Serendipity [5]

1.2K 123 49
                                    

~Happy Reading~

***

Secangkir teh hangat Adi letakkan di atas nakas tepat di samping Aya yang sedang bersandar pada kepala kasur dan membaca majalah fashion.

Suasana sudah sedikit membaik setelah kekacauan tadi sore. Sekala sedang istirahat di kamarnya setelah mendapat sedikit perawatan pada pelipis yang terluka dan sedang ditemani Dylan yang baru saja pulang dari kampus. Satu helaan napas lolos dari bibir Adi, karena dihadapkan pada situasi yang tidak pernah berubah sejak dulu. Rasanya, benar-benar melelahkan.

"Kalau kamu ke sini cuma buat ngomongin soal Sekala, mending keluar. Aku nggak mau ngebahas anak itu lagi," ujar Aya tanpa sedikitpun menoleh ke arah Adi yang kini sudah duduk di tepi kasur.

Adi menyentuh kaki Aya yang terbalut selimut dengan lembut. "Mau sampai kapan begini terus, Ay? Hubungan kamu sama Sekala, kapan bisa membaik?" tanyanya lembut.

Aya tidak menanggapinya, membalik halaman majalah dan kembali fokus pada tulisan yang berjejer pada halaman itu.

"Kamu itu ibunya. Harusnya, kamu bisa menyikapi situasi. Sekala bertingkah begitu juga pasti ada alasannya, nggak mungkin sembarangan." Adi kembali bicara. Mau tidak mau, ia tetap harus berbicara dengan Aya. Setidaknya, meluruskan sedikit saja permasalahan yang terjadi antara ibu dan anak itu.

Aya menghela napas jengah, menutup majalahnya dengan kasar dan menatap Adi lekat. "Kamu tau alasannya, Adi. Kamu tau kenapa aku nggak bisa terima Sekala. Nggak bisa anggap Sekala sebagai anak aku kayak Dylan sama Shaka," ujarnya tegas.

"Itu udah berlalu belasan tahun. Kenapa kamu nggak bisa belajar sedikit aja buat membuka hati, menerima apa yang udah terjadi." Adi berusaha berbicara lembut.

Aya tersenyum remeh mendengar kalimat Adi yang menurutnya lucu serta mengejek dirinya. Ia pikir, selama ini Adi mengerti posisinya. Mengerti bagaimana perasaannya. Sepertinya, ia salah menilai semua itu.

"Karir yang aku bangun susah payah dalam sekejap hancur karena kehadiran Sekala, Di." Aya menatap lebih lekat kedua manik mata Adi. "Kamu coba bayangin jadi aku yang saat itu benar-benar lagi naik, tawaran drama banyak yang aku terima, jadi ambassador berbagai brand, syuting iklan. Terus, tiba-tiba aja semua itu harus berhenti karena apa? Karena kehadiran Sekala ...,"

"... Aku pengen gugurin dia sewaktu publik belum tau kalau aku lagi hamil, tapi kamu sama Ibu maksa aku buat pertahanin Sekala sampai aku harus ganti rugi semua kontrak kerja yang udah aku tanda tangani." Aya menggeleng tidak percaya. Setelah semua yang terjadi, Adi masih tetap kekeuh pada pendiriannya yang menganggap Sekala bukanlah biang masalah.

"Heh, kamu nggak lupa, kan, kalau perusahaan kamu bahkan sampai goyah cuma buat bayar denda dari semua kontrakku? Kamu juga nggak lupa, kan, kalau kamu nyaris bangkrut cuma demi pertahanin anak itu? Udah sebegitu jahatnya Sekala yang masih berupa janin ngehancurin kita, tapi kamu masih tetap kekeuh pertahanin dia. Masih tetap anggap dia anak dan anugerah. Di mana sih pikiran kamu?"

Adi menelan salivanya. Segala kalimat yang terlontar dari bibir Aya bagaikan belati sampai ia bisa merasakan sakit yang sama seperti yang Sekala rasakan setiap kali Aya memaki anak itu.

Jemarinya meraih tangan Aya untuk ia genggam dengan erat. "Kenapa kamu selalu anggap Sekala sebagai penjahat? Kenapa kamu nggak pernah instrospeksi diri tentang apa yang membuat Tuhan akhirnya menghadirkan Sekala di saat kamu lagi sibuk-sibuknya?" tanya Adi, lembut sekali. Namun, tetap saja terdengar menyebalkan di telinga Aya karena dirinya terkesan selalu membela Sekala.

"Kamu tau? Saat itu, kamu udah mulai melupakan kewajiban kamu sebagai ibunya Dylan dan Shaka, sebagai istriku. Kamu selalu pergi pagi-pagi banget, terus pulang pagi lagi. Nggak pernah ada waktu buat anak-anak, buat aku. Kamu hampir dua puluh empat jam sibuk sama syuting-"

Serendipity Where stories live. Discover now