Serendipity [6]

1.2K 117 27
                                    

Maaf banget ngaret (⁠╯⁠︵⁠╰⁠,⁠)

~Happy Reading~

***

"Ngomong-ngomong, lo aman, kan, selama skors kemarin?"

Sekala mengangguk untuk menjawab cepat pertanyaan Bayu. Keduanya kini sibuk mengepel toilet sekolah, membersihkan kaca, dan mencuci wastafel yang sialnya hari ini sangat kotor. Sepertinya, orang-orang sengaja membuatnya kotor karena tahu kalau hari ini adalah di mana Sekala dan Bayu harus menjalani sisa hukumannya selama satu minggu ke depan.

"Gue bersyukur banget kalau Tante Aya nggak bikin yang aneh-aneh. Masih anget banget kejadian bulan lalu." Bayu kembali bersuara sambil terus mengelap kaca dan sisi-sisi wastafel.

Sekala tersenyum miring. "Mama nggak seburuk itu, kok. Kemarin aja cuma ditampar," ucapnya kelewat santai. "Marah sih emang. Keliatan marah banget malah, cuma Mama lebih ngebentak aja sama maki-maki gue yang kasar gitu. Udah nggak terlalu main tangan."

Bayu menoleh menatap Sekala intens. Raut wajah Sekala tidak pernah bisa menipu tentang apa yang sedang sahabatnya itu rasakan. Jelas ada gurat sakit yang tergambar, namun Bayu memilih untuk mengangguk dan menyunggingkan senyum.

"Ada kemajuan berarti?" tanyanya sedikit ambigu.

Sekala menelan salivanya. "Mungkin."

"Nggak papa, Kal. Gue yakin makin lama juga Tante Aya bakal ngerti, sih, gimana posisi lo yang sebenarnya."

"Kalaupun nggak bisa ngerti juga nggak papa," celetuk Sekala.

Bayu diam sejenak. Tahu kalau Sekala mungkin sudah diambang pasrah setelah berjuang belasan tahun sejak masih kecil. Bayu memang baru berteman dengan Sekala sejak duduk di bangku menengah pertama, tapi sedikit banyaknya Bayu tahu bagaimana hari-hari masa kecil Sekala yang dulu sering tidak sengaja Sekala ceritakan.

Sekala selalu berusaha membuat sosok ibunya terlihat sebagai ibu terbaik. Menceritakan banyak momen palsu ketika mereka duduk berdua dan berbagi cerita tentang rumah. Namun, sesekali Sekala tidak sengaja keceplosan ketika Bayu menceritakan momen makan malam yang selalu disediakan oleh ibunya. Serba-serbi lauk pauk kesukaan selalu tersaji dengan senyum cantik di wajah wanita yang menyandang gelar ratu di rumahnya.

"Mama nggak pernah senyum ke gue,"

Kalimat itu lekat dalam benak Bayu. Kalimat yang dalam beberapa detik langsung Sekala koreksi dengan cerita bohongnya yang kesekian ribu kali.

"Mama itu baik banget tau. Dia suka masakin gue ayam balado, terus disuapin. Katanya, sih, biar gue lahap makan. Padahal gue bisa makan sendiri."

Senyum tipis terbit di wajah Bayu kala kalimat panjang itu terlintas. Sekarang, sejak mereka SMA, Sekala tidak pernah lagi membuat cerita bohong. Wajar jika Sekala lelah. Setiap manusia punya batas dirinya masing-masing dan mungkin Sekala sudah mencapai batas itu sampai kini kedua kakinya berdiri pada batas pasrah.

"Lo hebat banget, Kal. Gue kalau jadi lo, sih, udah pasti langsung benci sama nyokap." Bayu mencoba menyuarakannya dengan nada jenaka dan diakhiri tawa kecil.

"Gue nggak segitunya. Gue juga sempat benci Mama. Ya, manusiawi, lah," balas Sekala.

Bayu tersenyum lagi. Benar kata Sekala. Itu manusiawi. Sekala hanya manusia biasa yang pasti punya perasaan tidak adil akan perlakuan ibunya.

"Balik nanti gue traktir kopi mau nggak?" tanya Bayu menawarkan.

"Beneran di traktir?" Sekala menatap Bayu dengan mata berbinar.

Serendipity Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang