholla untuk menunaikan ibadah sholat Maghrib.

******

Hallo, Pak DosenWhere stories live. Discover now